Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tidak ada yang baru, katanya

Sayembara komposisi musik yang diadakan oleh dkj untuk jenis paduan suara dan musik remaja tidak menghasilkan juara pertama. juri menilai hasil sayembara hanya mengulang komposisi yang sudah ada. (ms)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK kurang dari Rp 5.985.000 disediakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1978 ini untuk hadiah sayembara lukis, film, sastra dan musik. Angka yang didorong oleh hasrat menggalakkan itu sampai sekarang masih kurang mendapat arus balik -- dari para penulis musik. Sayembara komposisi musik hanya diikuti 23 orang. Sebelas untuk jenis paduan suara dan 20 untuk musik remaja. Dibanding tahun sebelumnya jumlah itu merosot. Apalagi dibanding kegiatan 1974, ketika sayembara dibuka. "Sebenarnya peserta yang berminat ikut tahun ini cukup banyak. Cuma publikasinya sedikit terlambat dan kurang luas," kata seorang karyawan di Sekretariat DKJ menduga-duga. Marusya Baik untuk jenis paduan suara maupun musik remaja tidak ada pemenang pertama. Untuk paduan suara dewan juri yang terdiri dari Tri Suci Karnal, Frans Wiyatna Hariyadi, N. Simanungkalit, F.X. Sutopo dan Slamet Abdul Syukur menganggap F.A. Warsono dengan karyanya bernama Tulat-Tulit hanya pantas di tempat kedua. Ia juga menduduki tempat ketiga dengan judul lagu Lalu. Sedang pemenang harapan dua orang masing-masing Marusya Nainggolan dengan Main dan Ibenzani Usman dengan Andalas Nusa Harapan. Tapi Marusya Nainggolan dalam jenis musik remaja berhasil menduduki tempat kedua dengan karya berjudul Renyab. Di tempat ketiga F.A. Warsono dengan judul Lagu Merdeka. Sedang Supardi Suaib dengan judul Melody menduduki kursi harapan. Marusya adalah mahasiswi musik LPKJ jurusan piano. Tetapi di tingkat terakhir ia memperoleh pelajaran orientasi komposisi, sehingga di samping mahir piano ia juga mulai mencipta. Ia mengaku Renyah untuk instrumen flut diciptakan tahun lalu, ketika ia mendapat tugas dari dosennya. Dikerjakan selama 4 bulan. "Kebetulan jurusan saya mendapat guru yang baik sekali dan tetap," kata mahasiswi yang beruntung itu. Frans Haryadi, anggota juri, menilai hasil sayembara hanya mengulang-ulang komposisi yang sudah ada. Namun ia masih mencoba melihat bahwa paling tidak dari pengulangan itu ada ekspresi baru. Ia sendiri tidak berharap terlalu muluk -- menyempurnakan gaya yang sudah ada saja baginya sudah cukup untuk sementara. Ini yang belum. "Selama penyelenggaraan sayembara tidak ada perkembangan. Kalau toh ada, sedikit sekali," kata Frans. Untuk ini dia menunjuk Marusya. "Seandainya ekspresinya mantap, mungkin bisa memenuhi syarat untuk juara pertama." Marusya sendiri tidak mau memberi komentar terhadap penilaian juri. Ia tahu juri punya kriteria tersendiri untuk putusan-putusannya. Ia hanya bilang: "Belajar musik ternyata sukar. Cuma bakat saja tidak bisa, harus dibarengi disiplin yang ketat." Memang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus