SATU lagi tokoh PERSAGI. S.SUdjojono, muncul di Balai Budaya
6-13 dengan 44 lukisan dan 4 buah sketsa. 5 buah isi pameran
adalah milik Adam Malik, tetapi campurnya selera seorang
penggede dalam penampilan ini tidak menyebabkan pameran menjadi
sebuah kapsalon kecantikan -- sebagaimana terjadi pada pameran
Basuki Abdulah di Hotel Borobudur tempo hari. Sudjojono yang
lahir di Kisaran, Sumatera, 14 Desember 1917,menampilkan wajah
pribumi yang sebenarnya. Ia tetap membawa semangat revolusi
fisik dalam dirinya--sehingga ke manapun kanvasnya menoleh,
segalanya berbau asap mesiu. bambu runcing, pergolakan, atau
pera aan tertekan.
Pengungsi Dari Timor
Tetapi filter revolusi dalam karya-karya Sudjojono membuat
lukisan-lukisan itu kadangkala hanya sebagai potret masa lalu.
Meskipun pada periode yang terakhir ia menjadi ekspresionis,
surealis dan kadangkala semi abstrak, bayangan itu seakan bukan
menjadi bagian dari masa kini. Namun demikian, ini tidak
mengurangi kehadirannya sebagai satu pribadi yang sudah mantap,
yang mencuat baik melalui temperamen warna, kwalitas garis dan
sapuan-sapuan bidang yang memperlihatkan keahlian. Objek-objek
yang dipilihnya sangat jauh dari selera seorang "mata keranjang"
seperti Basuki Abdullah, dan jauh pula dari selera seorang
"pedagang besi tua" seperti Agus Djaja. Sudjojono memilih
pemandangan alam, sosok-sosok manusia, serta suasana-suasana
tanpa ada usaha memperjual-belikan hal-hal yang menguntungkan
dari objek itu. Agaknya pemilihan objek lebih didasari hubungan
batin--yakni rasa cinta dan simpati - sehingga kesederhanaan
tetap terasa, walau ia mencoba menggambarkan potret alam yang
indah. Sebaliknya tidak pula terasa sebagai ironi atau protes
yang berlebihan dosisnya, walau ia menggambarkan hidup tukang
perahu di Pasar- Ikan atau suasana para pengungsi dari
Timor--dari bahan aktuil.
Pameran itu dimulai dengan Jalan Pasar Minggu yang dilukis pada
1959. Didominir warna coklat, membentang sebuah jalan kecil yang
diteduhi pohon-pohon rindang, dengan semak-semak di sisinya,
sementara sosok seorang lelaki tampak sedang melangkah ke sana.
Tanah pribumi dan jiwa pribumi pelukis, klop di sini. Hal mana
mengalami perubahan pada lukisan-lukisan berikutnya dari
tahun-tahun yang lebih kemudian. Sudjojono membuka dirinya
dengan warna-warna lebih meriah, meskipun tidak sampai menyala
karena selalu dibikinnya menjadi "dop" dengan mencampuri warna
putih. Misalnya Perahu-perahu di Pasar Ikan yang ramai, dengan
garis-garis yang menampilkan rasa pergolakan untuk hidup. Dalam
Istri saya di tahun 1975, yang juga berisi bait-bait sajak
sebagai catatan, memang keluar warna-warna tanpa filter.
Demikian juga pada lukisan Kembang untuk istriku serta juga
Potret anak-anakku - kedua lukisan yang hampir tak bersuasana
revolusi lagi. Kecenderungan ini boleh menunjukkan bahwa
Sudjojono, yang bangkit dari semangat revolusi, tetap terbuka
untuk kehidupan masa kini yang sewaktu-waktu bisa saja malahan
menjadi jiwa kanvasnya - sebagaimana Agus Djaja. Tapi ini memang
tidak perlu dianggap sebagai ampunan terhadap lukisan-lukisan
periode terakhirnya yang masih meraba-raba.
Penuh Janji
Kita memang tidak punya hak mencegah Sudjojono melukis dengan
filter apapun, baik filter revo]usi maupun filter kontemporer.
Tapi lukisan-lukisannya yang terakhir, seperti Layang-ayang
bagus -- yang menampilkan angkasa biru dengan awan merah dan
sebuah layangan kecil menggelepar di bawah sebait sajak
berbunyi: Kalau ada langit biru laut hitam di bawahnya/Kalau
ada awan merah/ Mengapa tidak ada harapan di ujung sana -
membuat kita hampir tak percaya. Sebabnya, di dinding lain,
dengan judul Pengungsi-pengungsi dari Timor (1976), sebuah
kanvas berformat besar menampilkan suasana pengungsian yang
sesungguhnya lebih tepat dilukis pada tahun-tahun hangatnya
revolusi kemerdekaan dulu. Di sana tampak sejumlah pengungsi
dengan latar belakang perbukitan dengan kampung terbakar
sementara langit memantulkan suasana bergolak. Kalau pada
Layang-layang kita melihat suasana yang sudah dicernakan dan
tampil sebagai puisi yang menggambarkan isi
suasana--setidak-tidaknya suasana kehidupan sang pelukis -- pada
lukisan pengungsi kita merasakan sebuah kenyataan "wadag".
Kedua-duanya memang mempunyai kekuatan sendiri-sendiri - dan
sulit terjadi bersamaan tanpa merugikan priode kreatif seorang
pelukis. Cara melihat kehidupan dengan menembus wadag, ternyata
baru usaha - kalau tidak sekedar "gaya" pada Sudjojono.
Misalnya dalam lukisan-lukisannya yang melakukan perkosaan
bentuk seperti Jago, Parodi, Binatang, Badut. Atau pada
lukisan-lukisannya yang terasa jadi naif (Kembang butatan) dan
tergopoh-gopoh membongkar 'misteri kehidupan'. Walaupun
usaha-usaha tersebut kadangkala berhasil muncul di kanvas,
sebagai babak baru yang penuh janji dari seorang tua seperti
tokoh PERSAGI ini. Lukisan Padi misalnya, menampilkan rumpun
padi keemasan yang sederhana, serta Ikan-ikan di Botol Biru yang
memperlihatkan sebuah botol dengan ikan-ikan kecil--boleh
dicatat berhasil untuk periode Sudjojono yang sedang melangkahi
senilukis realis. Apapun atau bagaimanapun hasilnya, selamanya
kita terharu manakala seorang tokoh tua suka mencoba kembali
kerja, sambil melihat kenyataan yang hidup yang hanya merupakan
kelanjutan dari zaman yang lalu.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini