YOJI Yamada, 47 tahun, lulusan Fakultas Hukum Universitas Tokyo.
Sudah menyelesaikan lebih 30 film.
Tadao Sato, 48 tahun, kritikus yang mendapat kedudukan terhormat
karena kritik serta penyelidikannya mengenai sejarah film
Jepang, yang pendapatnya banyak berbeda dengan sejumlah kritikus
Amerika yang banyak menulis mengenai film negeri tersebut.
Berikut ini wawancara mereka dengan TEMPO:
Bagaimana keadaan dan mutu perfilman Jepang sekarang? Berapa
produksi per tahun? Sato Tahun silam dibuat 230 film. Kebanyakan
dengan biaya murah, dan jenisnya porno. Film yang bagus sangat
jarang.
Topik apa saja yang menarik perhatian sutradara di sana
sekarang? Yamada: Kekerasan, dan masalah erotik. Ini topik lama.
Tapi akhir-akhir ini juga ada kecenderungan membuat film
kolosal.
Bisakah diceritakan sumber pembiayaan bagi pembuatan film di
negeri anda? Apakah, misalnya, ada subsidi pemerintah?
Tidak ada bantuan pemerintah. Kami tak suka -- takut mereka
campur tangan. Bantuan pernah ada sebelum perang dunia, tapi
waktu itu pemerintah mengendalikan perfilman. Perusahaan
biasanya mendapat bantuan modal dari bank atau toko serba ada.
Bagaimana nasib para sutradara serius Jepang, setelah industri
film dihancurkan televisi?
Sato: Banyak di antara mereka mencari kerja di TV. Ada juga yang
ganti profesi. Nasib film serius Jepang memang sulit, masa
depannya suram. Tidak mungkin seperti 10 tahun silam-ketika kita
memproduksi 500 film per tahun.
Siapa yang kini dianggap sutradara terkemuka di Jepang setelah
Kurosawa?
Yoji Yamada paling menonjol. Filmnya ditonton semua kalangan
--tidak seperti film porno yang hanya dinton golongan tertentu.
Ketika Jepang makin terlibat dalam pergaulan internasional,
apakah identitas Jepang' merupakan persoalan?
Yamada Sebelum perang, ya. Sekarang sudah dianggap "ketinggalan
zaman". Hidup kami sudah amat meniru Amerika, hingga kita
kadang-kadang berfikir: siapakah orang Jepang sebenarnya.
Sutarada terkemuka Jepang, Akira Kurosawa dan Nagashi Oshima,
kini membuat film mereka di luar Jepang. Apa mereka tidak
mendapat kesempatan di negeri sendiri?
Sato: Bukan masalah kesempatan. Kurosawa ingin membuat film yang
mahal -- 1,5 milyar yen -- yang di Jepang tidak mungkin. Di luar
negeri ada yang sanggup membiayainya. Oshima lain lagi: ia
senang membuat film hard porno. Karena takut polisi, tidak ada
proluser Jepang yang mau membiayai. Di tengah ramainya film
porno dan membanjirnya film impor, masihkah ada penonton film
Jepang yang serius?
Yamada: Masa 10 atau 15 tahun silam film porno memang merebut
pasaran. Kini sebenarnya sudah berkurang. Orang berangsur bosan.
Kesempatan bagi film serius sebenarnya berangsur kembali.
Adakah pendidikan sinematografi di Jepang?
Di Universitas Nihon ada bagian sinematografi. Tapi dalam dunia
film Jepang, pendidikan demikian tidak mcmainkan peranan
penting. Perusahaan film dan televisi mendidik sendiri karyawan
mereka -- tidak percaya pada tamatan sekolah film. Jangan lupa
bahwa sistim magang -- hubungan senior-yunior -- di Jepang
sangat kuat. Sutradara Jepang sedikit sekali yang pernah sekolah
film.
Apa yang paling berkesan pada anda tentang orang-orang film
Indonesia?
Sato: Mereka sangat terbuka dan suka merendahkan diri. Cepat
menjadi teman.
Yamada: Mereka banyak mempersoalkan masalah ke-lndonesia-an
dalam film-film mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini