TAFSIR itu pun selesai sudah. Pada malam 17 Februari, di Masjid
Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta, saat ulang tahun ke-73 Prof.
Hamka digunakan sebagai kesempatan syukuran -- atas selesainya
dicetak jilid terakhir tafsir Quran yang disebut menurut nama
masjid yang diimaminya itu.
Banyak orang bergembira, tentu ke-30 juz Quran, dikomentari
dalam 30 jilid buku (seukuran buku sekolah umumnya, setebal
300-450 halaman) sudah bisa mereka peroleh kelengkapannya
setelah selama ini dikeluarkan penerbit Pembimbing Masa secara
cicilan.
Sebab karya ini, yang diangkat dari pengajian tafsir setiap
habis subuh di Masjid Al Azhar, memang populer. "Wajah jamaah
yang tercinta itulah yang terbayang, seketika menggoreskan pena
di atas kertas," kata ulama bekas pengarang roman ini. Sehingga,
untuk menepatkan dengan tingkat pengetahuan berbagai jenis
jamaah itu, "penafsiran tidak terlalu tinggi mendalam, sehingga
yang dapat memahaminya tidak semata-mata sesama ulama." Tapi
juga "tidak terlalu rendah, sehingga menjemukan." Itu
dituliskannya dalam pengantar jilid pertama.
Al-Azhar dengan demikian mendapat ciri umum tafsir yang terbit
di Indonesia sejak menjelang kemerdekaan: gubahan yang terutama
dimaksud sebagai bimbingan -- lebih dari sebuah karya keilmuan
atau, misalnya, pembelaan suatu mazhab lama maupun baru seperti
umumnya tafsir klasik. Hanya, bahwa tafsir ini disusun berdasar
uraian ceramah menjadikannya khas: tidak memakai sistem catatan
kaki -- yang menerangkan bagian-bagian ayat -- seperti yang
lain-lain, dan karena itu boleh menjadi sangat luas.
Sama dengan yang diperbuat Prof. Mahmud Junus, Hamka menafsir
berdasar kelompok ayat. Bedanya, bila tafsir Prof. Mahmud terasa
hanya "mengulang saja" bunyi ayat untuk lebih memperjelas dan
memberi sugesti (ia diketahui sebagai tafsir pertama berbahasa
Indonesia, setelah zaman karya Abdurrauf bin Ali Fansuri di abad
XVII Aceh), Al-Azhar memberi banyak sekali ilmu dan hal-hal
kemasyarakatan dalam pagina-pagina yang jauh lebih panjang.
Tak heran, Hamka, doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar
Kairo itu menyatakan tertarik sekali oleh Tafsir Al-Manar Rasyid
Ridha, yang ditulis berdasar pendapat gurunya, Muhammad Abduh --
dua tokoh pembaru Islam di Mesir abad lalu. Seperti dikatakannya
karya tersebut "juga menyesuaikan ayat-ayat dengan perkembangan
politik dan kemasyarakatan." Juga tafsir Di Bawah Bayangan Al
Quran Seyd Quthub (ulama Ikhwanul Muslimin yang dihukum mati
Jamal Abdul Nasser), yang "mencocoki pikiran setelah Perang
Dunia II".
Toh, sambil menghidupkan kembali tradisi tafsir klasik, tafsir
Hamka cukup banyak memuat berbagai pendapat lain -- tanpa terasa
"memperjuangkan sesuatu" seperti yang memang layak pada Al-Manar
di zamannya. Di rumah Hamka sendiri, di tengah berlemari-lemari
tafsir besar, terdapat misalnya yang dari ulama Syi'ah,
Tabataba'i, Al-Mizan. Juga tafsir Al-Kasysyaf karangan
Az-Zamakhsyari pembela Mu'tazilah, mazhab theologi klasik yang
sangat rasional. "Orang kita umumnya tidak suka tafsir ini,"
katanya kepada TEMPO. "tapi kita 'kan harus fayattabi'uuna
ahsanah (membanding-banding dan mengikut mana yang baik
--ungkapan Quran)."
Hamka sendiri menyebut tafsirnya "bermazhab salaf": berpedoman
langsung kepada tradisi Nabi dan para Sahabat, tanpa lebih dulu
mengikatkan diri pada suatu mazhab. Toh dalam tafsir ia memilih
paham Ghazali yang sufi serta Zamakhsyari yang Mu'tazili -- dan
bukan paham Ibnu Taimlah, penegak mazhab salaf yang menolak
"pencampuran pendapat sendiri" dalam menafsir. Ghazali
menganggap, menafsirkan Quran tidak cukup hanya bergantung pada
pendapat generasi pertama Islam (salaf). Sementara Zamakhsyari
percaya pada ilham Allah yang terus-menerus turun -- yang
mungkin belum diberikan kepada para ulama terdahulu.
Maka dalam penafsiran tentang subyek Adam, misalnya saja, Hamka
tak lupa mencantumkan banyak "pendapat sendiri" itu. Diterakan
di situ paham para ulama Syi'ah seperti Muhammad Al-Baqir --
bahwa sebelum Adam, sebenarnya sudah ada "seribu Adam atau
lebih". Atau pendapat Ja'far Shadiq, imam ke-6 dari 12 imam
Syi'ah, yang menyebut "satu juta Adam". Begitu juga kurang lebih
pendapat Sufi Ibnu 'Arabi.
Hamka hanya tidak menerakan pendapat pemikir Iqbal -- bahwa Adam
sebenarnya bisa hanya personifikasi saja dari titik pencapaian
tertentu dalam evolusi kerohanian manusia -- dan bukan nama
manusia itu sendiri. Quran sendiri memang tidak menyebut Adam
manusia pertama. Sedang nama Hawa pun, apalagi kisah kejadiannya
"dari tulang rusuk lelaki" tak ada di situ.
Charles Darwin, penegak teori evolusi itu, di sini -- berbeda
dengan di kalangan para ustaz bawahan -- sama sekali bukan
musuh. "Adapun Al Quran," tulis Buya di situ, "karena dia
bukanlah kitab catatan penyelidikan fosil atau teori Darwin,
tidaklah membicarakan hal itu" ....
Bab Mujizat
Sebuah sikap modern. Juga bila Quran menuturkan kutukan Tuhan
kepada orang-orang Yahudi yang melanggar pantangan di hari Sabat
-- "jadilah kalian kera yang hina" -- itu tak usah berarti kera
benar, menurut Hamka. Melainkan perangai monyet.
Toh tidak usah diharap tafsir ini akan menjadi seperti,
misalnya, The Holly Quran Maulana Muhammad Ali yang Ahmadiyah
Lahore itu -- yang dikagumi Ir. Soekarno dahulu dan pernah
dicoba terjemahkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto. Bila Muhammad Ali
mengartikan semua ayat mujizat dengan berpegang banyak pada
makna perlambang, bagi Hamka 'Musa membelah laut' adalah
membelah laut. 'Memukul batu lalu memancar 12 mata air, tak
usahlah ditafsir-tafsirkan. Ibrahim 'dibakar dan tidak hangus',
bisa saja terjadi. Hamka, seperti dituturkannya sendiri, menolak
penafsiran yang "menimbang dari maksud" -- kecuali ada penunjuk
yang cukup kuat.
Sebagai sebuah tafsir salaf yang modern, ia pun menerangkan
ayat-ayat hukum pidana dengan seluruh sebab-sebab turunnya --
yang memungkinkannya ditafsirkan bagi sebuah pelaksanaan di
berbagai masa yang berbeda. Tapi sebab-sebab itu, tentu saja,
tidaklah sampai kepada gambaran sosio-kultural yang pada
gilirannya menunjuk kepada "ketidakberlakuan" ayat-ayat itu..
Yang paling istimewa, betapa pun, tafsir ini enak. Bukan karena
diterjemahkan dengan "bersastra-sastra". "Ketika sudah
mengerjakannya, saya tidak teringat sastra lagi," katanya kepada
TEMPO. Tapi dasar ia pujangga (Hamka mengaku, "Memang tafsir ini
menjadi cita-cita sejak muda, terutama setelah terbit enam buah
roman saya"), yang lahir dari tangannya tak urung susunan
kalimat yang lancar, sederhana dan cukup menyentuh.
Meski bahasanya panjang-panjang -- sebagai biasanya sastrawan
sebelum perang -- Al-Azhar memuat banyak ilustrasi yang penuh
warna dan banyak kali terasa melibatkan pembaca orang-seorang.
Dalam menerangkan tiga surat pendek di akhir Al Quran misalnya,
Buya tak lupa menceritakan bagaimana ayahandanya dulu
mengajarinya membaca surat-surat itu sambil "menampungnya"
dengan kedua tangan, lalu mengusapkannya ke sekujur tubuh --
dimulai dari kepala -- sebelum tidur.
Agak mengharukan, bila diingat tafsir ini sebenarnya oleh-oleh
seorang ulama terpandang dari dalam tahanan. Ketika tokoh yang
ramah ini ditangkap rezim Soekarno -- di tengah memberi
pengajian kepada ibu-ibu di Masjid Al-Azhar pagi hari di bulan
puasa Januari 1964 -- ia sebenarnya baru satu setengah juz
mengajarkan tafsir. Dan anehnya dimulai dari juz ke-18 -- yang
ayat pembukanya berbunyi "Beruntunglah orang-orang beriman, yang
dalam sembahyangnya khusyu' tenteram." Itu sejak 1958 -- saat
dibukanya Masjid Al Azhar dan sepulang Hamka dari Al-Azhar
Mesir.
Untunglah ulama ini dibolehkan mengangkut kitab-kitabnya satu
kolt -- juga bila tempat tahanannya dipindahkan. Itu memang ada
juga dituturkannya dalam kata pendahuluan, dengan agak pedih.
Toh ia bersyukur pada kehendak Tuhan itu dengan begitu ia bisa
menyelesaikan tafsirnya hanya dalam dua tahun lebih. "Kalau di
luar," katanya, "belum tentu selesai dalam dua puluh tahun."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini