Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Celengan Dibuka Menjelang Shin Cia

Keturunan Cina yang sudah WNI masih harus membuat formulir k-1. Mereka tidak mengerti apa & guna dari formulir tersebut yang penting jiwanya sudah sepenuhnya untuk Indonesia. (nas)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABTU siang pekan lalu, seorang ibu 45 tahun sedang sibuk di dapur. Ia mencabuti bulu ayam untuk sayur, hidangan sembahyangan abu leluhur dan untuk Thian. Maklum, esoknya adalah Hari Raya Shin Cia. Rumahnya di kampung Bebek, Gedong Panjang, Jakarta Kota bisa disebut gubuk. Dindingnya anyaman bambu dilapis kertas-kertas yang sudah tua. "Kita semua sudah bikin K-I, semua dengan ongkos Rp 6 ribu. Kalu suruh orang mungkin bisa Rp 30 ribu," kata ibu yang tak berkulit kuning dan mengenakan kebaya lusuh itu. Suaminya jadi montir mobil, anaknya delapan. "Untung kita punya celengan," tambahnya. Tak tahu apa gunanya K-I, katanya lagi "Orang bilang Pemerintah mau tau jumlah anak-anak kecil. Tapi kok hanya kita orang keturunan Cina saja? Pak Dul Manap, teman suami saya kok tidak bikin K-I." Ibu ini juga bercerita, sebentar lagi suaminya juga akan melapor ke Kejaksaan, "katanya akan ada razia surat-surat WNI." Mulyadi, 32 tahun, yang jual oli eceran di tepi jalan Jembatan Lima juga patuh pada peraturan pemerintah. "Pemerintah selalu menganjurkan pembauran tapi sekarang kita juga disuruh bikin K-I. Kita yang sudah WNI juga diperiksa surat-suratnya. Kalau kita asing sih, keruan," katanya. Mulyadi yang jebolan universitas swasta di Jakarta itu juga heran, "karena segelintir orang Cina seperti Robby Cahyadi melakukan kesalahan, kita yang nggak tahu apa-apa kena getahnya." Seolah menanggapi Mulyadi, dari Kebayoran seorang ahli syaraf terkenal berkata: "Kita musti tahu dirilah." Ia adalah Dr. P. Sidharta, 55 tahun, d/h Sie Pek Giok. "Yang penting kita mau berintegrasi. Kalau ada ekses dari pendaftaran itu, laporkan. Mustinya Bakom-PKB yang menampung keluhankeluhan. Sebab biasanya orang-orang WNI Tionghoa takut melaporkan hal yang tidak benar," tambahnya. Juara Tjun Tjun, 27 tahun, pemain bulutangkis nasional itu, ternyata belum punya K-I karena sibuk latihan. Dengan nama asli Liong Tjun Seng, ia asal Cirebon. Di antara 5 saudaranya, hanya dia saja yang WNI Malah 2 kakaknya tinggal di RRC, satu di antaranya Liang Tsui-shia pemain utama tim bulutankis RRC. Karena karirnya, tahun 1972 Tjun Tjun mendapat hadiah naturalisasi' dari Presiden. Cerita Tjun Tjun, ia pernah "dicina-cinain", hingga penghinaan itu menyebabkannya jadi tersinggung. Melawan tim bulutangkis RRC, ia tidak merasa sebagai Cina "tapi sepenuhnya membela Indonesia." Untung, sekembalinya ke Indonesia dari pertandingan itu ia tidak mengalami kesulitan dengan kewarganegaraannya. Tapi ia heran mengapa masih ada orang yang sudah WNI kok didaftar segala. Ade Tjandra, 28 tahun, juga mendapat hadiah naturalisasi seperti Tjun Tjun. Karena juga sibuk di lapangan, ia dan keluarganya juga belum sempat bikin K-I. Kata pemain bulutangkis terkenal ini: "Kalau orang menganggap saya Cina ya boleh saja. Tapi jiwa saya sepenuhnya sudah untuk Indonesia." Ia lahir di Jakarta dengan nama Tjan Shin Lin. "Saya juga belum pernah dengan tentang K-I. Untuk apa sih " tanya Lim Swie King, 23 tahun. Juara Al-England asal Kudus ini menjadi WNI karena orangtuanya sudah WNI. "Saya ini sudah nggak punya pikiran sebagai Cina atau peranakan. Tapi kadang-kadang kita merasa sendiri. Pokoknya kita tahu siapa kita dah. Tapi jiwa saya jiwa Indonesia," katanya. Tjiam Djoe Khiam juga tidak tahu apa itu formulir K-I. Pengacara kawakan ini lahir 75 tahun lalu di Jawa Tengah. Menurutnya, pemanggilan WNI Keturunan Tionghoa sekarang ini tidak ada dasarnya. "Kalau ada yang dicurigai sebagai imigran gelap, seharusnya yang dicurigai saja yang dipangil. Yang memanggil juga bukan kejaksaan tapi pengadilan," katanya. Ketika lahir perjanjian penyelesaian dwi kewarganegaraan RI-RRT yang mengharuskan orang-orang Tionghoa di sini memilih salah satu kewargaan negara, Tjiam Djoe Khiam adalah orang pertama yang mendaftar. "Apa sekarang saya harus dicurigai sebagai orang bukan WNI?" tanyanya. Tapi sampai sekarang ia tidak mengganti nama. "Buat apa?" Tjiam Djoe Khiam balik bertanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus