Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Gadis pemberontak dari jepara

Sutradara: syumanjaya pemain: yenny rachman, wisnu wardhana, adi kurdi resensi oleh: isma sawitri. (fl)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTINI Pemain: Yenny Rachman, Wisnu Wardhana, Adi Kurdi, Nani Widjaya, Bambang Hermanto Skenario/sutradara: Sjumandjaya KRITIS, terkadang nampak usil, mewawancara wong cilik. Itulah Kartini untuk pertama kalinya bisa disaksikan di layar perak. Dengan masa pemotretan tiga bulan di Jepara dan Rembang, sutradara Sjumandjaja berusaha menghadirkan seorang Kartini ke tengah-tengah kita. Dan kamera mengajak penonton menyaksikan banyak hal di luar jangkauan imajinasi: suasana dan tatakrama di lingkungan keuarga ningrat Jawa, pantai Jepara, hutan ati, penduduk Jawa yang terseret proses pemiskinan, dan senyum misterius para selir. Dalam garis besarnya, film Kartini mengajak kita menelusuri relung-relung lain dari perjalanan hidup sebuah bangsa. Siklus itu adalah proses pemiskinan moral dan materi - sesuatu yang ingin dilawan dan dihentikan Kartini dengan segenap keterbatasannya. Tak dapat tidak, proses itu berulangkali dijelajahi Kartini lewat pikiran yang tertuang di surat atau tercetus dalam dialog. Dan seperti yang sama sekali tidak kita harapkan, kata-kata yang mewakili buah pikiran Kartini telah mendominasi film, muncul tiap kali dalam klimaks-klimaks kecil. Kata-kata Kartini demikian menjulang, hingga seakan lepas dari sangkutannya, yakni tokoh dan jalan cerita. Lepas dari itu, lewat film ini nampak banyak sekali yang ingin diungkapkan Sjuman. Untuk potret Kartini yang besar dia ingin menciptakan bingkai Jawa yang sepadan - lengkap dengan konteks sejarah waktu itu. Namun bingkai Jawa yang dimaksudkan, keadaan sosial ekonomi rakyat masa itu, hanya berhasil ditampilkan lewat penggalan-penggalan peristiwa. Bukan dalam kesinambungan cerita yang menyatu dan mengalir. Contoh: peristiwa wabah, berhenti pada adegan bupati Sosroningrat meminumkan air pada seorang penderita, peristiwa arus petani yang mencari kerja di perkebunan tebu terputus pada adegan sang bupati naik andong adegan keluarga miskin dengan empat anak berakhir hanya pada nasib seorang anak adegan para pengrajin diselesaikan dengan tumpukan barang anyaman yang tidak jelas benar akan diapakan. Fragmentaris. Bertentangan dengan pakem perfilman yang ditekuninya, semua penstiwa itu dibiarkan sekadar lewat oleh Sjuman, tidak menyatu dan seperti lepas dari proses perkembangan watak Kartini. Padahal untuk mengabadikan Kartini sebagai pemikir pejuang, jalinan peristiwa itu seyogyanya diolah dengan sempurna. Interaksi antara pergolakan di luar dan di dalam jiwa dengan begitu akan jadi tontonan yang mengasyikkan, menyentuh. Baru sesudah itu kesan seorang putri bupati yang nampak usil mewawancara wong cilik dapat dihindarkan. Meskipun begitu, Wisnu Wardhana, penari Jawa yang terkenal itu, telah bermain bagus sebagai Bupati Sosroningrat. Permainannya layak dicalonkan untuk sebuah Citra, hanya saja yang terdengar di film bukan suaranya asli. Kemudian, penggambaran konflik Kartini dan suaminya, Bupati Djojodiningrat (Bambang Hermanto) dalam beberapa adegan cukup khas dan mencekam. Demikian pula adegan protes Sosrokartono, protes bersila di hadapan ayahanda, yang kemudian berlanjut dengan adegan mengantar Kartini ke kamar pingitan. Bagaimana orang Jawa meledak dan meredam ledakan, di sini nampak ningrat, dan mengharukan. Film yang masa putarnya hampir 3 jam ini, menghidangkan pemotretan yang patut dibanggakan, juga musik karya Soedharnoto yang lirih menjiwai. Benar kata SJuman (lihat box) film ini tidak harus dianggap istimewa, namun unsur-unsur tersebut di atas telah menopangnya. Dan kita ingin mencatatnya sebagai film Indonesia pertama tentang Kartini, karena yakin nanti akan ada film kedua dan ketiga tentang tokoh yang sama. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus