Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sudjoyono Bangkit Kembali

44 lukisan dan 4 sketsa s sudjojono dipamerkan di balai budaya. ciri khasnya tetap membawa semangat revolusi. ide lukisannya berbau asap mesiu, bambu runcing, pergolokan atau perasaan tertekan. (sr)

22 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU lagi tokoh PERSAGI. S.SUdjojono, muncul di Balai Budaya 6-13 dengan 44 lukisan dan 4 buah sketsa. 5 buah isi pameran adalah milik Adam Malik, tetapi campurnya selera seorang penggede dalam penampilan ini tidak menyebabkan pameran menjadi sebuah kapsalon kecantikan -- sebagaimana terjadi pada pameran Basuki Abdulah di Hotel Borobudur tempo hari. Sudjojono yang lahir di Kisaran, Sumatera, 14 Desember 1917,menampilkan wajah pribumi yang sebenarnya. Ia tetap membawa semangat revolusi fisik dalam dirinya--sehingga ke manapun kanvasnya menoleh, segalanya berbau asap mesiu. bambu runcing, pergolakan, atau pera aan tertekan. Pengungsi Dari Timor Tetapi filter revolusi dalam karya-karya Sudjojono membuat lukisan-lukisan itu kadangkala hanya sebagai potret masa lalu. Meskipun pada periode yang terakhir ia menjadi ekspresionis, surealis dan kadangkala semi abstrak, bayangan itu seakan bukan menjadi bagian dari masa kini. Namun demikian, ini tidak mengurangi kehadirannya sebagai satu pribadi yang sudah mantap, yang mencuat baik melalui temperamen warna, kwalitas garis dan sapuan-sapuan bidang yang memperlihatkan keahlian. Objek-objek yang dipilihnya sangat jauh dari selera seorang "mata keranjang" seperti Basuki Abdullah, dan jauh pula dari selera seorang "pedagang besi tua" seperti Agus Djaja. Sudjojono memilih pemandangan alam, sosok-sosok manusia, serta suasana-suasana tanpa ada usaha memperjual-belikan hal-hal yang menguntungkan dari objek itu. Agaknya pemilihan objek lebih didasari hubungan batin--yakni rasa cinta dan simpati - sehingga kesederhanaan tetap terasa, walau ia mencoba menggambarkan potret alam yang indah. Sebaliknya tidak pula terasa sebagai ironi atau protes yang berlebihan dosisnya, walau ia menggambarkan hidup tukang perahu di Pasar- Ikan atau suasana para pengungsi dari Timor--dari bahan aktuil. Pameran itu dimulai dengan Jalan Pasar Minggu yang dilukis pada 1959. Didominir warna coklat, membentang sebuah jalan kecil yang diteduhi pohon-pohon rindang, dengan semak-semak di sisinya, sementara sosok seorang lelaki tampak sedang melangkah ke sana. Tanah pribumi dan jiwa pribumi pelukis, klop di sini. Hal mana mengalami perubahan pada lukisan-lukisan berikutnya dari tahun-tahun yang lebih kemudian. Sudjojono membuka dirinya dengan warna-warna lebih meriah, meskipun tidak sampai menyala karena selalu dibikinnya menjadi "dop" dengan mencampuri warna putih. Misalnya Perahu-perahu di Pasar Ikan yang ramai, dengan garis-garis yang menampilkan rasa pergolakan untuk hidup. Dalam Istri saya di tahun 1975, yang juga berisi bait-bait sajak sebagai catatan, memang keluar warna-warna tanpa filter. Demikian juga pada lukisan Kembang untuk istriku serta juga Potret anak-anakku - kedua lukisan yang hampir tak bersuasana revolusi lagi. Kecenderungan ini boleh menunjukkan bahwa Sudjojono, yang bangkit dari semangat revolusi, tetap terbuka untuk kehidupan masa kini yang sewaktu-waktu bisa saja malahan menjadi jiwa kanvasnya - sebagaimana Agus Djaja. Tapi ini memang tidak perlu dianggap sebagai ampunan terhadap lukisan-lukisan periode terakhirnya yang masih meraba-raba. Penuh Janji Kita memang tidak punya hak mencegah Sudjojono melukis dengan filter apapun, baik filter revo]usi maupun filter kontemporer. Tapi lukisan-lukisannya yang terakhir, seperti Layang-ayang bagus -- yang menampilkan angkasa biru dengan awan merah dan sebuah layangan kecil menggelepar di bawah sebait sajak berbunyi: Kalau ada langit biru laut hitam di bawahnya/Kalau ada awan merah/ Mengapa tidak ada harapan di ujung sana - membuat kita hampir tak percaya. Sebabnya, di dinding lain, dengan judul Pengungsi-pengungsi dari Timor (1976), sebuah kanvas berformat besar menampilkan suasana pengungsian yang sesungguhnya lebih tepat dilukis pada tahun-tahun hangatnya revolusi kemerdekaan dulu. Di sana tampak sejumlah pengungsi dengan latar belakang perbukitan dengan kampung terbakar sementara langit memantulkan suasana bergolak. Kalau pada Layang-layang kita melihat suasana yang sudah dicernakan dan tampil sebagai puisi yang menggambarkan isi suasana--setidak-tidaknya suasana kehidupan sang pelukis -- pada lukisan pengungsi kita merasakan sebuah kenyataan "wadag". Kedua-duanya memang mempunyai kekuatan sendiri-sendiri - dan sulit terjadi bersamaan tanpa merugikan priode kreatif seorang pelukis. Cara melihat kehidupan dengan menembus wadag, ternyata baru usaha - kalau tidak sekedar "gaya" pada Sudjojono. Misalnya dalam lukisan-lukisannya yang melakukan perkosaan bentuk seperti Jago, Parodi, Binatang, Badut. Atau pada lukisan-lukisannya yang terasa jadi naif (Kembang butatan) dan tergopoh-gopoh membongkar 'misteri kehidupan'. Walaupun usaha-usaha tersebut kadangkala berhasil muncul di kanvas, sebagai babak baru yang penuh janji dari seorang tua seperti tokoh PERSAGI ini. Lukisan Padi misalnya, menampilkan rumpun padi keemasan yang sederhana, serta Ikan-ikan di Botol Biru yang memperlihatkan sebuah botol dengan ikan-ikan kecil--boleh dicatat berhasil untuk periode Sudjojono yang sedang melangkahi senilukis realis. Apapun atau bagaimanapun hasilnya, selamanya kita terharu manakala seorang tokoh tua suka mencoba kembali kerja, sambil melihat kenyataan yang hidup yang hanya merupakan kelanjutan dari zaman yang lalu. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus