Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Makelar (Kasus)

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasijanto Sastrodinomo

  • Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

    TAK hanya merasa terusik oleh polah makelar kasus (pajak) yang merugikan negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata juga ”menaruh perhatian” pada istilah makelar kasus, atau markus sebagai akronim, itu sendiri. Melalui juru bicaranya, Julian Aldrin Pasha, Presiden SBY melontarkan istilah alternatif: calo perkara atau cakar sebagai akronimnya. Alasannya sederhana tapi sangat etis, cakar tidak berisiko menyinggung nama orang. Namun rupanya ”usul” itu tak bersambut di kalangan publik; media juga tidak menyiarkannya secara luas.

    Sebelumnya, senada dengan Presiden, Denny Indrayana, Sekretaris Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dalam sebuah wawancara televisi pernah meminta kepada media agar tidak meniupkan markus sebagai ringkasan makelar kasus. Dikhawatirkan sebutan itu akan menimbulkan kesalahpahaman dengan pemeluk Nasrani yang banyak menyematkan kata itu—bukan dalam artian akronim makelar kasus—sebagai nama diri. Boleh jadi, dia tak ingin mengulangi peyorasi petrus untuk menyebut penembakan misterius yang pernah geger pada masa lalu. Staf khusus Presiden itu menyarankan sebutan calo kasus bagi perantara gelap perkara hukum. Lagi-lagi, saran itu kalah gaung dengan markus, yang sudah telanjur ”nikmat” di telinga orang ramai.

    Patut diduga, usul atau saran penggantian istilah tersebut juga sebagai upaya ”memurnikan” kembali arti awal istilah makelar sebelum tercemar oleh praktek dagang perkara hukum. Menurut Van Dale: Groot wordenboek Nederlandse Taal (1984) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), arti pokok makelar, dari makelaar (Belanda), adalah orang tersumpah atau badan hukum yang bertindak sebagai pedagang atau penyedia jasa perantaraan. Juga biasa disebut tussenhandelaar ”pedagang perantara” dalam arti yang lebih umum. Padanan makelaar dalam bahasa Indonesia yang paling populer adalah pialang, dan calo yang dianggap lebih rendah derajatnya. Selain itu, diserap blantik (Jawa; biasanya khusus dalam perdagangan hewan ternak), broker (Inggris), cengkau (Cina), dalal (Arab), dan talang (lihat Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, 2007).

    Istilah makelar sangat dikenal dalam bursa saham atau perdagangan benda tak bergerak seperti tanah dan rumah. Contoh makelar lain dalam Van Dale adalah pialang kopi, tembakau, asuransi, dan kapal; sementara KBBI menjejer makelar devisa, makelar impor, dan makelar luar (bukan anggota bursa). Sangat mungkin kemakelaran terus meluas dalam perdagangan dan jasa lain. Namun jelas, makelar kasus di luar cakupan contoh ini karena sifatnya ingkar hukum, meski kerjanya ngubek-ubek perkara hukum.

    Kemakelaran (makelarij) tumbuh subur di Indonesia dalam kurun 1870-an, sejalan dengan politik ekonomi liberal kolonial. Ada puluhan usaha kepialangan besar waktu itu, antara lain H.J. Cruyff (effecten, saham), dan H. van Genderen (huizen en hypotheken, rumah/properti). Lalu Dunlop & Kolff (didirikan pada 1879), berkantor pusat di Batavia dan bercabang di Semarang, Surabaya, dan Bandung, terkenal sebagai firma jual-beli gula, teh, karet, beras, dan kapuk. Penasihat urusan ekonomi pribumi pemerintah kolonial, J.H. Boeke, menggunakan istilah opkoper ”pemborong” sebagai padanan makelar. Itulah, tulisnya, sosok dualitas ekonomi jajahan—ketika pemborong raksasa yang mendominasi pasar dunia menguasai produsen pribumi di pinggiran desa dalam situasi volslagen duister atau keadaan yang ”sangat gelap” (lihat bukunya, Indische economie, 1947).

    Clifford Geertz menyodorkan konsep cultural broker yang memperluas wawasan kita mengenai kepialangan dalam arti dinamika budaya. Dia melihat peran kiai (di Jawa khususnya) tak ubahnya seperti agen pembawa nilai baru bagi masyarakat desa. Dalam pandangan itu, kiai tak hanya mengajarkan agama tapi juga mengenalkan modernitas budaya karena agama Islam, seperti halnya agama besar lainnya, sejatinya cerminan kemodernan itu sendiri (lihat esainya, The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker, 1959).

    Seiring dengan perjalanan waktu, istilah makelar tidak (atau sangat jarang) ditemukan lagi sebagai nama resmi badan usaha perantaraan di negeri kita. Dalam jual-beli properti, misalnya, lebih banyak digunakan istilah Inggris seperti real-estate, realty, atau property saja. Kalau begitu, untuk apa kita repot-repot mencari pengganti sebutan makelar kasus; kecuali akronimnya yang perlu dipikirkan ulang agar bisa membuat kita semua nyaman.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus