Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Badan Penampungan Politikus Senayan

Politikus makin mendominasi kepemimpinan Badan Pemeriksa Keuangan. Revisi undang-undang mendesak dilakukan.

28 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Badan Penampungan Politikus Senayan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan periode 2019-2024 menggambarkan pengkhianatan kepada konstitusi yang menyatakan keuangan negara dikelola secara bertanggung jawab demi kemakmuran rakyat. Seleksi yang semestinya menjadi momentum untuk memperbaiki kualitas dan kredibilitas auditor negara itu malah digunakan untuk ajang bagi-bagi kekuasaan partai politik. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK harus segera direvisi untuk mengakhiri kesewenang-wenangan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut.

Pemilihan dan pengesahan anggota BPK pekan lalu menunjukkan sepak terjang DPR memanfaatkan lemahnya undang-undang demi menancapkan kepentingan mereka. Empat dari lima anggota baru yang terpilih adalah bekas legislator, yakni politikus Partai Gerindra, Pius Lustrilanang; politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Daniel Lumban Tobing; politikus Partai Golkar, Harry Azhar Azis; serta politikus Partai Demokrat, Achsanul Qosasi. Hanya satu calon nonpartai yang terpilih, yakni Hendra Susanto, auditor internal BPK.

Hasil itu menguatkan kesan bahwa BPK tak lebih sebagai tempat penampungan politikus Senayan. Pius dan Daniel tak kebagian kursi DPR dalam pemilihan umum legislatif yang digelar April lalu. Adapun Harry dan Achsanul, dua kandidat inkumben yang kembali terpilih, menjabat anggota BPK di periode sebelumnya setelah terdepak dalam pemilu 2014. Dengan hasil ini pula, lima dari sembilan kursi pemimpin BPK kini diduduki para mantan legislator.

Dimulai pertengahan Juni lalu, proses seleksi anggota BPK memang janggal sejak awal. Berselang tiga hari setelah pendaftaran ditutup, panitia seleksi dari Komisi Keuangan DPR memangkas hampir separuh dari 64 pendaftar—termasuk 28 orang dari kalangan akademikus, auditor, dan akuntan profesional—hanya berbekal penilaian terhadap makalah para kandidat. Seluruh prosesnya berlangsung tertutup, tanpa uji publik. Aroma konflik kepentingan menguat karena DPR justru meloloskan sejumlah politikus yang kompetensinya meragukan.

Undang-Undang Dasar 1945 memang memberikan kewenangan kepada DPR untuk memilih anggota BPK. Masalahnya, dalam 13 tahun terakhir, Undang-Undang BPK sebagai aturan turunannya justru punya banyak kelemahan. Undang-undang ini tak mengatur detail mekanisme pemilihan yang bisa memastikan DPR menjalankan kewenangannya secara transparan dan akuntabel. Aturan tersebut hanya menyebutkan anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

Besarnya kekuasaan DPR dalam pemilihan anggota BPK jelas mengancam independensi lembaga auditor negara yang juga dijamin konstitusi ini. Dominasi abadi para politikus di tubuh BPK terus menggerus marwah lembaga yang kini berada di ujung tanduk akibat sejumlah perkara jual-beli hasil pemeriksaan itu. Kasus terbaru bahkan menyeret anggota BPK periode 2014-2019, Rizal Djalil. Pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mantan politikus Partai Amanat Nasional itu sebagai tersangka dugaan suap yang dilatarbelakangi audit terhadap Direktorat Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Meski sebagian isinya muka lama, bola kini beralih ke anggota DPR periode 2019-2024 yang akan dilantik pekan ini. Mereka harus segera membahas draf revisi Undang-Undang BPK, yang setahun terakhir mandek kendati telah masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2019. Usul pemerintah agar seleksi anggota BPK dilakukan panitia seleksi independen—sebelum diputuskan DPR— semestinya direalisasi untuk menjamin transparansi.

Pengabaian terhadap pentingnya revisi undang-undang ini akan menguatkan bukti bahwa DPR ingin menumpulkan taring BPK sebagai lembaga pengawal keuangan negara. Mereka baru saja memereteli kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan memangkas berbagai kewenangan lembaga ini. Rakyat Indonesia pantas menggugat pengkhianatan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus