Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan jasa perhotelan tak perlu merengek ke pemerintah soal maraknya jasa penawaran akomodasi berbasis online. Tidak juga perlu meminta situs-situs jasa biro perjalanan ini diblokir. Perkembangan perusahaan-perusahaan baru ini tak mungkin dihentikan karena kehadirannya sangat menguntungkan konsumen dan menumbuhkan ekonomi baru. Ketimbang merengek dan meratap, lebih baik para pemain konvensional itu berkompetisi dengan lebih kreatif.
Kehadiran perusahaan online di berbagai sektor bisnis memang tak terelakkan. Semua industri terpengaruh. Dari bisnis media, jasa transportasi, akomodasi, kesehatan, hingga perbankan, tak ada satu pun yang kalis dari serbuan perusahaan online ini. Dampaknya terhadap bisnis konvensional memang sangat merusak. Mereka kini bukan sekadar kompetitor bagi bisnis "lama". Sebagian sudah menjadi predator.
Bisnis baru ini memang punya model yang berbeda: memangkas banyak alur bisnis konvensional, punya jalur pendapatan (revenue stream) beragam, serta menjalankan praktik bisnis yang efisien, yang ujungnya memberi kemudahan dan harga murah kepada konsumen. Salah satunya yang terjadi di bisnis jasa travel dan akomodasi ini. Mereka tumbuh pesat dalam tiga tahun belakangan dan masih akan melaju kencang di masa-masa mendatang.
Data Statista.com menunjukkan, dalam tiga tahun (2014-2017), omzet bisnis jasa travel dan akomodasi online di Indonesia melesat 65 persen, dari US$ 4,3 miliar (sekitar Rp 57,5 triliun) menjadi US$ 7 miliar (lebih-kurang Rp 94,5 triliun). Tiga tahun dari sekarang, omzetnya akan mencapai US$ 10,5 miliar atau sekitar Rp 142 triliun. Ada sejumlah pemain besar di bisnis ini, baik asing maupun nasional. Misalnya Agoda, Traveloka, Tiket, AiryRooms, Airbnb, dan HomeAway. Selain itu, ada puluhan pemain kecil.
Selain perkembangan jaringan Internet dan seluler, ada sejumlah pendorong yang membuat jasa travel dan akomodasi online tumbuh cepat. Pada 2014, Kementerian Perhubungan melarang perusahaan penerbangan menjual tiket di bandar udara. Kereta Api Indonesia juga ikut mendorong penjualan online. Semestinya agen-agen perjalanan bisa merebut peluang ini, tapi mereka toh kalah cepat dibanding Traveloka.com atau Tiket.com. Orang tak butuh lagi jasa perantara seperti agen dan, karena itu, tak perlu bayar fee agen.
Satu-satunya cara melawan mereka adalah terjun masuk dan ikut bertarung dalam bisnis berbasis online. Perkembangan teknologi dan perilaku konsumen dewasa ini memang mengharuskan perusahaan konvensional menyerap model bisnis yang baru itu. Grup Matahari, misalnya, sudah melakukannya dengan membuat MatahariMall.com. Dibandingkan dengan Lazada, Bukalapak, atau Tokopedia, MatahariMall memang masih kalah. Tapi, dengan cara begitu, Matahari bisa mempertahankan pelanggannya. Setidaknya setiap bulan ada 4,6 juta pengunjung situs itu.
Jikapun harus ada yang dituntut kepada pemerintah, hal itu menyangkut perpajakan. Tuntutan ini spesifik ditujukan kepada perusahaan asing. Perusahaan nasional jelas sudah membayar pajak di dalam negeri. Individu-individu yang menyewakan rumahnya melalui, misalnya, Airbnb semestinya juga sudah membayar pajak. Karena itu, pemerintah harus mengatur soal pajak perusahaan asing yang "mencari makan" di Indonesia. Paling tidak, hal ini akan bisa mengurangi benturan perusahaan konvensional versus online, dan perusahaan asing versus perusahaan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo