Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah kotak persegi empat dengan tinggi hampir 3 meter berdiri di depan Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu lalu. Kotak itu berselubung poster yang mencolok mata bertulisan "Tolak Reklamasi Teluk Benoa! Cabut Perpres No. 51/2014". Kampanye seperti itu ramai disuarakan masyarakat Bali untuk menolak proyek reklamasi di Teluk Benoa. Properti kampanye tersebut sengaja diletakkan mengiringi pidato kebudayaan oleh Saras Dewi, 35 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reklamasi itu sendiri telah dihentikan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali terpilih, Wayan Koster dan Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati, pada 24 Agustus 2018. Menurut Koster, wilayah tersebut akan dikonservasi menjadi hutan mangrove. Saat ini, kondisi hutan mangrove di kawasan itu sudah gundul. "Yang gundul akan ditata kembali," ujar Koster, seperti dikutip dari Tempo.co.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saras Dewi, dalam pidato berjudul SembaHYANG Bhuvana itu, mengatakan apa yang terjadi di Teluk Benoa adalah pertarungan untuk ruang demokrasi bagi masyarakat. Sudah sewajibnya Teluk Benoa sebagai ekosistem dijaga bersama. Teluk Benoa adalah subyek yang memiliki hak biotik. Proyek reklamasi dinilai akan mengubah fungsi hidrologi Teluk Benoa. "Publik harus menggunakan kehendak politiknya, mengawasi dan mendorong kebijakan yang ekologis," ucapnya.
Saras membuka pidatonya dengan menjelaskan filsafat Timur dari aliran kuno India, Nyanya dan Vaisesika, yang secara epistemologi menguraikan alam dan proses pengetahuan manusia. Para pengikut aliran Nyanya atau Naiyayika menjelaskan bahwa obyek pengetahuan adalah elemen-elemen alam, yakni tanah, air, cahaya, udara, dan ether. Alam sebagai isian dari pengetahuan manusia dapat dicapai melalui persepsi, penyimpulan, perbandingan, dan kesaksian.
Ajaran Vaisesika melandaskan pengetahuannya pada Dharma. Segala cita-cita untuk mencari pencerahan mengarah pada Dharma, demi kepentingan yang baik dan didasari motif yang arif. "Belajar dari alam berarti melihat kehidupan terus bergulir," tutur Saras.
Adapun aliran Nyanya menyebutkan bahwa tujuan pengetahuan adalah melepaskan manusia dari kesengsaraan. Hidup sengsara adalah kehidupan yang jauh dari pengetahuan. "Hidup yang abai pada kehidupan yang harmonis dengan alam." DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo