Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tragis, tanpa haru

Penata tari: s. kardjono penyusun dialog: aries mukadi dan tembang: s. kardjono produksi: jaya budaya.(tr)

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRIDO LANGEN SWORO RONGGOLAWE Penata tari: S. Kardjono Penyusun dialog & tembang: Aries Mukadi dan S. Kardjono Produksi: Jaya Budaya ARENA menjadi remang-remang. Ronggolawe, Adipati Tuban, berdiri tegak sambil berpeluk tangan di bawah sorotan lampu. Dia ragu. Kebo Anabrang, salah seorang senopati Majapahit, menantangnya berkelahi di dalam air. Dia tahu, ini pantangannya. Ia pun lantas teringat impian isterinya, kemudian di bagian belakang arena, di belakang para pemukul gamelan, dilihatnya Dewa Yamadipati -- dewa kematian. Ia pun mengerti. Tetapi sebagai prajurit ia pantang mundur, meski kematian sudah jelas di hadapannya. Adegan paling bagus dari Krido Langen Sworo Ronggolawe ini, 10- 13 November di Teater Arena TIM, toh kurang mengharukan. S. Kardjono, 39 tahun, penata tari pementasan Jaya Budaya kali ini -- sekaligus memerankan Ronggolawe -- agaknya kurang mempersiapkan adegan-adegan sebelurnnya, sehingga tidak mendukung adegan yang seharusnya menjadi klimaks. Konflik tak terasa. Baik ketika Ronggolawe harus memutuskan melayani tantangan Kebo Anabrang atau tidak. Maupun ketika dia menghadapi pendapat isteri-isterinya, juga Wirorojo, ayahnya, yang mencegahnya meneruskan tindakannya. Konsep Kardjono memang menciptakan Ronggolawe yang berjalan lurus, tanpa pertentangan batin. Sehabis, pementasan malam pertama, katanya kepada TEMPO: "Tokoh Ronggolawe bagi saya adalah tokoh yang tak pintar bicara. Ia polos." Drama tari ini mencoba memberi tempat pada tembang dan dialog tanpa menyisihkan tari. Sayangnya, kecuali Kardjono, Kies Slamet (sebagai Kertarejasa) dan Sal Murgiyanto (sebagai Tosan) pemain lain tidak memiliki suara bagus. Padahal, "ekspresi lebih kena kalau ditembangkan oleh penarinya sendiri daripada ditembangkan oleh waranggana," kata Kardjono, menjelaskan mengapa ia memilih Langen Sworo (olah suara). Isyarat Kematian Yang agak sayang ialah bahwa tembang-tembangnya kurang membentuk suasana di arena. Dalam adegan pembuka saja, kehadiran Ronggolawe di Majapahit terasa tiba-tiba. Dan begitu cepat, kemudian perdebatan berlangsung di hadapan Raja Kertarejasa: sudah pantaskah Nambi diangkat menjadi Patih Kerajaan. Dan begitu cepat pula Ronggolawe meninggalkan paseban tanpa pamit. Semuanya berjalan hampir tanpa sentuhan ke dalam "rasa". Tapi mungkin karya Kardjono memang tidak dimaksudkan ekspresif melainkan --seperti lakon tradisional wayang orang - semata-mata naratif. Dan seperti sikap pementasan tradisional, perpindahan yang cekatan, tempo yang tinggi serta suspens kurang penting dibanding dengan tertampungnya sebanyak mungkin unsur bercerita. Adegan di Keputrian Kadipaten Tuban, bagi sementara penonton mungkin terasa lepas, seperti tak ada hubungannya dengan adegan sesudah maupun scl elumnya. Tapi, "adegan itu untuk lebih menggambarkan watak Ronggoldwe -- bagaimana ia tetap mementingkan negara daripada isteri-isterinya," kata Kardjono. Unsur yang memperjelas itu sayang tak begitu tergambarkan dalam sikap tanggap Ronggolawe. Ketika isterinya menceritakan impian yang mengisyaratkan kematian, duduk Ronggolawe nampak kurang "gawat". Tapi mungkin, sekali lagi, di sini yang ekspresif tidak dibutuhkan. Kardjono kurang memuaskan bagi mereka yang menghendaki puisi atau pun drama watak atau konflik psikologis. Dengan kata lain, bagi yang terbiasa dengan dinamiknya tari dan drama "modern", tokoh Ronggolawenya agak datar dan tragedinya agak "enteng". Tapi Kardjono mungkin punya referensi lain, yang lebih dekat kepada wayang orang seperti yang kita lihat sewaktu anak-anak. Ini jelas misalnya dalam adegan dua punakawan Ronggolawe. Humor mereka cukup kita kenal, dan karenanya mungkin tidak segar. Peran mereka sebagai penasihat juga konvensional. Tanpa intensitas seperti banyak aktor pemain Ki Lurah Semar yang unggul, kedua punakawan malam itu jadinya sekedar selingan beristirahat. Ini pun lazim, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus