Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Jepang yang bisu-tuli

4 film jepang diputar di kine club tim untuk didiskusikan. selain itu yayasan jepang mendatangkan 2 tokoh film terkemuka, tadao sato (kritikus) dan yoji yamada (sutradara). (fl)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YAYASAN Jepang mendatangkan dua tokoh film terkemuka mereka ke Jakarta, dua pekan silam. Tadao Sato, kritikus, dan Yoji Yamada, sutradara Bersama.mereka, empat film Jepang diputar di Kine Klub untuk didiskusikan. Ini peristiwa menarik, meski tidak baru. Di Kine Klub, tahun-tahun silam bcberapa sutradara dari berbagai negara juga sudah tampil berikut film mereka. Para penonton yang rajin ke Taman Ismail Marzuki itu biasanya tidak terlalu sulit mengikuti pembicaraan para orang film itu, sebab film mereka sering ditonton. Tapi tidak demikian kali ini. Film Jepang mutakhir sudah lama tidak dikenal ujung pangkalnya di Indonesia. Hingga awal tahun tujuh-puluhan, memang masih luas beredar di tengah kita. Tapi serentak televisi mengharu-biru industri film Jepang di negerinya, komunikasi terputus Kecuali beberapa film Zatoici yang cuma sibuk berkelahi. Sutradara terkemuka Jepang yang masih terus membuat film --jumlahnya makin sedikit -- karyanya tidak lagi bisa dilihat di sini. Orang harus pergi ke Paris untuk menikmati karya terbaru Kurosawa atau Nagashi Oshima. Di Jakarta, lewat Kine Klub, Yayasan Jepang atau kedutaan negeri itu tidak pula pernah berhasil memutarkan film Jepang yang bisa membuka selubung prespektif pcrfilman di negeri itu di masa paling mutakhir. Pilihan mereka memang jatuh pada film-film yang bagus dan mengasyikkan. Tapi hanya penyuguhan berdasar itu saja tidak pernah menolong peminat film di Jakarta untuk mengetahui lebih saksama keadaan, kecenderungan dan mutu film Jepang kini. Juga film-film pilihan Tadao Sato untuk pekan film terakhir itu, tidak menolong. Singgasana Darah Maka tampillah Red Beard, karya panjang Kurosawa, buatan 1965. Untuk ilustrasi bagi ceramah tentang perfilman Jepang secara umum, mengapa Red Beard? Atau, mengapa hanya Kurosawa? Yang lain The Kii River karya Noboru Nakamura dan Happiness Of Us Alone karya Zenzo Matsyuyama. Apa pula alasan untuk ini? Lucunya pula, karya Yoji Yamada cuma satu The Yellow Handkerchief. Ini jelas bukan film terbaik atau bahkan yang terkhas dari Yamada. Tidak lalu berarti kita harus kecewa dengan kerja keras Yayasan Jepang. Kegiatan perfilman di Jepang memang bisa diberitakan oleh mereka, lebih-lebih olch ceramah Sato -- tapi tidak oleh film-film itu sendiri. Sebagai hidangan yang nampaknya harus dilihat secara terpisah, karya-karya itu memang layak dinikmati. Dan sudah pasti Red Beard menduduki tempat teratas. Karya-karya Kurosawa sendiri sudah banyak diputar untuk kalangan tertentu di Indonesia. Bahkan Singgasana Darah (saduran karya Shakespeare, Macbet) pernah disiarkan TVRI. Dalam literatur film dunia Kurosawa merupakan sutradara Jcpang yang paling banyak dibicarakan -- dan Red Beard sendiri bukanlah filmnya yang terbaik. Juga patut dipuji usaha Yayasan Jepang yang berhasil menggaet Yoji Yamada. Orang ini sangat terkenal di sana-lewat film serialnya yang kocak mengenai Si Taro. Karena terkenal itulah ia juga mengutip banyak uang dari kocek penonton. Bagi Indonesia, yang lebih sihuk dengan film komersiil, kehadiran Yamada dan filmnya tentulah penting. Baik seri Taro -- yang beberapa buah juga telah diputar di Kine Klub Jakarta -- maupun filmnya yang dipertontonkan dua pekan silam itu, semuanya film ringan dan segar. Bukan berarti film murahan. Perhatikanlah The Yellow Handkerchief itu. Di sana memang dikisahkan seorang pemuda konyol yang bertualang dengan mobil barunya ke sebuah pulau. Bertemu dengan gadis, lantas saja -- dengan cara kasar dan kampungan -- mau melalapnya. Di akhir cerita mereka saling jatuh cinta. Tapi kisah itu juga kisah seorang bekas buruh tambang yang malang yang dipenjarakan akibat pembunuhan tak terencana, dan isterinya yang setia. Lewat sorot balik (flash buck) berkali-kali, cerita konyol pemuda kota itu terus diselipi kisah sedih si buruh tambang. Eilm ini akan menjadi film murahan seandainya cuma bercerita tentang sang pemuda dan gadis, dan sebaliknya akan jadi film suram yang memberat jika hanya tentang yang kedua. Secara sinematis, Happiness of Us Alone karya Zenzo Matsyuyama tidak istimewa. Tidak diketahui kapan film ini dibikin, penggunaan teknik hitam-putihnya -- yang murah -- nampaknya bukan karena alasan keuangan. Cerita bermula pada kesuraman hari-hari kekalahan Jepang oleh pemboman Sekutu menjelang akhir Perang Dunia kedua. Tokoh utamanya sepasang suami istris yang sama-sama tuli. Sang suami malah juga bisu. Dari keluarga inilah -- melewati kepahitan, kerja keras, kemiskinan, penghinaan -- lahir seorang putera yang cerdas. Di akhir cerita menonjol dua tokoh muda: putera keluarga tuli dan seorang anak muda gagah dalam pakaian seragam. Yang terakhir ini ternyata anak yatim piatu yang diselamatkan si isteri tuli itu pada masa pemboman. Keduanya, yang tumbuh dan berkembang sebagai buah penderitaan si bisu tuli, tidak bisa lain kecuali gambaran Jepang sendiri. Jepang modern yang maju pesat setelah melewati penderitaan dan kehancuran perang yang lalu. Salim Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus