Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tiga bintang diburu selalu

Pertikaian beberapa pimpinan produksi film yang memperebuntukan jadwal shooting sejumlah bintang remaja tenar, terutama lydia kandou, herman felani dan rano karno. (fl)

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUSTAL Nawawi, Sekretaris Jenderal Karyawan Film dan Televisi (KFT), punya tambahan kerja. Hari-hari ini ia sibuk menengahi pertikaian beberapa pimpinan produksi (anggota KFT) yang memperebutkan jadwal shooting sejumlah bintang film remaja tenar. Terutama pekan ini ia harus turut menyelesaikan penentuan jadwal shooting buat Lydia Kandou. Lydia bersama Herman Felani dan Rano Karno tercatat sebagai bintang film remaja paling laris dan jadi rebutan belakangan ini. Ketiganya bermain di beberapa film sekaligus. Tak heran bila sesama pimpinan produksi saling berburu mendapatkan mereka lebih cepat. Herman Felani, misalnya, ketika tengah shooting film Halo Sayang di Cempaka Putih Tengah 32, Jakarta Pusat, sudah ditunggu pimpinan produksi film Nostalgia di SMA. Dalam situasi seperti itu, sesama produser seringkali ribut. Sejumlah kasus produser memperebutkan ketiga bintang remaja tersebut sudah masuk ke meja pimpinan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Untuk mencegah meluasnya perselisihan itu, PPFI mulai 21 Januari tidak melayani permintaan izin produksi yang memakai Lydia, Rano dan Herman untuk sementara waktu. Produser baru yang akan menempatkan ketiga bintang itu dalam produksinya diminta menunjukkan pernyataan tak keberatan dari produser terdahulu -- juga pernyataan bintang bersangkutan. Langkah PPFI tersebut juga dimaksudkan agar para anggotanya kelak bisa menghasilkan film baik. "Sukar dipercaya dari Lydia Kandou yang bermain di banyak film akan keluar acting bagus," kata L.J.N. Hoffman, Sekjen PPFI. Memang sejak awal 1980, Lydia bermain dalam 15 film. Sedang Rano dan Herman masing-masing 11 dan 10 judul film. Hoffman mengecam mentalitas ketiga bintang remaja tadi, karena dianggapnya semberono membubuhkan tanda tangan tanpa memperhitungkan jadwal dan kepentingan produser. Seorang pengurus Persatuan Artis Film Indonesia malah menuduh ketiganya serakah. Tahun lalu 408 di antara 726 anggota PARFI tak pernah mendapat kesempatan bermain sekali pun. Herman Felani menyangkal tuduhan itu. Ia menyebut justru produser selalu mendesak. Sebelum membubuhkan tanda tangan di suatu kontrak, menurut dia, produser terakhir sering diperingatkannya bahwa ia terikat kontrak dalam sejumlah film. Sampai kini ia masih terlibat menyelesaikan tiga judul film. Sejumlah produser memang nekat. Pernah terjadi seorang pimpinan produksi menyerobot seorang di antara ketiga bintang tadi yang sedang mengisi suara (dubbing). Sering juga pimpinan produksi (karena ditekan produser) menyembunyikan bintang itu di suatu hotel dengan fasilitas mewah untuk menghindari penyerobotan pihak lain. Terdengar pula seorang produser menyuap pimpinan produksi lawan untuk memperoleh sang bintang agar mau memenuhi shooting filmnya. Karena bintang itu terikat dalam banyak jadwal shooting berbeda, sutradara sering menemui waktu istirahat tak terduga. Itu sering menyebabkan sutradara terganggu. Waktu istirahat itu juga tak menguntungkan unit film. Sebab waktu kerja bertambah tanpa dapat uang lembur. Tapi tidak adakah bintang remaja yang lebih tampan dan cantik? Booker, menurut cerita produser, sangat menentukan tema dan sekaligus pemilihan pemain (casting) suatu film. Dan booker konon menganggap justru ketiga bintang itu disukai penonton. Sjahroni, Penanggungjawab PT Japos Film, membenarkan cerita itu. Ia mengaku berusaha mati-matian menarik ketiga bintang tersebut ke film Nostalgia di SMA, supaya memenuhi permintaan pasar. Film produksinya yang lain seperti Gudang Uang, Dukun Kota dan Remaja Pulang Pagi sulit dijual karena tak memakai seorang pun di antara ketiga bintang tadi. Sjahroni kini ingin memanfaatkan permintaan pasar tersebut. "Sebab bila terlambat, kami akan kehilangan kesempatan," ujarnya. Saling berlomba meraih kesempatan itu mengakibatkan produser sering menekan pimpinan prsduksi dan sutradara, agar secepatnya menyelesaikan shooting. "Sutradara akhirnya tidak lagi berbicara bagaimana sebuah film baik dihasilkan, tapi bagaimana suatu film cepat selesai dan bisa dijual," ungkap sutradara Adhie Soerya Abdy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus