Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jalan Panjang Setelah Likuidasi

Konflik hukum meruncing pasca-pembatalan keputusan likuidasi Bank Dagang Bali.

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secarik kertas tertempel di pintu utama Bank Dagang Bali (BDB), Jalan Gajah Mada, Denpasar, Selasa dua pekan lalu. Isinya singkat: pengumuman keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang memenangkan gugatan pemegang saham BDB atas Bank Indonesia.

Inilah klimaks perseteruan antara BI dan pemegang saham BDB. Laga di pengadilan administrasi itu sudah terasa panas sejak Juni lalu. Ketika itu, majelis hakim mengeluarkan putusan sela yang memaksa BI menangguhkan proses likuidasi sampai ada keputusan tetap. "Kita tidak akan membiarkan orang-orang itu. Kita tidak akan melepas satu sen pun uang rakyat dipakai untuk yang tidak-tidak," kata Deputi Gubernur Senior BI, Anwar Nasution, kala itu. BI sendiri langsung naik banding.

Namun, apa hendak dikata, pengadilan lebih berpihak ke BDB. Dalam amar putusannya 20 Oktober lalu, majelis hakim PTUN yang diketuai Edy Supriyanto membatalkan keputusan Gubernur BI tanggal 8 April 2004 yang mencabut izin usaha PT BDB. Tak hanya itu, kedudukan dan kemampuan direksi BDB harus dipulihkan. "Putusan ini tetap berlaku sampai adanya putusan pengadilan yang bersifat tetap," kata Edy Supriyanto ketika membacakan putusan perkara yang disidangkan sejak bulan Juni itu.

Alasan pokok mengapa majelis menerima gugatan tak lain adalah BI dianggap melakukan penyimpangan kewenangan. Penyimpangan itu, misalnya, BI tak menyelamatkan biduk usaha BDB yang hampir karam. Menurut hakim, upaya BI hanya menyemprit, memasukkan BDB dalam pengawasan intensif, lantas menendangnya menjadi bank dalam pengawasan khusus. Ujungnya: pencabutan izin usaha.

Di mata hakim, tindakan itu tidak menaati asas pemerintahan yang sepatutnya, yakni asas persamaan. "Seharusnya tergugat melakukan tindakan hukum memanggil, memeriksa, untuk mendapatkan fakta mengapa empat bank yang menerima dana dari penggugat tidak memenuhi kewajibannya," tutur Edy dalam pertimbangan hukumnya.

BI tentu saja punya alasan jelas mengapa mereka melikuidasi BDB. Menurut BI, BDB sudah melarat karena tak punya duit. Toh tudingan ini dibantah BDB. Me-reka mengaku masih punya tagihan Rp 1,2 triliun di Bank NISP, CIC, Eksekutif, dan Bank Asiatic. Sialnya, pihak BDB merasa, sebagai otoritas moneter, BI tak membantu proses penagihan itu. Itulah sebabnya BDB menganggap keputusan likuidasi Gubernur BI terlalu tergesa-gesa, tidak memberi kesempatan BDB men-dapatkan tagihannya di empat bank tersebut.

Di sidang pula terungkap bukti bahwa, dari berbagai risalah pertemuan dengan bank-bank yang memiliki utang kepada BDB, diyakini kantong para pengutang itu sebetulnya cukup tebal untuk ditagih. "Dalam penyusunan risalah itu selalu ada pejabat BI yang hadir dan membubuhkan tanda tangan," kata David Rambang, pengacara BDB. Dicontohkan risalah tertanggal 30 Januari yang berisi kesepakatan BDB dengan Bank Asiatic, yaitu Asiatic sepakat membayar utangnya senilai Rp 922 miliar. Juga kesepakatan dengan Bank CIC, Maret 2004, yang menyatakan surat set off utang Rp 75 miliar oleh BDB adalah palsu. Artinya, duit masih ada.

Deputi Direktur Hukum BI, Oey Hoey Tion, merasa aneh dengan keputusan hakim. Masalahnya, majelis hakim sama sekali tak mempertimbangkan alat-alat bukti yang diberikan BI. "Bahkan tidak mencerminkan fakta hukum yang sesungguhnya," katanya. Keputusan mencabut izin usaha BDB merupakan langkah terakhir setelah berbagai upaya penyelamatan dilakukan. Bank tersebut sudah dua kali masuk kamar gawat darurat di pengawasan khusus (special surveillance unit atau SSU).

Masalah bakal makin runyam karena pemegang saham BDB mengadukan BI ke Komisi Pemberantasan Korupsi. "Ada indikasi BI bermain mata dengan pihak Bank NISP dengan melakukan pertemuan sebelum penutupan bank," kata juru bicara pemegang saham, Doli Abdul Kadir. Di situ, kata Doli, muncul niat NISP untuk tidak membayar sertifikat deposito BDB.

Sengkarut juga bertambah karena dana rekapitulasi dari pemerintah senilai Rp 197 miliar dari Bank BNI telanjur digelontorkan. Polisi kini bahkan sudah mencokok petinggi BDB. Menurut Markas Besar Polri, mereka menemukan pelanggaran pidana berupa kredit fiktif dan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Untuk kasus ini, perkaranya bahkan sudah dilimpahkan ke kejaksaan.

Masih ada soal lain, yaitu Pengadilan Negeri Denpasar telah membubarkan badan hukum BDB Juni lalu—keputusan yang juga diperkarakan pemilik BDB. Ini pula yang digunakan BI sebagai dalih. "Kami tidak mungkin menghidupkan bank yang badan hukumnya sudah dicabut," kata Oey. Karena itu, BI lebih memilih banding atas putusan PTUN yang mengalahkan mereka.

Jadi, medan laga tampaknya memang masih panjang.

Arif A. Kuswardono, Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus