BUSTAL Nawawi, Sekretaris Jenderal Karyawan Film dan Televisi
(KFT), punya tambahan kerja. Hari-hari ini ia sibuk menengahi
pertikaian beberapa pimpinan produksi (anggota KFT) yang
memperebutkan jadwal shooting sejumlah bintang film remaja
tenar. Terutama pekan ini ia harus turut menyelesaikan penentuan
jadwal shooting buat Lydia Kandou.
Lydia bersama Herman Felani dan Rano Karno tercatat sebagai
bintang film remaja paling laris dan jadi rebutan belakangan
ini. Ketiganya bermain di beberapa film sekaligus. Tak heran
bila sesama pimpinan produksi saling berburu mendapatkan mereka
lebih cepat. Herman Felani, misalnya, ketika tengah shooting
film Halo Sayang di Cempaka Putih Tengah 32, Jakarta Pusat,
sudah ditunggu pimpinan produksi film Nostalgia di SMA. Dalam
situasi seperti itu, sesama produser seringkali ribut.
Sejumlah kasus produser memperebutkan ketiga bintang remaja
tersebut sudah masuk ke meja pimpinan Persatuan Perusahaan Film
Indonesia (PPFI). Untuk mencegah meluasnya perselisihan itu,
PPFI mulai 21 Januari tidak melayani permintaan izin produksi
yang memakai Lydia, Rano dan Herman untuk sementara waktu.
Produser baru yang akan menempatkan ketiga bintang itu dalam
produksinya diminta menunjukkan pernyataan tak keberatan dari
produser terdahulu -- juga pernyataan bintang bersangkutan.
Langkah PPFI tersebut juga dimaksudkan agar para anggotanya
kelak bisa menghasilkan film baik. "Sukar dipercaya dari Lydia
Kandou yang bermain di banyak film akan keluar acting bagus,"
kata L.J.N. Hoffman, Sekjen PPFI. Memang sejak awal 1980, Lydia
bermain dalam 15 film. Sedang Rano dan Herman masing-masing 11
dan 10 judul film.
Hoffman mengecam mentalitas ketiga bintang remaja tadi, karena
dianggapnya semberono membubuhkan tanda tangan tanpa
memperhitungkan jadwal dan kepentingan produser. Seorang
pengurus Persatuan Artis Film Indonesia malah menuduh ketiganya
serakah. Tahun lalu 408 di antara 726 anggota PARFI tak pernah
mendapat kesempatan bermain sekali pun.
Herman Felani menyangkal tuduhan itu. Ia menyebut justru
produser selalu mendesak. Sebelum membubuhkan tanda tangan di
suatu kontrak, menurut dia, produser terakhir sering
diperingatkannya bahwa ia terikat kontrak dalam sejumlah film.
Sampai kini ia masih terlibat menyelesaikan tiga judul film.
Sejumlah produser memang nekat. Pernah terjadi seorang pimpinan
produksi menyerobot seorang di antara ketiga bintang tadi yang
sedang mengisi suara (dubbing). Sering juga pimpinan produksi
(karena ditekan produser) menyembunyikan bintang itu di suatu
hotel dengan fasilitas mewah untuk menghindari penyerobotan
pihak lain. Terdengar pula seorang produser menyuap pimpinan
produksi lawan untuk memperoleh sang bintang agar mau memenuhi
shooting filmnya.
Karena bintang itu terikat dalam banyak jadwal shooting berbeda,
sutradara sering menemui waktu istirahat tak terduga. Itu sering
menyebabkan sutradara terganggu. Waktu istirahat itu juga tak
menguntungkan unit film. Sebab waktu kerja bertambah tanpa dapat
uang lembur.
Tapi tidak adakah bintang remaja yang lebih tampan dan cantik?
Booker, menurut cerita produser, sangat menentukan tema dan
sekaligus pemilihan pemain (casting) suatu film. Dan booker
konon menganggap justru ketiga bintang itu disukai penonton.
Sjahroni, Penanggungjawab PT Japos Film, membenarkan cerita itu.
Ia mengaku berusaha mati-matian menarik ketiga bintang tersebut
ke film Nostalgia di SMA, supaya memenuhi permintaan pasar. Film
produksinya yang lain seperti Gudang Uang, Dukun Kota dan Remaja
Pulang Pagi sulit dijual karena tak memakai seorang pun di
antara ketiga bintang tadi. Sjahroni kini ingin memanfaatkan
permintaan pasar tersebut. "Sebab bila terlambat, kami akan
kehilangan kesempatan," ujarnya.
Saling berlomba meraih kesempatan itu mengakibatkan produser
sering menekan pimpinan prsduksi dan sutradara, agar secepatnya
menyelesaikan shooting. "Sutradara akhirnya tidak lagi
berbicara bagaimana sebuah film baik dihasilkan, tapi bagaimana
suatu film cepat selesai dan bisa dijual," ungkap sutradara
Adhie Soerya Abdy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini