YAYASAN Jepang mendatangkan dua tokoh film terkemuka mereka ke
Jakarta, dua pekan silam. Tadao Sato, kritikus, dan Yoji Yamada,
sutradara Bersama.mereka, empat film Jepang diputar di Kine Klub
untuk didiskusikan. Ini peristiwa menarik, meski tidak baru. Di
Kine Klub, tahun-tahun silam bcberapa sutradara dari berbagai
negara juga sudah tampil berikut film mereka. Para penonton yang
rajin ke Taman Ismail Marzuki itu biasanya tidak terlalu sulit
mengikuti pembicaraan para orang film itu, sebab film mereka
sering ditonton.
Tapi tidak demikian kali ini. Film Jepang mutakhir sudah lama
tidak dikenal ujung pangkalnya di Indonesia. Hingga awal tahun
tujuh-puluhan, memang masih luas beredar di tengah kita. Tapi
serentak televisi mengharu-biru industri film Jepang di
negerinya, komunikasi terputus Kecuali beberapa film Zatoici
yang cuma sibuk berkelahi.
Sutradara terkemuka Jepang yang masih terus membuat film
--jumlahnya makin sedikit -- karyanya tidak lagi bisa dilihat di
sini. Orang harus pergi ke Paris untuk menikmati karya terbaru
Kurosawa atau Nagashi Oshima. Di Jakarta, lewat Kine Klub,
Yayasan Jepang atau kedutaan negeri itu tidak pula pernah
berhasil memutarkan film Jepang yang bisa membuka selubung
prespektif pcrfilman di negeri itu di masa paling mutakhir.
Pilihan mereka memang jatuh pada film-film yang bagus dan
mengasyikkan. Tapi hanya penyuguhan berdasar itu saja tidak
pernah menolong peminat film di Jakarta untuk mengetahui lebih
saksama keadaan, kecenderungan dan mutu film Jepang kini. Juga
film-film pilihan Tadao Sato untuk pekan film terakhir itu,
tidak menolong.
Singgasana Darah
Maka tampillah Red Beard, karya panjang Kurosawa, buatan 1965.
Untuk ilustrasi bagi ceramah tentang perfilman Jepang secara
umum, mengapa Red Beard? Atau, mengapa hanya Kurosawa? Yang lain
The Kii River karya Noboru Nakamura dan Happiness Of Us Alone
karya Zenzo Matsyuyama. Apa pula alasan untuk ini? Lucunya pula,
karya Yoji Yamada cuma satu The Yellow Handkerchief. Ini jelas
bukan film terbaik atau bahkan yang terkhas dari Yamada.
Tidak lalu berarti kita harus kecewa dengan kerja keras Yayasan
Jepang. Kegiatan perfilman di Jepang memang bisa diberitakan
oleh mereka, lebih-lebih olch ceramah Sato -- tapi tidak oleh
film-film itu sendiri. Sebagai hidangan yang nampaknya harus
dilihat secara terpisah, karya-karya itu memang layak dinikmati.
Dan sudah pasti Red Beard menduduki tempat teratas.
Karya-karya Kurosawa sendiri sudah banyak diputar untuk kalangan
tertentu di Indonesia. Bahkan Singgasana Darah (saduran karya
Shakespeare, Macbet) pernah disiarkan TVRI. Dalam literatur
film dunia Kurosawa merupakan sutradara Jcpang yang paling
banyak dibicarakan -- dan Red Beard sendiri bukanlah filmnya
yang terbaik.
Juga patut dipuji usaha Yayasan Jepang yang berhasil menggaet
Yoji Yamada. Orang ini sangat terkenal di sana-lewat film
serialnya yang kocak mengenai Si Taro. Karena terkenal itulah ia
juga mengutip banyak uang dari kocek penonton. Bagi Indonesia,
yang lebih sihuk dengan film komersiil, kehadiran Yamada dan
filmnya tentulah penting.
Baik seri Taro -- yang beberapa buah juga telah diputar di Kine
Klub Jakarta -- maupun filmnya yang dipertontonkan dua pekan
silam itu, semuanya film ringan dan segar. Bukan berarti film
murahan. Perhatikanlah The Yellow Handkerchief itu. Di sana
memang dikisahkan seorang pemuda konyol yang bertualang dengan
mobil barunya ke sebuah pulau. Bertemu dengan gadis, lantas saja
-- dengan cara kasar dan kampungan -- mau melalapnya.
Di akhir cerita mereka saling jatuh cinta. Tapi kisah itu juga
kisah seorang bekas buruh tambang yang malang yang dipenjarakan
akibat pembunuhan tak terencana, dan isterinya yang setia. Lewat
sorot balik (flash buck) berkali-kali, cerita konyol pemuda kota
itu terus diselipi kisah sedih si buruh tambang. Eilm ini akan
menjadi film murahan seandainya cuma bercerita tentang sang
pemuda dan gadis, dan sebaliknya akan jadi film suram yang
memberat jika hanya tentang yang kedua.
Secara sinematis, Happiness of Us Alone karya Zenzo Matsyuyama
tidak istimewa. Tidak diketahui kapan film ini dibikin,
penggunaan teknik hitam-putihnya -- yang murah -- nampaknya
bukan karena alasan keuangan. Cerita bermula pada kesuraman
hari-hari kekalahan Jepang oleh pemboman Sekutu menjelang akhir
Perang Dunia kedua. Tokoh utamanya sepasang suami istris
yang sama-sama tuli. Sang suami malah juga bisu. Dari keluarga
inilah -- melewati kepahitan, kerja keras, kemiskinan,
penghinaan -- lahir seorang putera yang cerdas.
Di akhir cerita menonjol dua tokoh muda: putera keluarga tuli
dan seorang anak muda gagah dalam pakaian seragam. Yang
terakhir ini ternyata anak yatim piatu yang diselamatkan si
isteri tuli itu pada masa pemboman. Keduanya, yang tumbuh dan
berkembang sebagai buah penderitaan si bisu tuli, tidak bisa
lain kecuali gambaran Jepang sendiri. Jepang modern yang maju
pesat setelah melewati penderitaan dan kehancuran perang yang
lalu.
Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini