TIDAK lama lagi bangsa Indnesia akan memasuki tahap terakhir proses pembangunan jangka panjang pertama, yakni Pelita V. Karena itu, wajar bila sebelum memasuki Pelita V kita rnembuat suatu evaluasi tentang hasil-hasil apa saja yang telah kita capai selama empat Pelita. Hal ini penting karena Pelita V mempunyai makna khusus bagi bangsa ini: ia merupakan kesempatan terakhir bagi bangsa ini untuk berbenah diri dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya sebelum memasuki abad ke-21, suatu abad yang penuh dengan tantangan baru yang cukup rumit. Dalam bidang ekonomi, selama empat Pelita kita telah berhasil mencapai dua sukses. Pertama, kita telah berhasil mencukupi kebutuhan pangan kita sendiri. Kedua, kita sudah mulai mampu mengurangi ketergantungan perekonomian nasional kita pada hasil ekspor minyak. Jumlah rakyat Indonesia yang miskin selama empat Pelita telah menunjukkan gejala menurun. Dalam bidang ekonomi, dengan kata lain, selama empat Pelita ini kita telah berhasil menipiskan awan mendung yang tebal yang sebelumnya pernah meliput langit kehidupan ekonomi bangsa ini ketika kita memasuki Pelita I. Dalam pembangunan politik, kita telah mencapai kemajuan yang cukup lumayan, walau belum secepat yang dicapai dalam bidang ekonomi. Antara lain dengan diterimanya Pancasila sebagai dasar kehidupan berpolitik kita oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, masih ada sisa awan mendung dalam bidang ini, yakni masih belum terciptanya lingkungan politik yang benar-benar demokratis serta belum terjaminnya secara penuh hak-hak asasi rakyat Indonesia. Yang paling memprihatinkan adalah hasil yang kita capai dalam bidang pembangunan kebudayaan. Terus terang, dalam bidang ini awan mendung masih cukup tebal. Selama empat Pelita ini kita belum belhasil menciptakan suatu budaya baru Indonesia yang dapat mendorong tumbuh dan mekarnya bangsa dan masyarakat Indonesia yang dinamis. Suatu masyarakat yang dinamis mempunyai ciri-ciri budaya sebagai berikut. Pertama, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan menghargai hak asasi manusia. Kedua, menjunjung tinggi dan menghormati prestasi dan bukannya pangkat dan kekayaan seseorang. Ketiga, meletakkan kekuasaan hukum di atas jabatan atau kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat. Keempat, tidak cepat puas terhadap suatu keadaan. Dan kelima, memilik rasa solidaritas sosial yang tinggi terhadap sesama anak bangsanya. Apakah selama empat Pelita itu pembangunan kebudayaan telah dapat menciptakan nilai-nilai budaya yang dapat menciptakan suatu masyarakat Indonesia baru yang dinamis itu? Belum. Bahkan sebaliknya, dalam masyarakat Indonesia muncul gejala-gejala budaya yang menghambat upaya menciptakan masyarakat yang dinamis itu. Contohnya banyak. Di kalangan kelompok elite bangsa kita muncul suatu budaya yang disebut ostentious culture atau budaya pamer. Di kalangan kelompok ini, umpamanya, memiliki rumah satu bukan lagi suatu nilai hidup yang mereka junjung lagi. Bila dalam program keluarga berencana kita mengenal motto "dua anak cukup", di kalangan kelompok elite Indonesia dikenal motto "tidak cukup satu". Budaya pamer ini merupakan manifestasi munculnya neo-feodalisme dalam masyarakat kita. Gejala budaya neo-feodalisme muncul dalam dunia organisasi wanita kita, dan dunia birokrasi Indonesia. Di kalangan organisasi wanita muncul suatu kebiasaan baru: dalam acara-acara tertentu, acara pembukaan kongres umpamanya, para pemimpin organisasi itu mengenakan kain dan kebaya yang berbeda, dari segi warna, corak kain, dan harga, dengan kain dan baju yang digunakan oleh anggota biasa. Sedang di kalangan birokrasi Indonesia muncul dua jenis birokrat, yakni birokrat eselon dan birokrat non-eselon dengan berbagai perbedaan hak dan fasilitas. Birokrat eselon pensiun pada usia 65 sedang para birokrat non-eselon pensiun pada usia 55 tahun. Sementara itu, birokrat eselon memperoleh fasilitas kredit kendaraan bermotor, sedang birokrat non-eselon tak memperoleh fasilitas itu. Dalam bidang budaya politik, yang muncul selama empat Pelita ini adalah "kebudayaan panutan" atau patron-client. Karena tuntutan budaya loyalitas pada atasan yang berlebih-lebihan, budaya panutan itu berubah menjadi "budaya manutan" (menurut). Demokrasi dengan demikian semakin jauh dari kenyataan kehidupan bangsa ini. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa demokrasi adalah prasyarat bagi suatu pembangunan yang lestari dan berkembang. Ada suatu hal lain yang menarik yang terjadi dalam masyarakat kita selama dua dekade yang terakhir ini. Yakni rusaknya disiplin bangsa ini. Ini dapat kita lihat hampir di semua sektor kehidupan bangsa, kecuali pada para petani Indonesia. Di sektor lalu lintas, kita dapat melihat bagaimana tidak disiplinnya kita dalam berlalu lintas sehingga timbul suatu kesan anarki dalam dunia lalu lintas kita. Tindakan tidak disiplin juga tercermin dalam bagaimana para pejabat Indonesia berbahasa Indonesia. Dalam masyarakat pejabat timbul kebanggaan tersendiri untuk berbicara dengan menggunakan kata "daripada" yang tidak sesuai dengan hukum bahasa Indonesia. Timbul kesan seolah-olah dengan menggunakan kata itu mereka ingin menunjukkan "kepejabatan" mereka di muka rakyat. Adanya budaya-budaya seperti itu menyebabkan kita selama empat Pelita harus tetap "berlan di tempat", sulit maju untuk mengejar ketinggalan. Benarlah kata orang, pembangunan di negara kita telah membawa bangsa ini hanya pada tahap masyarakat pascatradisional (post traditional), maju tidak, mundur pun tidak. Belum berhasilnya kita selama empat Pelita menciptakan budaya baru menyebabkan kita mengalami pembangunan yang statis (static development), atau pembangunan tanpa perubahan. Pelita V merupakan kesempatan terakhir bagi kita untuk berbenah diri. Karena itu, mungkin sudah saatnya bahwa pada Pelita V kita semua harus memberi perhatian khusus untuk membereskan permasalahan kebudayaan ini. Pembangunan ekonomi penting, tetapi hasil-hasil pembangunan ekonomi itu tak akan mampu berbuat banyak untuk membesarkan bangsa ini bila ia tidak didukung oleh kebudayaan yang modern pula. Semakin lama kita menunda untuk memecahkan permasalahan ini, semakin berat permasalan itu, dan semakin lamban bangsa ini mengejar ketinggalan mereka dengan mandiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini