FILSAFAT SAINS MENURUT AL-QURAN Oleh: M. Ghulsyani Penerjemah: Agus Effendi Penerbit: Mizan, Bandung, 1988, 160 halaman BUKU ini menggunakan Quran untuk membahas filsafat sains. Judulnya membuat orang tertarik. Meski tebalnya 16 halaman (termasuk indeks), yang berupa terjemahan langsung hanyalah 118 halaman, sedangkan 35 halaman merupakan pengantar dari Haidir Bagir dan Zainal Abidin. Baru sekarang ini saya menemukan buku yang kata pengantar terjemahannya mencakup hampir sepertiga panjang tulisan yang diantarkannya. Isi pengantarnya merupakan perasan berbagai macam kajian tentang filsafat sains, yang dalam bentuk belum diperas saja sudah dapat membuat pembacanya menjadi teler. Sebaiknya pengantar itu diterbitkan saja terpisah. Apalagi penulis pertama pengantar itu, yang merangkap menjadi direktur penerbit buku, dapat melakukan hal itu dengan mudah, sehingga tidak perlu ia menjual gula harus dikawinkan dengan kopi. Dalam hal ini, yang menjadi gula yang manis ialah tulisan yang diantarkan, dan yang menjadi kopi adalah pengantarnya. Kecanggihan pengantar itu membuat saya lelah setelah membaca beberapa halaman saja. Hampir saja buku itu cuma jadi pajangan di rak buku. Untung saja, saya meloncat ke halaman 37. Suasana segera menjadi lebih santai. Saya merasa senang sekali melihat Bab I dipakai oleh Ghulsyani untuk meyakinkan umat Islam bahwa apa yang dimaksudkan oleh Quran dengan ilmu bukan saja ilmu akhirat, melainkan juga mencakup ilmu dunia, demi tugas manusia sebagai khalifahnya di bumi. Pendapat ini, bagi saya, menyejukkan sekali karena selama ini saya selalu risau membaca ringkasan-ringkasan hadis yang selalu menerjemahkan ulama sebagai ilmuwan (agama). Tidak disadari oleh penerjemah hadis itu bahwa dahulu ilmuwan itu selain paham akan permasalahan agama juga pakar berbagai pengetahuan alam seperti astronomi, matematika, dan kedokteran. Ghulsyani kemudian mencari ayat-ayat di dalam Quran yang mengungkapkan peranan sains dalam mengenal Tuhan dalam bab-bab berikutnya. Kemudian ia mengemukakan pula betapa pengenalan dan pemahaman alam dapat mendekatkan kita kepada Tuhan. Hal ini semua akibat logis bahwa Al-Ilm, yaitu Pengetahuan Allah, mencakup semua pengetahuan yang ada di alam semesta ini. Manusia hanya dapat memahami sebagian kecil pengetahuan yang ada, melalui pengkajian Wahyu-Nya, atau melalui nalar. Ini semua mengingatkan saya bahwa dalam abad ke-17 Newton mempelajari alam semesta sebagai "buku Injilnya yang kedua", agar dapat membaca Rencana Tuhan Semesta Alam bagi umat manusia. Selain itu, hal ini juga sejalan dengan pengalaman seorang astronaut wanita Jepang, Chiaki Mukai, yang dituturkan oleh Look Japan, Januari 1989. Ia mengatakan bahwa dari kira-kira 100 manusia yang pernah berkelana ke angkasa luar, banyak yang merasa melihat Tuhan di ruang angkasa. Pengalaman seperti ini, katanya, dibukukan oleh Takashi Tachibana dalam bukunya Return from the Universe. Selanjutnya, Ghulsyani memberi peringatan atas dasar surat al-Alaq bahwa pembacaan ayat-ayat Allah di alam semesta ini harus dilakukan dengan mengatasnamakan Tuhan Sang Maha Pencipta. Kalau tidak demikian, maka sains akan menjadi sumber malapetaka. Apabila penyebarluasan paham seperti ini dapat diterima orang, penguasaan ilmu di kalangan masyarakat muslim akan maju dengan pesat. Hanya satu hal yang mengganggu perasaan saya, yaitu terjemahan yang digunakan untuk QS Ar-Rum 30:21, ayat yang selalu dikutip dalam setiap khotbah nikah. Terjemahan yang digunakan dalam buku Ghulsyani itu bunyinya ialah: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia Menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepada-Nya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesunguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Kata "istri-istri" digunakan sebagai padanan kata aswaaja. Padanan kata yang sebenarnya ialah "pasangan". Karena diikuti kata-kata litaskunuu ilaihaa, artinya berubah menjadi bentuk jamak, yaitu "pasangan-pasangan" oleh kata pengubah feminin ilaihaa, yang bertugas menjamakkan. Kalau yang ingin dimaksudkan dengan aswaaja ialah "istri-istri", maka yang akan dipakai menjamakkan bukanlah ilaihaa, melainkan ilaihinaa. Mungkin atas dasar hal tersebut Muhammad Assad dan Abdullah Yusuf Ali menerjemahkan kata itu sebagai mates, sedangkan Picthall menerjemahkannya sebagai helpmeets, yang keduanya berbentuk jamak tetapi bersifat netral terhadap jenis kelamin. Hanya khatib yang orang Mesir itu menerjemahkannya sebagai wives atau "istri-istri" di dalam terjemahan bahasa Inggrisnya. Saya perkirakan juga bahwa penerjemah buku Ghulsyani itu menerjemahkan aswaaja sebagai "istri-istri" karena dalam edisi bahasa Inggrisnya yang digunakan sebagai padanannya ialah wives. Hal ini semua menunjukkan gejala adanya "chauvinisme jantan secara tidak sengaja dalam berbagai terjemah ayat-ayat Quran, seakan-akan misalnya QS 30:21 hanya ditujukan kepada laki-laki. Saya tidak percaya akan "Androgini". Menganggap laki-laki dan perempuan sama hak dan kewajibannya dalam semua aspek tidak dapat diterima dari kenyataan biologi. Tetapi saya juga tidak percaya bahwa perempuan boleh dijadikan sasaran "chauvinisme jantan", apalagi dalam terjemahan ayat-ayat suci. Selama suatu masyarakat masih menganut "chauvinisme jantan", maka selama itu juga perkembangan penguasaan sains tidak dapat berkembang dengan pesat. Andi Hakim Nasution
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini