Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ruang pameran utama Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, ditaruh beberapa buah guci putih berbagai ukuran sebagai salah satu penanda utama pameran "Empty Fullness: Materiality and Spirituality in Contemporary Korean Art" (9-20 Januari 2015). Apa kaitan antara guci putih susu itu dan karya seni rupa kontemporer yang tengah dipamerkan?
Chung Joon-mo, kurator pameran ini, menjelaskan bahwa seni kontemporer Korea bagaimanapun tidak terlepas dari kehadiran dalhangari—istilah setempat yang digunakan untuk guci. Dalhangari adalah pusaka sekaligus sejarah dan estetika seni orang Korea.
Lihatlah bentuk dan permukaan guci itu. Tiap guci sebenarnya memancarkan kekhasan—warna putihnya tidak sama, sensasi permukaan dan bentuk bundarnya pun berbeda-beda. Pada masa Dinasti Joseon, abad ke-19, dalhangari adalah barang sehari-hari yang paling banyak diproduksi serta dimiliki para petani dan kaum bangsawan.
Identitas dalhangari digunakan Joon-mo untuk menggambarkan fenomena munculnya lukisan monokrom Korea (danÂsaekhwa) pada 1970-an, yang menarik perhatian dan memancing perdebatan dunia internasional. Waktu itu lukisan monokrom Korea, misalnya, diperbincangkan pada pameran "Korea: A Facet of Contemporary Art di Tokyo's Central Museum of Art" (1977) dan "Secondes Rencontres Internationales d'Art Contemporain" (1978) di Paris. Para kritikus melabelinya dengan beberapa nama: "reduksionisme (Korea)", "non-materialitas", "universalitas", "proses dematerialisasi", dan seterusnya.
Pertanyaan tajam dalam pameran-pameran internasional tersebut: apakah gejala lukisan monokrom Korea tak lebih dari kecenderungan yang dipengaruhi tren minimalisme di Barat pada permulaan 1970-an, sebuah kecenderungan yang sejajar dengan gelombang modernisasi yang mengubah Korea Selatan saat itu?
Joon-mo menampik analisis keterpengaruhan minimalisme Barat tersebut. Itu terlalu dangkal, katanya. Ia melihat lukisan monokrom adalah sebuah bentuk spiritualitas yang bisa dicari akarnya pada tradisi lokal pembuatan guci putih di atas. Lukisan monokrom ibarat meditasi, misalnya berani menjelajahi permukaan dan warna putih yang berbeda-beda hingga bertransformasi menjadi pengalaman visual yang khas. Kata kunci untuk mengalami karya-karya itu, menurut Joon-mo, adalah kepekaan mata untuk "menyentuh" obyek (visual tactility dan haptic).
Lihatlah, misalnya, Untitled karya Kwon Young-woo, seniman paling senior berusia 89 tahun, yang dibuat pada 1980-an. Dia menjelajahi permukaan hanji (kertas tradisional Korea) dengan menciptakan robekan-robekan kecil seperti "ledakan" biji yang masak. Karya itu mendorong kita untuk merasakan robekan, lubang, celah, tumpukan bayangan, bahkan "bunyi"—pendeknya kelembutan dan kekuatan Âkertas.
Lukisan Yun Hyong-keun (1928-2007) menampilkan citra kepekatan warna melalui seri umber-blue (1970-an sampai pertengahan 1980-an). Bidang warna tipis bertumpuk-tumpuk seperti merembes dari arah belakang kanvas memberi efek basah dan uap tipis pada beberapa bagian sekaligus sensasi ketebalan, hangus, dan gosong. Perpindahan dan tumpukan warna seakan-akan tidak datang dari sapuan kuas atau unsur di luar kanvas sebagai "struktur penopang", tapi berasal rembesan kanvas itu sendiri.
Chung Chang-sup (1927-2011) mengolah bubur kertas dari pohon murbei untuk menciptakan bermacam tekstur, bayangan keras dan lembut pada kanvasnya. Pada seri bertajuk Meditation, seniman ini membuat pola-pola segi empat untuk memusatkan perhatian kita pada bidang datar dan bayangan kekosongan. Chung Sang-hwa, 83 tahun, menciptakan kondisi monokromatik dengan menutup sekujur kanvasnya dengan "tempelan" bidang kecil atau jejak retakan halus seperti selembar kanvas tua.
Pada seri Conjunction, Ha Chong-hyun, 80 tahun, menyapukan cat dari arah belakang kain kanvas. Dia mengubah gagasan lukisan sebagai tumpahan subyek dari arah depan, menafsir ulang materialitas cat menjadi kesan-kesan tembus pandang dan lunak seperti gumpalan kapas.
Joon-mo menyebutkan salah satu paradoks mendalam dansaekhwa adalah menjadikan kanvas atau struktur penopang lukisan menjadi lukisan itu sendiri, seraya memperlakukan materi-cat berada dalam kondisi material dan nonmaterial. Itulah lompatan keluar dari dunia seni modernis.
Moon-beom, 60 tahun, misalnya memberi kesan cat tebal pada pojok-pojok kanvas seperti genangan yang kita bayangkan terdorong dengan sendirinya oleh permukaan yang tak rata (seri Slow, Same, Slow, 2003-2006).
Akan halnya Jang Seung-taik, 56 tahun, sangat menyadari sifat tembus pandang dan kegetasan materi yang digunakannya. Pada seri Floating Circles (2013), ia menggunakan lembaran film dan menggoreskan pola-pola lingkaran sangat tipis yang mengambang seperti kita menyaksikan Âcitra di layar komputer.
Sedangkan karya-karya fotografi Min Byung-hun, yang berasal dari tahun 2012, seakan-akan berhasrat menyerap obyek-obyek alamnya ke dalam sifat dan warna lembut kertas ketimbang menampilkannya sebagai sesuatu yang kasatmata. Pengaruh tradisi seni lanskap atau lukisan tinta (sumookhwa) memang terasa pada ragam ini. Di depan karya ini, kita tidak merasa bahwa obyek fotonya berasal dari bidikan kamera, bidang ketajamannya seluas bayangan atau kabut kertas. Inilah kertas yang "menghirup" alam dan alam yang menyedot kembali kertas untuk memantulkan bayangan puitisnya sendiri.
Kemodernan seni di berbagai belahan dunia di luar Barat menunjukkan tegangan yang berbeda-beda karena kekuatan lokal yang ikut bekerja. Kim Chang-sup, salah satu dari gelombang dansaekhwa, mengatakan, "Saya percaya bahwa kami telah bereaksi cukup cepat terhadap apa yang kami miliki sendiri sehingga kami tidak harus merasa sensitif terhadap gerakan di Barat."
Hendro Wiyanto, Pengamat Seni Rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo