Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUNCULNYA tentara dan polisi aktif dalam bursa calon kepala daerah menunjukkan gagalnya partai politik mencetak kader pemimpin. Tanpa sistem rekrutmen politik yang jelas, partai hanya menjadi penjual tiket kekuasaan untuk siapa saja yang mau dan punya duit. Sebagai salah satu infrastruktur utama demokrasi, partai tak berhasil menjalankan tugasnya sebagai lembaga yang menyaring calon pemimpin berdasarkan prinsip meritokrasi.
Akibatnya, politik transaksional tak terelakkan. Mereka yang berminat menjadi calon wali kota, bupati, atau gubernur berebut mendongkrak popularitas agar dilirik survei-survei. Mereka juga mendadak rajin sowan ke kantor partai dan mendatangi basis massa partai untuk mendapat dukungan. Semua itu jelas butuh biaya.
Gelanggang politik pun jadi ibarat sinetron-kejar-tayang. Partai memilih calon kepala daerah berdasarkan dalam-tidaknya kocek si kandidat atau dikenal-tidaknya si calon oleh khalayak ramai. Tidak penting benar jika si calon tenar hanya karena nama orang tuanya atau tampangnya yang rupawan. Visi dan kualitas kepemimpinan menjadi nomor kesekian. Ini persis seperti sinetron-kejar-tayang: kualitas seni peran para aktornya bukan yang utama. Mereka yang tampil di layar kaca adalah orang yang semata enak dilihat.
Dalam kondisi semacam itu, mencalonkan jenderal polisi atau tentara aktif sebagai kepala daerah adalah jalan pintas yang tidak tepat. Keikutsertaan mereka dalam pemilihan kepala daerah menyimpan potensi masalah karena loyalitas pasukan dan stafnya masih tersisa dan rawan disalahgunakan.
Selain itu, menjadi kepala daerah untuk masyarakat yang beragam, dalam iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat, jelas butuh seperangkat keterampilan yang spesifik. Kompetensi itu belum tentu dimiliki para jenderal yang terbiasa memimpin dalam sistem komando yang tak dinamis.
Para perwira polisi dan tentara tentu punya hak politik sebagaimana semua warga negara yang lain. Hal itu sudah diatur dalam konstitusi. Namun sebaiknya ada jeda beberapa saat sebelum mereka terjun ke arena pilkada dan menjadi politikus. Ini penting untuk menjaga netralitas serta profesionalisme polisi dan tentara.
Partai juga harus menciptakan mekanisme rekrutmen dan jenjang kaderisasi yang jelas untuk mengisi posisi pemimpin dari tingkat kota, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Mereka yang berminat seharusnya melalui tangga karier politik yang menempanya menjadi liat dan teruji sebelum diajukan sebagai calon.
Dalam demokrasi yang matang, pemimpin lahir dari bawah. Mereka berpengalaman bekerja bersama masyarakat, memecahkan masalah sehari-hari warga, mengerti psikologi dan sosiologi massa, serta paham bagaimana menjadi pemimpin yang efektif. Semua kompetensi kepemimpinan itu tidak bisa dikarbit dalam semalam dengan bermodal ketenaran atau uang saja.
Di Amerika Serikat, misalnya, Barack Obama menjadi presiden setelah 10 tahun menjadi pengacara publik di Chicago, 20 tahun sebagai anggota parlemen Illinois, dan menjadi senator di level nasional. Rivalnya, John McCain, memang mantan tentara. Tapi, setahun setelah pensiun pada 1981, ia memulai karier politiknya dengan menjadi anggota DPR Amerika dari Arizona.
Partai politik di Indonesia harus belajar banyak dari partai di negara yang demokrasinya sudah mapan. Kita tak mau partai terus-menerus menjadi kendaraan politik para pencari kekuasaan saja.
Di luar itu semua jenderal tentara dan polisi yang masih aktif dilarang terlibat dalam kegiatan politik. Mereka tak punya hak memilih dan dipilih. Undang-Undang Kepolisian Nomor 2/2002 pasal 28 tegas menyebut anggota polisi harus mundur atau pensiun jika ingin menduduki jabatan di luar kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo