Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Topeng Jazz atau <font color=#FF9900>Jazz Topeng</font>

Musisi Dwiki Dharmawan bereksperimen melebur jazz dengan tari topeng. Masih luas kemungkinan eksplorasinya.

23 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGENAKAN topeng Panji, karakter yang melambangkan kesucian, perempuan berkostum longgar putih dengan selendang tersampir di bahunya itu bergerak bagai angin yang malas pada siang hari. Seperti diam tapi sebenarnya tidak, dia menjejakkan kakinya, memasang kuda-kuda, memutar tubuhnya, menggoyang-goyangkan bahunya, menggetarkan jemarinya, juga godek atau melenggak-lenggokkan kepalanya. Semuanya tak salah: ada elemen tari topeng Cirebon.

Namun tak ada tetabuhan gamelan dalam laras slendro, sebagaimana lazimnya, yang menjadi pengiring. Penggantinya, ini dia: sebaris musisi yang merupakan ensemble musik modern, dengan formasi yang mengingatkan orang pada jazz—ada klarinet, flute, saksofon, trombon, bahkan tuba, di samping instrumen standar seperti drum, bas, dan piano. Mereka memainkan nada-nada yang tidak dalam harmoni, cenderung atonal, tidak dalam birama apa pun, dan juga tidak mengandung groove, melainkan ambience, walaupun ada penabuh drum dan pemukul kendang.

Seperti figur abstrak saja semua itu, dengan aneka bentuk di sekujur badannya yang lebih berfungsi seperti ornamen. Satu-satunya elemen yang terdengar jelas sosoknya adalah voice nada-nada pentatonis yang dilantunkan oleh pesinden.

Itulah bagian pembuka Tari Topeng, komposisi yang melebur jazz dengan elemen tari topeng Cirebon karya Dwiki Dharmawan. Pemain kibor kelompok jazz Krakatau ini membawakannya di Teater Salihara, Jakarta Selatan, Sabtu dua pekan lalu. Dia didukung oleh Adi Dharmawan (bas), Titi Aksan (drum), Eugene Bounty (klarinet, saksofon alto), Donny Kuswinarno (saksofon tenor/flute), Enggar Widodo (trombon/tuba), Bang Sa’at (suling), Ade Rudiatna (kendang), dan Peni Candra Rini (voice). Penarinya adalah Uum Sumiati (Umi), lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Ada pula dua musisi tamu, yakni Pra Budi Dharma (gitar) dan Demas Narawangsa (drum).

”Tari topeng, menurut saya, mengandung unsur yang lebih daripada sekadar gesture. Di situ ada detail, misalnya getaran jari-jari, yang lebih kuat dalam mengekspresikan karakter dan emosi,” kata Dwiki mengenai alasannya memilih topeng.

Detail dalam ekspresi boleh dibilang juga merupakan karakter khas jazz, lewat improvisasi. Dwiki sebenarnya sudah pernah mengeksplorasinya ketika berkolaborasi dengan penari Didik Nini Thowok di Beijing Concert Hall, Beijing, Cina, pada Oktober 2007. Waktu itu Didik menampilkan kreasi tari topengnya yang sudah sering dia pentaskan, Dwimuka. Tapi Dwiki melihat elemen yang lebih subtil dalam topeng Cirebon. Untuk mengakomodasi hal itu, sebagai komposer, dia hanya memberikan garis besar apa yang dia inginkan kepada para pemusik. Tidak ada notasi yang memperinci instrumen apa memainkan apa, juga berapa lama. ”Partitur boleh ditinggalkan, main dengan hati,” katanya.

Untuk telinga yang tak biasa, komposisi seperti itu tentu bukan sesuatu yang mudah. Maka, Dwiki membuka pementasan karya eksperimennya, yang lahir dari kegelisahannya memperhatikan betapa seragam musik di tempat-tempat umum, dengan sejumlah komposisi yang ”normal”. Pertunjukan yang dimulai sekitar pukul 20.15 itu dibuka—sedikit merupakan kejutan, karena para musisi masuk dari pintu utama gedung seraya memainkan instrumen masing-masing—dengan Malem Minggu. Inilah lagu lama yang dipopulerkan oleh Benyamin Sueb.

Seperti pada nomor-nomor berikutnya yang umumnya bersuasana riang, Dwiki dan kawan-kawan sengaja hendak menunjukkan bahwa apa saja sebenarnya bisa menjadi jazz. Atau, jazz juga bisa mengadopsi apa saja.

Selama sejam lebih, pada bagian improvisasi di setiap nomor, mereka hilir-mudik, dari swing hingga format jazz yang lebih modern seperti fusion, dengan interplay permainan solo setiap instrumen yang menawan, serta (ini yang sangat terasa) tekstur lokal yang pepat. Misalnya ketika mereka memainkan Arafura, nomor ketiga. Penampilan drummer muda Demas Narawangsa, yang menggunakan susunan kendang pada perangkat drumnya, menguatkan tekstur itu. Pada The Spirit of Peace, nomor kelima, dengan penampilan Peni yang sayang terganggu oleh bisunya mikrofon, mereka dengan dinamis mengeksplorasi elemen Timur Tengah (yang bagian tertentunya, dengan irama ala Samba, mengingatkan orang pada Spain karya Chick Corea).

Pra Budi Dharma lalu tampil menjadi jembatan yang menghubungkan bagian ”prakondisi” itu dengan Tari Topeng, yang mengisi sekitar sepertiga bagian terakhir dari pertunjukan dua jam itu. Pembetot bas Krakatau ini memainkan instrumental bertempo pelan dalam nada minor dengan teknik arpeggio pada gitar akustik elektrik. Satu per satu, para musisi, yang mengenakan topeng, juga penari, mengambil posisi di panggung.

Menurut Dwiki, fragmen tarinya bercerita tentang perjalanan hidup manusia dari lahir hingga tutup usia. Sang penari yang sekaligus merupakan koreografernya, Umi, menggunakan tiga jenis topeng yang mewakili tahapan hidup itu, yakni Panji, Rumyang, dan Kelana. Masing-masing topeng, dengan warna putih, merah jambu, dan merah tua, merupakan gambaran mengenai kesucian manusia yang baru lahir, masa akil balig, dan saat angkara murka mulai timbul.

”Sebenarnya bisa juga dengan empat topeng. Tapi tiga topeng itu sudah cukup (mewakili perjalanan hidup manusia), juga sesuai dengan waktu yang ada,” kata Umi.

Untuk membedakan koreografinya dengan tari topeng Cirebon yang asli, di samping hanya mengambil esensi gerakan dan pola pertunjukannya, Umi sengaja memilih dua macam warna untuk kostum, putih dan hitam. Alasannya, biar kontras dengan kostum aslinya, yang lebih berwarna-warni. ”Tapi dengan pengemasan seperti itu pun masih ada yang merasa belum sepenuhnya lepas dari identitas tari Cirebon,” katanya.

Gerakan tari Umi yang sebenarnya menjadi sentral dari pertunjukan. Boleh dibilang, seperti kata Dwiki, Umilah yang memimpin para pemusik mau bagaimana dan hendak ke mana dengan instrumen masing-masing. Misalnya saat pergantian topeng; ketika Umi menampilkan topeng merah, musik tiba-tiba bergerak cepat, mengentak, cenderung chaotic, dengan volume yang lebih kencang. Tidak langsung, memang. Sebab, ”Saya yang menghubungkannya dengan para pemusik,” kata Dwiki. Umi punya kode khusus untuk itu, misalnya memberi tanda jempol. ”Itu biasa dalam pertunjukan tradisional,” kata Umi.

Dengan ”modus” seperti itu, durasi komposisi musiknya bisa lebih panjang atau lebih pendek. Pada pementasan yang pertama kali, dalam acara Festival Schouwburg VII di Gedung Kesenian Jakarta tahun lalu, mereka bermain hingga 30 menit. Di Salihara, pementasan ketiga, hampir sama lamanya. Menurut Umi, semakin lama durasi pementasannya, dia harus lebih banyak berimprovisasi. Tuntutan yang sama juga berlaku bagi para pemusik. Fleksibilitas ini menuntut kesiapan yang harus terus terjaga. Latihan dan pertunjukan yang lebih banyak masih diperlukan. ”Banyak yang berpendapat, ini masih bisa dikembangkan,” kata Umi.

Dwiki mengakui hal itu. ”Ini memang karya yang belum sempurna. Kami malah merasakan pengalaman yang berbeda di setiap penampilan,” kata Dwiki. ”Dan di situlah menariknya.”

Yang lebih penting, sebenarnya: itulah tanda bahwa masih terbuka lebar kemungkinan lain yang bisa dieksplorasi. Bagi Dwiki, yang sudah bereksperimen memadukan jazz dengan musik tradisional bersama Krakatau sejak 1993 dan merasa harus terus berkreasi, ini tentu tantangan yang mengasyikkan.

Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus