Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teater Koma ‘Debut Kedua’ Rangga

Teater Koma mementaskan kembali naskah J.J Sampah-Sampah Kota, yang ditulis 40 tahun lalu. Disutradarai Rangga Riantiarno.

16 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pementasan Teater Koma berjudul J.J Sampah-Sampah Kota di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta 7 November 2019. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kuingat cuma malam panjang,

Awan bergerak dan sepotong bulan

Hujan menimpa tubuhku,

Segenggam rintihan...”

JUHRO (diperankan Tuti Hartati) bersenandung dengan nada pedih di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis petang, 7 November lalu. Pandangan perempuan ini mengembara selagi ia duduk di depan gubuknya yang berkulit kusam di kolong jembatan salah satu sudut Jakarta. Adapun suaminya, Jian (Zulfi Ramdoni), tidur gelesotan di dekat kakinya.

Kepada Juhro, yang sedang hamil tua, Jian mengaku punya banyak impian indah. “Mimpi bagus itu hiburan. Yang dibutuhkan orang kecil itu kan cuma yang kecil-kecil,” kata Jian. Ia terlihat diam sebelum tiba-tiba bangun dan meracau seperti orang kesurupan. Juhro pun kelimpungan. Jian malah hilir-mudik sembari memegang kepalanya, seolah-olah sedang “bernegosiasi” dengan suara-suara dalam pikirannya sendiri. “Suara ini susah kuusir. Tak ada yang sanggup menghentikan. Aku tak kuat, aku tak kuat,” ujarnya, setengah berteriak.

Kelakuan ajaib Jian membuat warga sekitar geger, termasuk “Lurah Kolong Jembatan”, Mbah Kung (Budi Ros), yang dituakan di sana. Mereka pun berhamburan ke dekat gubuk Mbah Kung, yang bersebelahan dengan pondok Jian-Juhro. Tak ada satu pun pakaian orang-orang ini yang bersih ataupun rapi. Semuanya tampak lusuh dengan wajah tak kalah kumal, potret kebanyakan warga penghuni kolong jembatan kota-kota besar di Indonesia. Sebagian tetangga Jian menggendong keranjang sampah—menunjukkan bahwa mereka pemulung. Sisanya menggotong sapu ijuk besar.

Adegan itu membuka pertunjukan Teater Koma bertajuk J.J Sampah-Sampah Kota di Graha Bhakti Budaya, 8-17 November 2019. Bagi kelompok bentukan Nano Riantiarno itu, J.J Sampah-Sampah Kota adalah pertunjukannya yang ke-159. Naskah ini ditulis Nano saat ia tinggal di Iowa, Amerika Serikat, selama enam bulan pada 1978. Di sana dia bersama Ratna, istrinya, yang sedang mengandung Rangga, putra pertama mereka. Naskah teater itu kemudian dipentaskan untuk pertama kali pada September 1979.

Empat puluh tahun berselang, Nano mempercayakan naskah itu kepada sang putra untuk digarap kembali. Ini kedua kalinya Rangga mengarahkan produksi teater, setelah pada 2011 ia menyutradarai drama psikologis Antigoneo karya Evald Flisar di Gedung Kesenian Jakarta. “Saya ada ikatan emosional dengan naskah ini, selain memang ceritanya menarik. Dialog dan lirik-lirik lagunya puitis tapi sekaligus tajam menyoroti kenyataan hidup, terutama masyarakat ‘bawah’,” tuturnya.

J.J Sampah-Sampah Kota menceritakan Jian dan Juhro, juga tetangga mereka sesama buruh harian pengangkut sampah. Ada juga Hapsah dan Mariem. Keduanya pelacur yang menyusul tinggal di kompleks kolong jembatan. Di antara mereka, Jian adalah anomali. Dia tak hanya rajin bekerja dan jarang mengeluh, tapi juga jujur. Kualitas yang jarang dimiliki manusia. Itu membuat geng mandor alias Para Pemutus menguji Jian dengan menjatuhkan tas berisi uang di area tempatnya bekerja.

Kisah tersebut berlatar tata panggung yang digarap menyerupai area permukiman di kolong jembatan. Tak hanya ada deretan gubuk yang sudah reyot, tapi juga keranjang sampah dari anyaman yang terdapat di mana-mana, jemuran baju yang dikaitkan sembarangan, ban-ban bekas yang nyangkut di genting, juga tampah nasi. Dekorasi ini terlihat mirip aslinya karena memperhatikan banyak detail. Namun, sayangnya, dekorasi itu tak didukung tata cahaya yang realis.

Pementasan J.J Sampah-Sampah Kota, yang merupakan produksi ke-159 Teater Koma, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta 7 November 2019. TEMPO/Nurdiansah

Di atas jembatan, ada Para Pemutus yang dipimpin Mandor Kepala (Ohan Adiputra). Wujud Mandor Kepala dalam pentas ini berbeda dengan dalam J.J Sampah-Sampah Kota 40 tahun silam. Dalam pertunjukan ini, Rangga menghadirkan instalasi digital berbentuk lingkaran yang menjadi “rumah” di Mandor Kepala. Kadang ia berupa sebuah mata yang mengintimidasi kita dan anak-anak buahnya. Namun sesekali Mandor Kepala diproyeksikan lewat seorang lelaki tua gondrong dengan jenggot tebal keperakan yang mirip penyihir Merlin. Tokoh dalam video itu dibuat berinteraksi dengan penampil lain. Adapun suaranya dimanipulasi Rangga agar sosok Mandor Kepala terkesan lebih sangar. Cara ini mujarab karena memperkuat karakter Mandor Kepala, yang merepresentasikan sosok penguasa “setengah dewa”. “Dia adalah simbol bagaimana elite menindas kelompok bawahnya, kejujuran yang dianggap berbahaya, manusia yang dianggap mainan, juga para pembuat kebijakan yang tak pernah memikirkan kesejahteraan orang lain,” ucap Rangga.

Rangga mengungkapkan, naskah lama kisah ini disunting lagi oleh Nano sehingga menjadi lebih padat. Tokoh Mandor Kepala pun dulu tidak diperankan aktor, melainkan boneka. “Gara-garanya, saat itu (pada 1979) Teater Koma sedang kekurangan sumber daya manusia. Tokoh bidan di cerita ini saja diperankan Papa (Nano),” ujarnya. Eksperimen lain Rangga adalah memilih penampil perempuan untuk memerankan anggota Para Pemutus. Padahal dulu semua anggota kelompok itu diperankan laki-laki. Pilihan itu diambil Rangga setelah menimbang banyaknya pemimpin dan tokoh politik perempuan yang muncul belakangan ini.

Namun modifikasi itu tak menghilangkan kritik sosial yang berjejalan di J.J Sampah-Sampah Kota, yang berdurasi tiga jam. Lewat 16 lagu yang dinyanyikan para pemain, berikut dialog-dialognya, Nano menyentil kepekaan kita terhadap kondisi dalam masyarakat. Walau demikian, sayangnya, sebagian lirik lagu itu kurang jelas saat dinyanyikan. Beberapa kali pula dagelan satire muncul dalam obrolan. Misalnya saat Juhro meminta Jian mencuci tangan sebelum menyentuh bayi di perutnya. Mendengar permintaan itu, Jian tertawa dan meledek istrinya. “Mau cuci tangan gimana? Wong area sekitar kita kotor semua. Rambutmu aja jarang dicuci. Aku dan kamu itu sumber penyakit lantaran tinggal di sumber penyakit,” katanya.

J.J Sampah-Sampah Kota tak hanya menyuguhkan tragedi, tapi juga mengumbar potret masyarakat pinggiran yang seperti ironi di antara gedung-gedung jangkung. Bahwa kisah tentang penguasa dan kaum miskin ini masih relevan setelah empat dekade lalu, mungkin betul kata Para Pemutus dalam lagunya yang memperolok kesenjangan sosial: “Kalian bagai Suryakanta, hanya seekor kutu rambut. Hati-hati, bisa membakar diri sendiri. Jadi kapas, terbakar bagai nasib. Ada mimpi-mimpi dan harapan. Nikmati, lalu lupakan…”

ISMA SAVITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus