Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBATALAN sepihak pembangunan pelabuhan Cilamaya oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla hanya semakin mempertontonkan amburadulnya perencanaan pembangunan di republik ini. Keputusan itu sungguh terburu-buru. Bagaimana bisa nasib sebuah megaproyek bernilai US$ 2,66 miliar atau Rp 34,4 triliun hanya diputuskan dengan satu jam rapat di kantor kepala desa?
Tak kurang aneh, proyek sepenting itu diputuskan sendiri oleh Wakil Presiden tanpa melibatkan Presiden. Keputusan itu diambil di kantor Kepala Desa Tanjung Jaya, Karawang, setelah Kalla mengunjungi lokasi pelabuhan Cilamaya dengan helikopter bersama beberapa menteri pada 2 April lalu. Alasannya, proyek yang digagas sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu bersinggungan dengan pipa minyak dan gas Pertamina. Dia mengusulkan lokasi pelabuhan itu digeser ke Subang.
Keputusan Kalla yang terasa mendadak itu mudah memantik kecurigaan bahwa Kalla bermain mata dengan para pengusaha Jepang yang menemuinya beberapa waktu lalu. Soalnya, sampai saat ini Presiden Joko Widodo seperti tak dilibatkan. Bahkan pendapat Jokowi berbeda dengan Kalla. Katanya, Cilamaya boleh saja dibangun asalkan memakai duit swasta, bukan APBN. Pernyataan itu mengesankan Jokowi tak sepenuhnya setuju dengan proyek gendut Cilamaya. Mana ada proyek infrastruktur raksasa yang didanai murni oleh swasta?
Sedari mula proyek Cilamaya amat sarat dengan kontroversi. Pelabuhan ini digadang-gadang oleh Presiden Yudhoyono bisa memangkas biaya logistik di Pulau Jawa hingga 30 persen. Soal biaya logistik, Indonesia pada 2014 memang berada di peringkat ke-53 dari 160 negara dalam daftar Indeks Performa Logistik seluruh dunia. Bandingkan dengan Singapura di peringkat ke-5, Malaysia ke-25, dan Thailand ke-35.
Buruknya logistik ini membuat Kementerian Perhubungan bersama Japan International Corporation Agency (JICA) sejak 2011 melakukan studi tentang Cilamaya. Riset menunjukkan, dari kawasan industri Karawang menuju Pelabuhan Tanjung Priok perlu waktu tempuh enam jam. Bahkan pada 2020 diperkirakan waktu tempuh itu menjadi sembilan jam. Bila Cilamaya beroperasi, waktu tempuh bisa dipangkas menjadi hanya dua jam. Pengeluaran BBM pun bisa dihemat Rp 750 miliar.
Argumen Kementerian Perhubungan boleh jadi benar, tapi yang disesalkan mereka seperti tutup mata terhadap bahaya akibat hadirnya Cilamaya. Pertamina, misalnya, merasa dikorbankan lantaran pelabuhan bisa membuat produksi minyak turun karena pipa harus ditutup. Potensi kerugiannya bisa mencapai Rp 334 miliar selama empat tahun.
Perencanaan pemerintah tak boleh terkotak-kotak secara sektoral. Orang tentu akan bertanya-tanya mengapa membangun pelabuhan baru yang berjarak cuma 70 kilometer dari Tanjung Priok. Padahal sebelumnya pemerintah merestui perluasan Tanjung Priok senilai Rp 32,3 triliun agar kapasitas tampung peti kemas meningkat tiga kali lipat dari sekarang. Kapasitas itu cukup untuk mengantisipasi pertumbuhan arus peti kemas hingga 2035.
Cilamaya merupakan cermin kegagalan perencanaan. Proyek ini masuk Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, tapi mentah karena buruknya koordinasi. Presiden dan Wakil Presiden tidak satu suara. Kementerian Perhubungan bersitegang dengan PT Pertamina dan PT Pelabuhan Indonesia II, yang mengelola Tanjung Priok. Pemerintah seharusnya malu lantaran mempertontonkan kekerdilan dalam perencanaan-sesuatu yang sangat berisiko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo