KARTINI
Pemain: Yenny Rachman, Wisnu Wardhana, Adi Kurdi, Nani Widjaya,
Bambang Hermanto
Skenario/sutradara: Sjumandjaya
KRITIS, terkadang nampak usil, mewawancara wong cilik. Itulah
Kartini untuk pertama kalinya bisa disaksikan di layar perak.
Dengan masa pemotretan tiga bulan di Jepara dan Rembang,
sutradara Sjumandjaja berusaha menghadirkan seorang Kartini ke
tengah-tengah kita. Dan kamera mengajak penonton menyaksikan
banyak hal di luar jangkauan imajinasi: suasana dan tatakrama di
lingkungan keuarga ningrat Jawa, pantai Jepara, hutan ati,
penduduk Jawa yang terseret proses pemiskinan, dan senyum
misterius para selir.
Dalam garis besarnya, film Kartini mengajak kita menelusuri
relung-relung lain dari perjalanan hidup sebuah bangsa. Siklus
itu adalah proses pemiskinan moral dan materi - sesuatu yang
ingin dilawan dan dihentikan Kartini dengan segenap
keterbatasannya.
Tak dapat tidak, proses itu berulangkali dijelajahi Kartini
lewat pikiran yang tertuang di surat atau tercetus dalam dialog.
Dan seperti yang sama sekali tidak kita harapkan, kata-kata yang
mewakili buah pikiran Kartini telah mendominasi film, muncul
tiap kali dalam klimaks-klimaks kecil. Kata-kata Kartini
demikian menjulang, hingga seakan lepas dari sangkutannya, yakni
tokoh dan jalan cerita.
Lepas dari itu, lewat film ini nampak banyak sekali yang ingin
diungkapkan Sjuman. Untuk potret Kartini yang besar dia ingin
menciptakan bingkai Jawa yang sepadan - lengkap dengan konteks
sejarah waktu itu. Namun bingkai Jawa yang dimaksudkan, keadaan
sosial ekonomi rakyat masa itu, hanya berhasil ditampilkan lewat
penggalan-penggalan peristiwa. Bukan dalam kesinambungan cerita
yang menyatu dan mengalir.
Contoh: peristiwa wabah, berhenti pada adegan bupati
Sosroningrat meminumkan air pada seorang penderita, peristiwa
arus petani yang mencari kerja di perkebunan tebu terputus pada
adegan sang bupati naik andong adegan keluarga miskin dengan
empat anak berakhir hanya pada nasib seorang anak adegan para
pengrajin diselesaikan dengan tumpukan barang anyaman yang tidak
jelas benar akan diapakan. Fragmentaris.
Bertentangan dengan pakem perfilman yang ditekuninya, semua
penstiwa itu dibiarkan sekadar lewat oleh Sjuman, tidak menyatu
dan seperti lepas dari proses perkembangan watak Kartini.
Padahal untuk mengabadikan Kartini sebagai pemikir pejuang,
jalinan peristiwa itu seyogyanya diolah dengan sempurna.
Interaksi antara pergolakan di luar dan di dalam jiwa dengan
begitu akan jadi tontonan yang mengasyikkan, menyentuh. Baru
sesudah itu kesan seorang putri bupati yang nampak usil
mewawancara wong cilik dapat dihindarkan.
Meskipun begitu, Wisnu Wardhana, penari Jawa yang terkenal itu,
telah bermain bagus sebagai Bupati Sosroningrat. Permainannya
layak dicalonkan untuk sebuah Citra, hanya saja yang terdengar
di film bukan suaranya asli. Kemudian, penggambaran konflik
Kartini dan suaminya, Bupati Djojodiningrat (Bambang Hermanto)
dalam beberapa adegan cukup khas dan mencekam.
Demikian pula adegan protes Sosrokartono, protes bersila di
hadapan ayahanda, yang kemudian berlanjut dengan adegan
mengantar Kartini ke kamar pingitan. Bagaimana orang Jawa
meledak dan meredam ledakan, di sini nampak ningrat, dan
mengharukan.
Film yang masa putarnya hampir 3 jam ini, menghidangkan
pemotretan yang patut dibanggakan, juga musik karya Soedharnoto
yang lirih menjiwai. Benar kata SJuman (lihat box) film ini
tidak harus dianggap istimewa, namun unsur-unsur tersebut di
atas telah menopangnya. Dan kita ingin mencatatnya sebagai film
Indonesia pertama tentang Kartini, karena yakin nanti akan ada
film kedua dan ketiga tentang tokoh yang sama.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini