Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam melihat foto, kita dimohon untuk percaya akan suatu "kebenaran" perihal yang nyata dan memang pernah terjadi. Apakah foto memang harus menyatakan "kebenaran" semacam itu? Dapatkah sebuah foto menunjukkan kepada kita sesuatu yang nyata namun sebenarnya itu bukanlah realitas? Di mana letak "kebenaran" sebuah foto sehingga boleh disebut sebagai foto?
Berhadapan dengan sebuah foto, kita seolah dihadapkan hanya pada dua pilihan. Yakni, apakah kita menerima bahwa hal itu memang pernah terjadi atau tidak mengakui bahwa itu adalah foto. Roland Barthes pernah mengatakan bahwa foto seakan-akan tidak memberi ruang bagi perbedaan pendapat. Akan tetapi, kata Barthes lagi, foto juga terlalu kuat bagi kita untuk tidak mengakui bahwa itu foto. Karena itu, foto dikatakan "terlalu kuat untuk dibaca", karena dengan "membaca" foto kita juga harus melakukan tawar-menawar dengan foto itu.
Pameran foto "Pelesiran ke Yogya" (Vacances a Yogya) di Centre Culturel Francais (CCF), Jakarta, 29 September-13 November 2004, oleh kelompok MES 56, Yogya, menunjukkan upaya untuk membaca wacana representasi di dalam seni fotografi. Fotografi tidak hanya dipahami sebatas medium untuk memproduksi foto dalam pengertian menampilkan kembali pengalaman yang membuat sebuah foto benar-benar identik dengan realitas itu sendiri. Tapimeminjam kalimat Barthes lagidengan mempersoalkan foto, justru kita dapat mengembangkan subyektivitas kita sendiri dengan "membaca"-nya.
Bagi sebagian seniman, dengan mempersoalkan foto, terbukalah celah untuk membaca sekaligus menciptakan "foto" yang mengandung opini ketimbang semata-mata menempatkannya sebagai sarana dokumentasi atau rekaman yang autentik dari realitas yang ada. Foto semacam itu, meski nyata, sebagaimana ditunjukkan oleh susunan gambar atau tanda-tanda yang kita lihat di sana, belum tentu yang nyata itu menunjuk pada suatu pengalaman empiris. Jika di dalam sebuah foto seorang bintang iklan menyatakan testimoni atau kesaksian perihal sebuah produk, bukankah kita tahu bahwa apa yang dikatakannya merupakan strategi industri periklanan ketimbang menunjukkan fakta-empiris mengenai relasi antara pengiklan dan barangnya? Foto ternyata memiliki "realitas" lain yang tidak dibatasi oleh apa yang tampak nyata.
Di dalam wacana seni rupa kontemporer, medium fotografi digunakan oleh seniman dengan tujuan, misalnya, untuk mempertanyakan relasi antara "kebenaran" sebuah citra dan realitas atau antara citra/penanda itu dengan pesan-pesan ideologis yang dikandungnya. Contohnya, foto-foto Cindy Sherman yang seolah-olah merupakan potret-dirinya sendiri. Berbagai subyek feminin dalam foto Sherman yang diperagakan olehnya merupakan kritik feminis terhadap ikonografi Barat yang menyamakan antara perempuan dan citra. Foto-foto Sherman adalah simulakra, tiruan model yang dianggap autentik. Identitas perempuan yang direpresentasikannya adalah "fungsi penanda-penanda" berupa bingkai, pencahayaan, jarak, dan akhirnya adalah sudut kamera yang membentuk citra tertentu perempuan. Di dalam karyanya, Sherman berhasil mengartikulasikan diri justru dengan cara menjadi atau meminjam sosok tokoh lain.
Dalam pameran ini medium fotografi digunakan oleh kelompok MES 56 untuk merekonstruksi pengalaman (di masa silam) ataupun menciptakan penanda bagi khayal seseorang (yang belum pernah terjadi) dikaitkan de-ngan hasrat pelesiran ke obyek wisata di Yogya. Kepada sejumlah orang, diajukan pertanyaan perihal pengalaman maupun hasrat merekayang belum kesampaianuntuk pelesiran ke Yogya. Kita tidak tahu bagaimana tepatnya hal itu diajukan, namun pertanyaan yang sama memang mungkin mendapat jawaban yang berbeda-beda. Nah, tanggapan yang berbeda-beda itulah yang kemudian berkembang menjadi wacana simulakra di dalam citra fotografis.
Pengalaman autentik yang biasanya kita kenali sebagai penanda utama sebuah foto disandingkan dengan simulasi foto yang didasarkan oleh hasrat pelesiran. Subyek pada foto yang pertama dihilangkan, digunakan kembali untuk menandai hasrat pelesiran yang muncul pada jenis foto yang kedua. Justru foto jenis kedualah yang kini seakan-akan menjadi memento bagi pengalaman empiris. Sedangkan foto pertama kehilangan statusnya sebagai sebuah foto yang autentik karena subyek foto tinggal bayangan siluet. Perkembangan teknologi digital dalam medium fotografi telah mampu menyempurnakan permainan citra sedemikian rupa sehingga simulasi menjadi nyata. Tak mudah lagi membedakan antara yang real dan yang tiruan atau palsu. Seakan-akan orang dapat pelesir tanpa pernah mengalaminya sendiri. Seperti dikatakan oleh Umberto Eco, di dalam dunia hyper-real kita sekarang ini, segala sesuatu bisa tampak nyata (real) dan itulah yang dianggap nyata. Bagaimanapun, yang nyata adalah nyata, begitu nyata kendati sesungguhnya tak pernah ada.
Dengan cara membaca semacam itu, lihatlah misalnya foto Bagja, tukang parkir, dan Radi Suradi, pemilik wa-rung rokok di depan CCF, yang mengaku belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke obyek wisata tersohor Borobudur. Melalui simulasi di dalam fotografi, kini mereka mempunyai foto dengan latar stupa-stupa Borobudur, seperti halnya foto-foto orang lain yang pernah berpiknik ke Borobudur yang sering mereka saksikan. Jika kelak keduanya sungguh-sungguh pelesir ke Borobudur, tidak dapatkah "foto" ini menjadi dokumen autentik? Atau, masih perlukah berfoto lagi di depan stupa Borobudur? Citra seakan datang mendahului pengalaman, dan pengalaman itu sendiri "tunduk" mengikuti logika pencitraan.
Intensi yang mendorong orang membuat foto pelesir juga menarik disimak. Hasrat pelesiran tidaklah sesuatu yang bersifat murni individu, tetapi juga memuat pengalaman sosial. Lihatlah, misalnya, foto Dina Iskandar yang bekerja di kafe CCF, "berkomentar" di depan salah satu stupa Borobudur, "Borobudur kan salah satu kemegahan dunia. Masa, orang bule ke sana, kita kagak, sih."
Padahal Jany Bourdais, sang bule Direktur CCF itu, malahan mengenang pengalaman pelesirnya dengan cara berbeda, yakni bukan untuk melihat melainkan untuk dilihat: "Waktu saya masuk ke pasar burung, bukan saya yang melihat burung-burung, tapi burung-burung melihat saya," ujarnya. Dua buah fotonya, masing-masing di ruang kerjanya di kantor dan di pasar burung, seakan-akan juga ingin mengatakan bahwa pengalaman melihat foto bisa jadi muncul bukan dari subyek fotonya sendiri, melainkan dari lingkungan di sekitar subyek itu sendiri.
Pengalaman menyaksikan sebuah fo-to dapat dibandingkan dengan umpamanya melihat lukisan. Lukisan adalah sepotong dunia unreal yang kita katakan sebagai transformasi pengalaman real dari senimannya. Sedangkan pada foto, kecuali kita diyakinkan akan ha-dirnya realitas itu sendiri, sebuah foto kadang kala masih menantang pembacaan yang tidak selalu berhubungan dengan apa yang dimaksudkan dengan tujuan membuat foto itu sendiri. Misalnya kalau kita mengamati sebuah foto keluarga tempat obyek-obyek kecil menjadi sangat bermakna, padahal obyek itu bukanlah tujuan utama membuat foto.
Memang, dibutuhkan imajinasi agar kita dapat membaca bahasa visual foto dengan kritis. Melalui pameran ini, kelompok MES 56 agaknya ingin menunjukkan kemungkinan lain yang dapat kita baca dari representasi sebuah foto. Kecenderungan di masa kini yang membaca realitas sebagai simulakrum ( "the simulacrum is all the reality we get") bergema dalam pameran ini.
"Pelesiran ke Yogya" merupakan rangkaian dari pameran karya-karya bertajuk "Holidays in Jakarta" oleh kelompok MES 56 yang saat ini juga berlangsung di Galeri Passage de Retz, Paris. Pameran ini mewujudkan program cARTe blanche (kartu kosong) dari CCF, Jakarta, untuk memberikan ruang bagi para perupa dan kurator muda menciptakan gagasan seni mereka.
Hendro Wiyanto, kurator
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo