SABTU siang pekan lalu, seorang ibu 45 tahun sedang sibuk di
dapur. Ia mencabuti bulu ayam untuk sayur, hidangan
sembahyangan abu leluhur dan untuk Thian. Maklum,
esoknya adalah Hari Raya Shin Cia. Rumahnya di kampung Bebek,
Gedong Panjang, Jakarta Kota bisa disebut gubuk. Dindingnya
anyaman bambu dilapis kertas-kertas yang sudah tua.
"Kita semua sudah bikin K-I, semua dengan ongkos Rp 6 ribu. Kalu
suruh orang mungkin bisa Rp 30 ribu," kata ibu yang tak berkulit
kuning dan mengenakan kebaya lusuh itu. Suaminya jadi montir
mobil, anaknya delapan. "Untung kita punya celengan," tambahnya.
Tak tahu apa gunanya K-I, katanya lagi "Orang bilang Pemerintah
mau tau jumlah anak-anak kecil. Tapi kok hanya kita orang
keturunan Cina saja? Pak Dul Manap, teman suami saya kok tidak
bikin K-I." Ibu ini juga bercerita, sebentar lagi suaminya juga
akan melapor ke Kejaksaan, "katanya akan ada razia surat-surat
WNI."
Mulyadi, 32 tahun, yang jual oli eceran di tepi jalan Jembatan
Lima juga patuh pada peraturan pemerintah. "Pemerintah selalu
menganjurkan pembauran tapi sekarang kita juga disuruh bikin
K-I. Kita yang sudah WNI juga diperiksa surat-suratnya. Kalau
kita asing sih, keruan," katanya. Mulyadi yang jebolan
universitas swasta di Jakarta itu juga heran, "karena segelintir
orang Cina seperti Robby Cahyadi melakukan kesalahan, kita yang
nggak tahu apa-apa kena getahnya."
Seolah menanggapi Mulyadi, dari Kebayoran seorang ahli syaraf
terkenal berkata: "Kita musti tahu dirilah." Ia adalah Dr. P.
Sidharta, 55 tahun, d/h Sie Pek Giok. "Yang penting kita mau
berintegrasi. Kalau ada ekses dari pendaftaran itu, laporkan.
Mustinya Bakom-PKB yang menampung keluhankeluhan. Sebab biasanya
orang-orang WNI Tionghoa takut melaporkan hal yang tidak benar,"
tambahnya.
Juara
Tjun Tjun, 27 tahun, pemain bulutangkis nasional itu, ternyata
belum punya K-I karena sibuk latihan. Dengan nama asli Liong
Tjun Seng, ia asal Cirebon. Di antara 5 saudaranya, hanya dia
saja yang WNI Malah 2 kakaknya tinggal di RRC, satu di antaranya
Liang Tsui-shia pemain utama tim bulutankis RRC. Karena
karirnya, tahun 1972 Tjun Tjun mendapat hadiah naturalisasi'
dari Presiden.
Cerita Tjun Tjun, ia pernah "dicina-cinain", hingga penghinaan
itu menyebabkannya jadi tersinggung. Melawan tim bulutangkis
RRC, ia tidak merasa sebagai Cina "tapi sepenuhnya membela
Indonesia." Untung, sekembalinya ke Indonesia dari pertandingan
itu ia tidak mengalami kesulitan dengan kewarganegaraannya. Tapi
ia heran mengapa masih ada orang yang sudah WNI kok didaftar
segala.
Ade Tjandra, 28 tahun, juga mendapat hadiah naturalisasi seperti
Tjun Tjun. Karena juga sibuk di lapangan, ia dan keluarganya
juga belum sempat bikin K-I. Kata pemain bulutangkis terkenal
ini: "Kalau orang menganggap saya Cina ya boleh saja. Tapi jiwa
saya sepenuhnya sudah untuk Indonesia." Ia lahir di Jakarta
dengan nama Tjan Shin Lin.
"Saya juga belum pernah dengan tentang K-I. Untuk apa sih "
tanya Lim Swie King, 23 tahun. Juara Al-England asal Kudus ini
menjadi WNI karena orangtuanya sudah WNI. "Saya ini sudah nggak
punya pikiran sebagai Cina atau peranakan. Tapi kadang-kadang
kita merasa sendiri. Pokoknya kita tahu siapa kita dah. Tapi
jiwa saya jiwa Indonesia," katanya.
Tjiam Djoe Khiam juga tidak tahu apa itu formulir K-I. Pengacara
kawakan ini lahir 75 tahun lalu di Jawa Tengah. Menurutnya,
pemanggilan WNI Keturunan Tionghoa sekarang ini tidak ada
dasarnya. "Kalau ada yang dicurigai sebagai imigran gelap,
seharusnya yang dicurigai saja yang dipangil. Yang memanggil
juga bukan kejaksaan tapi pengadilan," katanya.
Ketika lahir perjanjian penyelesaian dwi kewarganegaraan RI-RRT
yang mengharuskan orang-orang Tionghoa di sini memilih salah
satu kewargaan negara, Tjiam Djoe Khiam adalah orang pertama
yang mendaftar. "Apa sekarang saya harus dicurigai sebagai orang
bukan WNI?" tanyanya. Tapi sampai sekarang ia tidak mengganti
nama. "Buat apa?" Tjiam Djoe Khiam balik bertanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini