Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebuah tafsir dari penjara

Tafsir al-azhar prof. hamka selesai seluruhnya 30 jilid, sebuah tafsir aliran salaf yang diangkat dari ceramah prof. hamka. karya ini sebagai hasil dalam penjara buya hamka.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAFSIR itu pun selesai sudah. Pada malam 17 Februari, di Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta, saat ulang tahun ke-73 Prof. Hamka digunakan sebagai kesempatan syukuran -- atas selesainya dicetak jilid terakhir tafsir Quran yang disebut menurut nama masjid yang diimaminya itu. Banyak orang bergembira, tentu ke-30 juz Quran, dikomentari dalam 30 jilid buku (seukuran buku sekolah umumnya, setebal 300-450 halaman) sudah bisa mereka peroleh kelengkapannya setelah selama ini dikeluarkan penerbit Pembimbing Masa secara cicilan. Sebab karya ini, yang diangkat dari pengajian tafsir setiap habis subuh di Masjid Al Azhar, memang populer. "Wajah jamaah yang tercinta itulah yang terbayang, seketika menggoreskan pena di atas kertas," kata ulama bekas pengarang roman ini. Sehingga, untuk menepatkan dengan tingkat pengetahuan berbagai jenis jamaah itu, "penafsiran tidak terlalu tinggi mendalam, sehingga yang dapat memahaminya tidak semata-mata sesama ulama." Tapi juga "tidak terlalu rendah, sehingga menjemukan." Itu dituliskannya dalam pengantar jilid pertama. Al-Azhar dengan demikian mendapat ciri umum tafsir yang terbit di Indonesia sejak menjelang kemerdekaan: gubahan yang terutama dimaksud sebagai bimbingan -- lebih dari sebuah karya keilmuan atau, misalnya, pembelaan suatu mazhab lama maupun baru seperti umumnya tafsir klasik. Hanya, bahwa tafsir ini disusun berdasar uraian ceramah menjadikannya khas: tidak memakai sistem catatan kaki -- yang menerangkan bagian-bagian ayat -- seperti yang lain-lain, dan karena itu boleh menjadi sangat luas. Sama dengan yang diperbuat Prof. Mahmud Junus, Hamka menafsir berdasar kelompok ayat. Bedanya, bila tafsir Prof. Mahmud terasa hanya "mengulang saja" bunyi ayat untuk lebih memperjelas dan memberi sugesti (ia diketahui sebagai tafsir pertama berbahasa Indonesia, setelah zaman karya Abdurrauf bin Ali Fansuri di abad XVII Aceh), Al-Azhar memberi banyak sekali ilmu dan hal-hal kemasyarakatan dalam pagina-pagina yang jauh lebih panjang. Tak heran, Hamka, doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar Kairo itu menyatakan tertarik sekali oleh Tafsir Al-Manar Rasyid Ridha, yang ditulis berdasar pendapat gurunya, Muhammad Abduh -- dua tokoh pembaru Islam di Mesir abad lalu. Seperti dikatakannya karya tersebut "juga menyesuaikan ayat-ayat dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan." Juga tafsir Di Bawah Bayangan Al Quran Seyd Quthub (ulama Ikhwanul Muslimin yang dihukum mati Jamal Abdul Nasser), yang "mencocoki pikiran setelah Perang Dunia II". Toh, sambil menghidupkan kembali tradisi tafsir klasik, tafsir Hamka cukup banyak memuat berbagai pendapat lain -- tanpa terasa "memperjuangkan sesuatu" seperti yang memang layak pada Al-Manar di zamannya. Di rumah Hamka sendiri, di tengah berlemari-lemari tafsir besar, terdapat misalnya yang dari ulama Syi'ah, Tabataba'i, Al-Mizan. Juga tafsir Al-Kasysyaf karangan Az-Zamakhsyari pembela Mu'tazilah, mazhab theologi klasik yang sangat rasional. "Orang kita umumnya tidak suka tafsir ini," katanya kepada TEMPO. "tapi kita 'kan harus fayattabi'uuna ahsanah (membanding-banding dan mengikut mana yang baik --ungkapan Quran)." Hamka sendiri menyebut tafsirnya "bermazhab salaf": berpedoman langsung kepada tradisi Nabi dan para Sahabat, tanpa lebih dulu mengikatkan diri pada suatu mazhab. Toh dalam tafsir ia memilih paham Ghazali yang sufi serta Zamakhsyari yang Mu'tazili -- dan bukan paham Ibnu Taimlah, penegak mazhab salaf yang menolak "pencampuran pendapat sendiri" dalam menafsir. Ghazali menganggap, menafsirkan Quran tidak cukup hanya bergantung pada pendapat generasi pertama Islam (salaf). Sementara Zamakhsyari percaya pada ilham Allah yang terus-menerus turun -- yang mungkin belum diberikan kepada para ulama terdahulu. Maka dalam penafsiran tentang subyek Adam, misalnya saja, Hamka tak lupa mencantumkan banyak "pendapat sendiri" itu. Diterakan di situ paham para ulama Syi'ah seperti Muhammad Al-Baqir -- bahwa sebelum Adam, sebenarnya sudah ada "seribu Adam atau lebih". Atau pendapat Ja'far Shadiq, imam ke-6 dari 12 imam Syi'ah, yang menyebut "satu juta Adam". Begitu juga kurang lebih pendapat Sufi Ibnu 'Arabi. Hamka hanya tidak menerakan pendapat pemikir Iqbal -- bahwa Adam sebenarnya bisa hanya personifikasi saja dari titik pencapaian tertentu dalam evolusi kerohanian manusia -- dan bukan nama manusia itu sendiri. Quran sendiri memang tidak menyebut Adam manusia pertama. Sedang nama Hawa pun, apalagi kisah kejadiannya "dari tulang rusuk lelaki" tak ada di situ. Charles Darwin, penegak teori evolusi itu, di sini -- berbeda dengan di kalangan para ustaz bawahan -- sama sekali bukan musuh. "Adapun Al Quran," tulis Buya di situ, "karena dia bukanlah kitab catatan penyelidikan fosil atau teori Darwin, tidaklah membicarakan hal itu" .... Bab Mujizat Sebuah sikap modern. Juga bila Quran menuturkan kutukan Tuhan kepada orang-orang Yahudi yang melanggar pantangan di hari Sabat -- "jadilah kalian kera yang hina" -- itu tak usah berarti kera benar, menurut Hamka. Melainkan perangai monyet. Toh tidak usah diharap tafsir ini akan menjadi seperti, misalnya, The Holly Quran Maulana Muhammad Ali yang Ahmadiyah Lahore itu -- yang dikagumi Ir. Soekarno dahulu dan pernah dicoba terjemahkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto. Bila Muhammad Ali mengartikan semua ayat mujizat dengan berpegang banyak pada makna perlambang, bagi Hamka 'Musa membelah laut' adalah membelah laut. 'Memukul batu lalu memancar 12 mata air, tak usahlah ditafsir-tafsirkan. Ibrahim 'dibakar dan tidak hangus', bisa saja terjadi. Hamka, seperti dituturkannya sendiri, menolak penafsiran yang "menimbang dari maksud" -- kecuali ada penunjuk yang cukup kuat. Sebagai sebuah tafsir salaf yang modern, ia pun menerangkan ayat-ayat hukum pidana dengan seluruh sebab-sebab turunnya -- yang memungkinkannya ditafsirkan bagi sebuah pelaksanaan di berbagai masa yang berbeda. Tapi sebab-sebab itu, tentu saja, tidaklah sampai kepada gambaran sosio-kultural yang pada gilirannya menunjuk kepada "ketidakberlakuan" ayat-ayat itu.. Yang paling istimewa, betapa pun, tafsir ini enak. Bukan karena diterjemahkan dengan "bersastra-sastra". "Ketika sudah mengerjakannya, saya tidak teringat sastra lagi," katanya kepada TEMPO. Tapi dasar ia pujangga (Hamka mengaku, "Memang tafsir ini menjadi cita-cita sejak muda, terutama setelah terbit enam buah roman saya"), yang lahir dari tangannya tak urung susunan kalimat yang lancar, sederhana dan cukup menyentuh. Meski bahasanya panjang-panjang -- sebagai biasanya sastrawan sebelum perang -- Al-Azhar memuat banyak ilustrasi yang penuh warna dan banyak kali terasa melibatkan pembaca orang-seorang. Dalam menerangkan tiga surat pendek di akhir Al Quran misalnya, Buya tak lupa menceritakan bagaimana ayahandanya dulu mengajarinya membaca surat-surat itu sambil "menampungnya" dengan kedua tangan, lalu mengusapkannya ke sekujur tubuh -- dimulai dari kepala -- sebelum tidur. Agak mengharukan, bila diingat tafsir ini sebenarnya oleh-oleh seorang ulama terpandang dari dalam tahanan. Ketika tokoh yang ramah ini ditangkap rezim Soekarno -- di tengah memberi pengajian kepada ibu-ibu di Masjid Al-Azhar pagi hari di bulan puasa Januari 1964 -- ia sebenarnya baru satu setengah juz mengajarkan tafsir. Dan anehnya dimulai dari juz ke-18 -- yang ayat pembukanya berbunyi "Beruntunglah orang-orang beriman, yang dalam sembahyangnya khusyu' tenteram." Itu sejak 1958 -- saat dibukanya Masjid Al Azhar dan sepulang Hamka dari Al-Azhar Mesir. Untunglah ulama ini dibolehkan mengangkut kitab-kitabnya satu kolt -- juga bila tempat tahanannya dipindahkan. Itu memang ada juga dituturkannya dalam kata pendahuluan, dengan agak pedih. Toh ia bersyukur pada kehendak Tuhan itu dengan begitu ia bisa menyelesaikan tafsirnya hanya dalam dua tahun lebih. "Kalau di luar," katanya, "belum tentu selesai dalam dua puluh tahun."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus