Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Catatan dari Essen

Tiap tahun, kota kecil Essen di Jerman menggelar forum bernama IMPACT yang mempertemukan berbagai seniman lintas negara.

16 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah satu diskusi dalam pergelaran IMPACT19 di Essen, Jerman. Riyadhus Shalihin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROGRAM seni di Essen, kota kecil di utara Jerman, itu dinamai IMPACT. Program ini berlangsung sejak 2002. Essen merupakan kota sisa kawasan terpadu pertambangan batu bara. Bagi Jerman, pertambangan batu bara sangat membekas karena mendukung kebangkitan ekonomi negara seusai Perang Dunia II. Essen salah satu kota yang produktif pada 1930-1986. Sepanjang Ruhr Area, misalnya, kita bisa melihat banyak bangunan bercorak batu bata merah, pabrik, besi raksasa.

IMPACT dikoordinasi PACT atau Performing Arts Choreographisches Zentrum NRW Tanzlandschaft Ruhr, yang berada di daerah Zollverein. Lembaga ini digagas Stefan Hilterhaus sebagai tempat pertemuan seni pertunjukan kontemporer. Dalam pergelaran 2019, IMPACT bertema “Weaving Traces”. Tahun ini, IMPACT mempertemukan 30 praktisi transdisipliner dari seluruh dunia selama satu minggu. Setiap praktisi memiliki latar belakang praktik berbeda, di antaranya dramaturg, geologis, sutradara teater, seniman video, pekerja sosial di perbatasan perang, koreografer, performance artist, museolog, seniman visual, arsitek, desainer, dan kurator seni visual. IMPACT mengundang tiga fasilitator yang juga memiliki latar berbeda, yaitu Ingrid LaFleur, Silke Huysmans-Hannes Dereere, dan Jozef Wouters.

Ingrid LaFleur adalah kurator dan politikus yang berbasis di Detroit, Amerika Serikat. Pada sesi workshop, dia memancing peserta menggali imajinasi tentang ekonomi masa depan. Ia mencoba menggali ingatan pertama kita pada masa kecil tentang uang, apa persepsi kita tentang uang, dan bagaimana uang sebagai suatu perkara membawa dan mengkoreografi arah hidup kita. Pada malam hari, mengakhiri sesi lokakaryanya, LaFleur membawakan simposium “Breathing in Blackness” yang membahas bagaimana sejak dulu orang kulit hitam selalu bermigrasi dan berpindah dari satu negara ke negara lain, tapi diaspora tersebut lebih sebagai efek ekspansi perbudakan. Dia mengungkapkan bahwa gelap atau hitam adalah metafora untuk segala sesuatu yang menyebabkan individu ditekan dan dikendalikan oleh sistem tertentu, dan kita harus melawannya.

Akan halnya Silke Huysmans dan Hannes Dereere, praktisi teater dokumenter tersebut menyajikan pertunjukan berjudul Pleasure Island dari hasil observasi lapangan mereka di Nauru, sebuah pulau kecil di daerah Pasifik Oseania yang berjarak sekitar 3.000 kilometer dari Australia serta bertetangga dengan Vanuatu dan Tuvalu. Pulau seluas 21 kilometer persegi ini salah satu pulau terkecil di dunia dengan waktu tempuh 2 jam untuk mengelilingi seluruh kawasan. Pulau ini adalah pulau terkaya di dunia sampai pada 1980 dinyatakan bangkrut karena kekayaan fosfat yang dimilikinya dieksploitasi sedemikian liar.

Di pulau ini sekarang banyak lubang kecil menganga. Sampai beberapa orang menjulukinya “Pulau Tinja Burung”. Huysmans dan Dereere datang ke pulau itu, tapi keduanya mendapati kesulitan karena warga Nauru menolak difoto, direkam video, dan diwawancarai melalui kamera, yang akhirnya mengharuskan mereka meneruskan riset hanya dengan bekal kamera pintar.

Josef Wouters mempresentasikan teknik merancang skenografi dalam Impact19. Riyadhus Shalihin

Dalam pertunjukan tersebut, para penonton menyaksikan dua layar besar instalasi yang merepresentasikan format potret dari gawai pintar. Huysmans dan Dereere berada di samping layar sembari menggenggam gawai pintar. Layar menampilkan video sepanjang perjalanan di Nauru, juga percakapan WhatsApp di antara mereka. Dereere juga mencoba memasukkan situasi atau ambiens perasaan melankolis, terasing atau kesepian, selama di Nauru dengan memainkan fasilitas musik digital pada gawai pintar, seperti gitar dan disk jockey digital. Tak hanya menunjukkan data dan arsip, kedua performer tersebut juga menampilkan penulisan skrip pertunjukan langsung di atas pentas, yang setiap babak atau plotnya ditulis dalam aplikasi skenario digital.

Lokakarya yang digelar Huysmans dan Dereere mengajak partisipan terlibat mempertanyakan secara aktif sejarah situs Essen. Mereka mengajak partisipan melihat Essen sebagai bagian dari konstruksi besar sisa peradaban tambang batu bara, sebuah jejak catatan besar gemilangnya masa Revolusi Industri, ketika mesin memberikan angan-angan dan imajinasi akan ekonomi pada masa depan melalui pertambangan. Konstruksi besi baja yang instalatif menjulang di banyak lokasi. Bagaimana arsitektur industri semacam ini membangun jati diri para penghuni kota. Bangunan pasca-pakai yang kemudian diganti menjadi pusat seni dan Museum Ruhr juga menyisakan pemandangan lanskap, kolase antara lanskap baja dan alam hijau, antara benda-benda besi dan benda-benda kayu, antara perkakas industri dan taman hutan kota. Dereere kemudian mengajak para partisipan mewawancarai tiga orang yang terhubung dengan sejarah tapak industri era Ruhr tersebut.

Sementara itu, Josef Wouters, skenografer dari Damaged Goods, Brussels, pada sesi presentasinya membicarakan cara merancang skenografi. Dia membawa begitu banyak arsip cetak visual berupa lukisan, foto kartun, gambar latar pertunjukan, dan foto lingkungan kota. Dia menjelaskan bahwa skenografi adalah sebuah penelusuran kearsipan yang tak melulu mengenai keperajinan membangun, tapi juga merajin pembacaan, melihat satu demi satu lukisan, menonton film, menggali begitu banyak sumber rupa, sebelum akhirnya bertemu dengan skala ruang sebenarnya.

Hari terakhir pertemuan adalah pertukaran pengalaman artistik setiap peserta. John Kenneth Pranada (Manila-London), misalnya, menerangkan satu proyeknya yang berjudul Dust in Strange Light, berkolaborasi dengan seniman Lena Rosa Händle, yang menelusuri bagaimana mesin fotografi yang diciptakan pada masa kolonialisme Eropa memainkan politik warna, ketika mereka tak memiliki pigmen kimia bagi mereka yang berkulit hitam dan cokelat. Proyeknya yang lain mencoba menelusuri masalah-masalah artefak pada masa prakolonial dan pascakolonial Filipina yang dihapus melalui misi Katolik.

RIYADHUS SHALIHIN, SALAH SATU SENIMAN PESERTA IMPACT19

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus