Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPADA Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan PT Liga Indonesia, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), serta Menteri Pemuda dan Olahraga, perlu kami teriakkan: selagi Anda terus bertikai, prestasi sepak bola Indonesia kian melorot. Pekan lalu, PSSI terperosok lagi tiga tangga ke urutan ke-159 dunia.
Belum pernah Indonesia berada di bawah Timor Leste, yang kini di peringkat ke-152 versi FIFA, federasi sepak bola internasional. Padahal "mantan provinsi Indonesia" itu belum lama belajar memakai sepatu bola.
Keterpurukan ini dipastikan berekor panjang. Pada penyisihan pra-Piala Dunia 2018 zona Asia, yang dimulai tahun ini, Indonesia akan berada di pot 4, bersama negara-negara "kasta bawah" sepak bola Asia.
Potret buram itu bukan hasil dalam semalam. Inilah buntut pertentangan sejak 2011 antara pendukung Liga Premier Indonesia (LPI), yang dimotori taipan Arifin Panigoro, dan penyokong Liga Super Indonesia (LSI), yang ditopang pengusaha Nirwan Bakrie. Kelompok LSI "memenangi" sengketa itu dan sekarang menguasai PSSI dan PT Liga Indonesia.
Pemantik konflik kali ini juga tak "jauh-jauh" dari konflik menahun itu. BOPI tidak meloloskan klub Arema Cronus dan Persebaya Surabaya dalam verifikasi kompetisi Liga Indonesia 2015. Badan yang membantu Menteri Pemuda dan Olahraga tersebut, yang dibentuk sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, menyatakan dua klub yang selama ini berlaga di LSI itu masih terbelit sengketa "dualisme kepengurusan".
Memang benar. Sampai sekarang di Malang masih ada "perebutan legalitas" antara Arema Cronus, klub milik Nirwan Bakrie yang bertanding di LSI, dan Arema Indonesia, anggota LPI. Di Surabaya pun sengketa serupa terjadi, antara penyokong Persebaya Surabaya, klub anggota LSI, dan Persebaya 1927, yang pernah bermain di LPI.
Kemelut ini seperti tanpa titik temu. BOPI, yang merupakan kepanjangan tangan Menteri Pemuda dan Olahraga, memang bertugas memberikan izin penyelenggaraan pertandingan dan mengawasi jalannya olahraga profesional. Meski dibentuk dengan undang-undang, kewenangan BOPI diatur dengan Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Nomor 16 Tahun 2007. Atas dasar peraturan itu, BOPI bisa memberikan sanksi administratif, dari peringatan sampai pembekuan izin sementara. Kendati bertujuan melakukan koreksi atas sengkarut sepak bola Indonesia, BOPI tak bisa melampaui kewenangannya.
Mengapa? Atas dasar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005, yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan menteri itu, pembinaan dan pengembangan olahraga profesional disebutkan gamblang dilakukan oleh induk organisasi olahraga. Tentu dalam kasus ini maksudnya adalah PSSI. Bahkan undang-undang itu juga menyebutkan penyelesaian sengketa keolahragaan dilakukan induk organisasi olahraga. Penyelesaian bisa lewat musyawarah mufakat, arbitrase, atau melalui pengadilan.
Justru di sinilah PSSI melakukan kesalahan. Sebab, Ketua Umum Djohar Arifin dan pengurus PSSI tidak mengambil tindakan berarti untuk membereskan sengketa legalitas di Malang dan Surabaya itu. PSSI juga tak menggubris saran BOPI. Barangkali itu lantaran mendapat "angin" dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang entah mengapa menganggap Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi terlalu ikut campur urusan PSSI. Tambahan lagi, FIFA-yang selama ini selalu menyokong barisan pro-LSI-ikut membela PSSI. FIFA mengatakan kompetisi tahun ini harus diikuti 18 klub, yang artinya termasuk Arema Cronus dan Persebaya.
Kompetisi Liga Indonesia akhirnya ditunda sampai akhir bulan. Tak lama lagi PSSI akan memilih ketua umum baru. Tapi dua hal itu bisa dipastikan tak akan "mengobati" prestasi sepak bola Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo