Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRITIS, terbuka, kaya gagasan, kaya pengetahuan. Tiap seminar yang menghadirkan Sudjoko sebagai pembicara terasa segar, bersemangat. Pendapat-pendapatnya inspiratif. Ia pernah melontarkan ide agar aktor dan aktris kita yang ganteng dan cantik sesekali disuruh membongkar mobilnya yang mengkilap, disuruh pegang palu dan kapak. Singkat kata, mereka disuruh menukang.
Gagasan itu tak bersambut. Sudjoko maklum sebab dalam film aktor dan aktris kita cuma disuruh membahak dan membentak. Seolah urusan pertukangan adalah pekerjaan kasar yang tak pantas dilakukan oleh bintang layar perak. Dan itu, katanya, mencerminkan sikap umumnya masyarakat, yang lebih memuja pekerjaan ”halus” daripada yang ”kasar”.
Kerja otak daripada kerja otot. Lihat, katanya, remaja yang mendapat penghargaan selalu dari sekolah umum—jarang dari sekolah kejuruan. Lomba yang populer pun hanya matematika dan fisika. Tidak ada lomba menggergaji, mengelas, mengetam.
Padahal kedua ilmu itu diperlukan untuk membentuk hidup yang seimbang. Di negara seperti Jepang, para perajin dihargai tinggi, mendapat jaminan dan penghormatan istimewa. Secara tak langsung, mestinya penghargaan untuk ”kerja otak” dan ”kerja otot” itu menjadikan Jepang bukan hanya negara tempat lahir latihan matematika metode kumon. Tapi juga menjadi negara produsen mobil dan barang elektronik (yang memerlukan kerja tangan, bukan hanya pikiran).
Di segala bidang, Profesor Dr Sudjoko menentang pengkastaan, merayakan kebhinekaan. Sepuluh tahun sebelum meraih doktor di bidang pendidikan seni di Ohio, Amerika Serikat, pada 1971, ia sudah berpendirian tidak ada perlunya membedakan seniman dengan perajin, karena kita memerlukan keindahan di mana saja dan pada apa saja. Ia percaya keindahan di mana-mana akan lebih membahagiakan hidup, bahwa karya seni bukan hanya yang ”besar dan mendalam”, melainkan juga yang ”meringankan perasaan” karena nilai hiasnya atau karena ketepatan proporsinya.
Dia juga mengkritik kemalasan kita mencari istilah sendiri, lebih suka menyerap kata-kata asing. Maka dia usulkan menerjemahkan inferiority complex dengan krocojiwa, refleksi dengan santir, membuat sketsa dengan menggasit, gambar ilustrasi dengan galis, over estimate dengan melojok, dan banyak lagi.
Belakangan, setelah pensiun dari ITB (tapi masih mengajar dan menjadi anggota senat guru besar Universitas Tarumanegara), Sudjoko rajin mengamati pers kita. Misalnya, ia kritik pers yang tidak adil dalam memberitakan Aceh dan Nias pascatsunami. Yang ditekankan dalam pemberitaan berkaitan dengan berdatangannya orang asing di Aceh adalah prasangka, kecurigaan bahwa mereka menjalankan agenda sendiri. Bangsa ini tak tahu berterima kasih, kata Sudjoko. Pers tak memuat bagaimana serdadu-serdadu Prancis membersihkan jalan dari segala yang dihanyutkan tsunami, tentara Spanyol membangun sekolah, dan sebagainya.
Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa kita telah ”kebarat-baratan”: berpakaian cara Barat, lebih menikmati hamburger daripada oncom, dan menganggap yang dari Barat pasti bagus. Ia lalu bercerita bahwa dulu orang-orang Bugis sudah berlayar dan berdagang sampai di pantai utara Australia, sampai di Afrika Selatan. Dulu, pokoknya, kita bangsa yang kreatif, mandiri, dan berdiri sama tinggi.
Tak mudah menangkap sikap dan pemikiran yang mendasari kritik dan pujian yang dilontarkan Sudjoko dalam berbagai kesempatan. Kadang pemikirannya tentang satu hal bertentangan dengan pemikiran dalam hal lain; ia sering terasa kontradiktif.
Tapi pria kelahiran Bandung pada 1928, dan menutup mata di kota ini juga secara bercikun (diam-diam) di rumahnya dua pekan lalu itu memang sosok yang kritis. Dia selalu menguji pendapat orang lain dengan menyajikan pemikiran dari sisi yang lain. Mungkin, yang dicita-citakannya adalah tumbuhnya semangat berbuat dan mencipta dan memberikan penghargaan di dalam hidup bangsa Indonesia dalam bidang apa saja dengan mutu yang bisa dibanggakan.
Dia mengkritik sinetron dan banyaknya film asing di televisi kita. Dia menyayangkan bahwa TVRI sekalipun tak menyiarkan ulang tahun Mozart, komponis besar Austria yang menciptakan banyak karya pesanan namun begitu membahagiakan mereka yang mendengarnya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo