Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tangan Sahabat dalam Kenangan

Hasta Mitra berulang tahun ke-30. Penerbit yang didirikan tiga eks tahanan politik ini telah berjasa mempublikasikan buku bermutu, termasuk karya sastra semasa Orde Baru. Meski tak terlepas dari pertikaian internal dan masalah finansial, para pendiri tetap berani menghadapi larangan penerbitan buku hingga akhir hayat.

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari lima puluh orang khusyuk menyimak film berdurasi 38 menit yang disemprotkan pada sebuah layar putih. Tanah becek dan udara lembap setelah hujan turun tak menyurutkan para tamu hadir dalam perayaan 30 tahun penerbit Hasta Mitra di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur, Selasa petang pekan lalu. Film berjudul Pikiran Orang Indonesia itu mengisahkan perjalanan hidup Joesoef Isak yang tak lepas dari Hasta Mitra. Perusahaan penerbitan yang berdiri sejak April 1980 ini digagas tiga eks tahanan politik, Joesoef Isak, Pramoedya Ananta Toer, dan Hasjim Rachman.

Gagasan mendirikan perusahaan percetakan dicetuskan Hasjim ketika masih di Pulau Buru. Ketika mantan Pemimpin Redaksi Bintang Timur ini membaca hasil karya Pram, dia mendatanginya dan meminta izin suatu saat akan menerbitkan tulisan-tulisannya. Pramoedya menyetujui. Ketiganya bertemu setelah Pramoedya dan Hasjim keluar dari Pulau Buru pada 1979. Nama Hasta Mitra disematkan Pramoedya, yang artinya ”tangan sahabat”.

Penerbitan ini menjadi wadah penyaluran karya eks tahanan politik yang pada saat itu sulit mendapatkan pekerjaan. Dari semua tulisan yang diterbitkan, yang paling laris adalah hasil karya Pramoedya selama di Pulau Buru.

Cerita bagaimana mengamankan naskah-naskah Pramoedya menarik disimak. Tumiso ditugasi membawa sekarung buku yang ditulis Pramoedya selama di Pulau Buru. Ketika ia hendak masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Magelang, pria yang kini berusia 71 tahun itu pura-pura sakit supaya buku-buku tersebut selamat dari sitaan petugas. Walhasil, buku-buku Pramoedya dapat disebarluaskan.

l l l

Dimulai dengan modal seadanya, rumah Joesoef Isak di daerah Duren Tiga, Jakarta Selatan, disulap menjadi kantor Hasta Mitra. Peralatan kerja pun serba terbatas, hanya ada satu mesin ketik listrik yang digunakan Pramoedya dan Joesoef secara bergantian.

Bumi Manusia, terbitan pertama Hasta Mitra pada 1980, memecahkan rekor penjualan buku, 5.000 eksemplar ludes dalam tempo 12 hari. Keberhasilan ini menarik minat investor, salah satunya Bank Negara Indonesia, untuk turut membantu menyuntik modal. Namun tawaran itu sirna setelah Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 052/JA/5/81 tanggal 29 Mei 1981, yang melarang penyebaran buku-buku berbau komunisme dan Marxisme. Pendek kata, semua terbitan Hasta Mitra yang juga karya Pramoedya dilarang, seperti Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Pelarangan itu tak menciutkan nyali Hasta Mitra untuk kembali menerbitkan buku. ”Kalau terbit satu dilarang, kami terbitkan lagi, dilarang, ya terbitkan lagi,” kata Hasjim Rachman dalam film. Untuk menyiasati pelarangan tersebut, Joesoef bersiasat buku-buku diterbitkan pada Jumat agar memiliki waktu dua hari untuk disebarkan sebelum tiba Senin, ketika kantor kejaksaan kembali buka.

Pelarangan demi pelarangan mengakibatkan kondisi keuangan Hasta Mitra tak menentu. Karyawan perusahaan yang semula mencapai 20 orang mulai diberhentikan satu per satu. Budi Asni, istri Joesoef, mengatakan dirinya berduka selama ada Hasta Mitra. ”Bagaimana bapak-bapak ini, sudah tahu buku dilarang, kok diterbitkan lagi,” keluhnya. ”Lalu dari mana duitnya?”

Asni mengatakan suaminya kadang meminjam uangnya dan belum dikembalikan hingga kini. ”Yang penting buku ini terbit dan dibaca orang,” ujar Asni menirukan kata-kata suaminya. Setali tiga uang, nasib perhiasan istri Hasjim Rachman, Teti Thairani, juga digadaikan dan belum ditebus. Setiap kali ditanya, Hasjim hanya menjawab, ”Tenang sajalah.” Selain itu, kekhawatiran jika sang suami sampai ditahan lagi terus membayangi.

Selama rezim Soeharto, metode pemasaran buku terbitan Hasta Mitra dilakukan sembunyi-sembunyi. Soegeng, kepala bagian pemasaran, mengatakan tidak ada toko buku yang mau menjual buku terbitan Hasta Mitra karena takut. ”Jadi saya jual door to door,” kata pria yang mengenyam pendidikan sampai kelas dua sekolah menengah pertama ini. Selain itu, dia menjual buku di kampus-kampus dalam acara diskusi.

Pelarangan buku ini juga memakan korban. Tiga mahasiswa di Yogyakarta dibui karena menyimpan dan menyebarluaskan buku-buku Pramoedya. Mereka, Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho, dan Bonar Tigor Naipospos, diadili dengan pasal-pasal antisubversi. Bonar mendapat hukuman paling berat, yakni delapan setengah tahun penjara lantaran dituduh sebagai aktor intelektual dalam distribusi buku Pramoedya. Subono dan Bambang Isti dihukum enam tahun penjara.

Sampai rezim Soeharto tumbang, buku karya Pramoedya tadi tak dicabut larangan edarnya. Begitupun dengan beberapa buku terbitan Hasta Mitra lainnya, salah satunya Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto yang ditulis John Roosa, yang dilarang pada akhir 2009.

Pada Juni 1999 Hasjim meninggal akibat kanker. Pembagian tugas yang semula, Pramoedya menulis, Joesoef menyunting, dan Hasjim mencari modal usaha, berubah. Pramoedya tetap menulis, sisanya ditangani Joesoef. Pembagian tugas ini tak berjalan mulus. Di Yogyakarta, Pramoedya mendapati karya-karyanya dibajak. Akhirnya dia memutuskan melepaskan ”saham”-nya di Hasta Mitra (baca ”Memilih Berpisah”).

Hasta Mitra akhirnya dipegang Joesoef seorang. Hingga akhir hayatnya, pada Agustus 2009, tak ada pesan apa pun yang ditinggalkan mengenai usaha penerbitan yang bukunya paling banyak dilarang beredar ini. ”Kami belum tahu bagaimana kelanjutannya,” kata Asni. Alasannya, kata dia, sejak suaminya meninggal, tidak ada kegiatan apa pun di Hasta Mitra. Sejumlah naskah juga masih tertumpuk di ruang kerja Joesoef.

Lalu bagaimana Hasta Mitra selanjutnya? Putra sulung Hasjim Rachman, Johan Teranggi, angkat bicara. Sebulan sebelum Joesoef wafat, dia dimintanya meneruskan bisnis penerbitan itu. Namun Johan mengatakan enam anak Hasjim sudah sepakat untuk tidak melanjutkan perusahaan itu. ”Saya hormati Hasta Mitra sebagai wadah tempat mereka berkiprah,” katanya. Putra bungsu Joesoef, Desantara, juga tak tahu bagaimana nasib Hasta Mitra selanjutnya. ”Ini terlalu berat karena buku-buku itu tidak mendatangkan profit,” ujarnya.

Bagi sejarawan Asvi Marman Adam, Hasta Mitra adalah perusahaan penerbitan yang melakukan perlawanan. ”Dia melawan dengan menerbitkan tanpa peduli berapa kali dilarang,” katanya. Buku-buku yang diterbitkan, menurut dia, hampir menghasilkan pemenang Hadiah Nobel, sehingga Hasta Mitra bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk dunia. Adapun Wilson, aktivis Partai Rakyat Demokratik, mengatakan buku-buku terbitan Hasta Mitra menginspirasi pergerakan pemuda. ”Menjadi ikon dan membangkitkan semangat kaum muda,” katanya. Hasta Mitra mungkin masih tetap menunggu uluran tangan sahabat yang lain.

Rini Kustiani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus