Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Sudjoko yang Menembus Batas

Doktor pendidikan seni rupa ini punya minat yang menembus batas. Dari bahasa, pendidikan, musik, hingga film. Dia meninggalkan kita secara bercikun di Bandung, dua pekan lalu.

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRITIS, terbuka, kaya gagasan, kaya pengetahuan. Tiap se­minar yang menghadirkan Sudjoko se­bagai pembicara terasa segar, bersemangat. Pendapat-pendapatnya inspi­ratif. Ia pernah melontarkan ide agar aktor dan aktris kita yang ganteng dan cantik sesekali disuruh membongkar mobilnya yang mengkilap, disuruh pegang palu dan kapak. Singkat kata, me­reka disuruh menukang.

Gagasan itu tak bersambut. Sudjoko maklum sebab dalam film aktor dan aktris kita cuma disuruh membahak dan membentak. Seolah urusan pertukang­an adalah pekerjaan kasar yang tak pantas dilakukan oleh bintang layar perak. Dan itu, katanya, mencermin­kan sikap umumnya masyarakat, yang le­bih memuja pekerjaan ”halus” daripada yang ”kasar”.

Kerja otak daripada kerja otot. Lihat, katanya, remaja yang mendapat penghargaan selalu dari sekolah umum—jarang dari sekolah kejuruan. Lomba yang populer pun hanya matematika dan fisika. Tidak ada lomba menggergaji, me­ngelas, mengetam.

Padahal kedua ilmu itu diperlukan untuk membentuk hidup yang se­imbang. Di negara seperti Jepang, para pe­rajin dihargai tinggi, mendapat ja­minan dan penghormatan istimewa. Secara tak langsung, mestinya penghargaan untuk ”kerja otak” dan ”kerja otot” itu men­­jadikan Jepang bukan ha­nya negara tem­pat lahir latihan matematika metode kumon. Tapi juga menjadi negara produsen mobil dan barang elektronik (yang memerlukan kerja tangan, bukan ha­nya pikiran).

Di segala bidang, Profesor Dr Sudjoko menentang pengkastaan, merayakan ke­bhinekaan. Sepuluh tahun sebelum me­raih doktor di bidang pendidikan seni di Ohio, Amerika Serikat, pada 1971, ia sudah berpendirian tidak ada perlunya membedakan seniman de­ngan pe­rajin, karena kita memerlukan keindahan di mana saja dan pada apa saja. Ia percaya keindahan di mana-mana­ akan lebih membahagiakan hidup, bahwa karya seni bukan hanya yang ”besar dan mendalam”, melainkan juga yang ”meri­ngankan pe­rasaan” karena nilai hiasnya atau karena ketepatan proporsinya.

Dia juga mengkritik kemalasan kita mencari istilah sendiri, lebih suka menye­rap kata-kata asing. Maka dia usulkan menerjemahkan inferiority complex dengan krocojiwa, refleksi de­ngan santir, membuat sketsa de­ngan menggasit, gambar ilustrasi dengan galis, over estimate dengan melojok, dan banyak lagi.

Belakangan, setelah pensiun dari ITB (tapi masih meng­ajar dan menjadi anggota senat guru besar Universitas Tarumanegara), Sudjoko rajin mengamati pers kita. Misalnya, ia kritik pers yang tidak adil dalam memberi­takan Aceh dan Nias pasca­tsunami. Yang ditekankan dalam pemberitaan berkait­an dengan berdatangannya orang asing di Aceh adalah prasangka, kecurigaan bahwa mereka menjalankan agenda sendiri. Bangsa ini tak tahu berterima kasih, kata Sudjoko. Pers tak memuat bagaimana serdadu-serdadu Prancis membersihkan jalan dari segala yang dihanyutkan tsunami, tentara Spa­nyol membangun sekolah, dan sebagainya.

Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa kita telah ”keba­rat-baratan”: berpakai­an ca­ra Barat, lebih menikmati hamburger daripada oncom, dan menganggap yang dari Barat pasti bagus. Ia lalu bercerita bahwa dulu orang-orang Bugis sudah berlayar dan berdagang sampai di pantai utara Australia, sampai di Afrika Selatan. Dulu, pokoknya, kita bangsa yang kreatif, mandiri, dan berdiri sama tinggi.

Tak mudah menangkap sikap dan pemikiran yang mendasari kritik dan pujian yang dilontarkan Sudjoko dalam berbagai kesempatan. Kadang pemikir­annya tentang satu hal bertentangan dengan pemikiran dalam hal lain; ia sering terasa kontradiktif.

Tapi pria kelahiran Ban­dung pada 1928, dan menutup mata di kota ini juga secara bercikun (diam-diam) di rumah­nya dua pekan lalu itu memang sosok yang kritis. Dia selalu menguji pendapat orang lain dengan menyaji­kan pemikiran dari sisi yang lain. Mungkin, yang dicita-citakannya adalah tumbuhnya sema­ngat berbuat dan mencipta dan memberikan penghargaan di dalam hi­dup bangsa Indonesia dalam bidang apa saja dengan mutu yang bisa dibanggakan.

Dia mengkritik sinetron dan ba­nyak­nya film asing di televisi kita. Dia menyayangkan bahwa TVRI sekalipun tak menyiarkan ulang t­ahun Mozart, komponis besar Austria yang menciptakan ba­nyak karya pesanan namun begitu membahagiakan mere­ka yang men­dengarnya.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus