Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Kebun Binatang

27 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Irfan Budiman
Wartawan

BEDUL baru saja selesai mengepel lantai. Tiba-tiba dengan santai seekor kucing melintas. Empat kakinya yang kotor membuat jejak yang membuat Bedul naik darah. Dia mengejar kucing itu sambil mengumpat. Tapi sang kucing punya tenaga ekstra, secara refleks dia kabur. Tinggal si Bedul yang menahan marah. ”Monyet lu, bikin capek orang saja.”

Seketika pula kucing itu menghentikan langkahnya. Matanya mendelik ke arah Bedul, lalu berucap, ”Saya kucing, Pak, bukan monyet.”

Cerita ini tentu saja rekaan. Namun, satu hal yang bisa dipetik, dalam berbahasa ternyata kita sering keliru. Kalaulah ada yang bisa dimaafkan, mungkin karena Bedul sedang mengumpat.

Tapi ada contoh lain, kata bangsat, misalnya. Binatang ini hanyalah kutu busuk yang kecil yang mengakibatkan gatal-gatal. Namun binatang ini mendapat porsi kekuatan yang luar biasa. Dia selalu datang bersama kemarahan yang besar. ”Bangsat! Bikin malu saja,” kata seorang bos ketika tahu anak buahnya menyajikan jajanan murah kepada rekan bisnisnya.

Ternyata binatang kerap menjadi makhluk yang paling menderita dalam khazanah bahasa kita. Dia kerap dipakai pada saat emosi sedang terpanggang. Umpatan dengan menggandeng binatang lebih diterima dalam ukuran norma kesopanan dibanding semisal dengan menyebut kelamin atau perkelaminan.

Kalaupun tidak untuk mengumpat, nama binatang bisa bergandengan dengan hal-hal yang buruk atau negatif. Konotasi yang positif sangat terbatas, misalnya istilah mata elang untuk menyebut mata yang tajam; burung merak untuk menunjukkan keanggunan; kancil, binatang yang lincah, melekat pada sosok Abdul Kadir—pemain sepak bola yang memang lincah di lapangan hijau.

Selebihnya, kita cenderung mengangkut semua penghuni kebun binatang dalam kalimat yang berkonotasi negatif. Istilah air mata buaya adalah sebutan bagi mereka yang menggunakan air mata untuk melemahkan hati lawan bicaranya. Otak udang adalah cercaan kasar bagi mereka yang sangat lama dalam memahami sesuatu yang sangat sederhana. Ayam sayur adalah sebutan untuk orang penakut.

Pun begitu dengan istilah buaya darat. Padahal, konteksnya tak tepat. Untuk menunjukkan perilaku yang berganti-ganti pasangan, semestinya binatang kelinci lebih pas. Binatang ini paling doyan kawin dan punya banyak anak. Paling parah adalah perumpamaan binatang dengan manusia. Saat terjadi tindakan amoral, misalnya inses, serta-merta pasangan tersebut dianggap seperti binatang. Padahal, dalam ilmu genetika, hasil hubungan dalam kekerabatan yang dekat akan menimbulkan keturunan yang cacat. Rasanya tak pernah ada kucing atau ayam di sekitar rumah yang terlihat pengkor kakinya atau cacat lainnya yang biasa hadir karena perkawinan yang punya hubungan darah yang dekat.

Lebih jauh dunia fabel juga memberikan implikasi tentang karakter binatang. Kancil identik dengan binatang yang cerdik, nakal, suka mencuri mentimun milik petani. Karena itu, si kancil sebagai anak nakal harus dihukum dan jangan diberi ampun.

Sebenarnya ini hal yang unik. Di Indonesia yang agraris ini semestinya bahasa kita kaya dengan persahabatan dengan makhluk sekitarnya. Binatang menjadi teman, bukan lagi semacam sosok yang kerap bikin masalah. Orang Indian malah memasukkan unsur alam dalam penamaan mereka.

Negeri ini juga sebenarnya memiliki sejarah eratnya antara manusia dan hewan sekitarnya. Bahkan dalam sejarah ada nama hewan menjadi nama sosok penting, seperti Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Beberapa suku di negeri ini pun menunjukkan keakraban dengan binatang. Orang Sunda, misalnya, mempunyai panggilan khusus bagi hewan berdasarkan usianya. Anak kerbau dipanggil eneng. Di Jawa, anak kerbau dipanggil gudel.

Namun lagi-lagi, ketika amarah menyergap, keakraban itu mendadak hilang. Umpatan berseliweran: monyet siah, dasar munyuk.

Komik yang terbit pada 1970-an, misalnya, kaya akan umpatan yang lebih netral, seperti bedebah, keparat, kurang ajar, atau sundel. Kalau mau berlebihan, kata-kata ini jauh lebih menghormati binatang, yang tak lain makhluk yang hidup bersama manusia yang berbahasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus