SEBUAH tongkang aneh terapung 500 m di lepas pantai Keahole
Point, Hawaii. Dulu hanya mengangkut barang keperluan angkatan
laut Amerika Serikat, tongkang sebesar 268 ton itu kini menjadi
sebuah pembangkit listrik yang dinamakan Mini-OTEC (Ocean
Thermal Energy Conversion). Nama ini menunjukkan bahwa ia
bekerja menggunakan energi potencial yang terdapat dalam
perbedaan suhu dua lapisan air laut. Prinsip ini diusulkan
pertama kali pada abad yang lalu oleh Jaques d'Arsonval, ahli
fisika Perancis.
Tahun 1920, hampir 40 tahun kemudian, seorang muridnya bernama
Georges Claudes membuat sebuah pembangkit berdasarkan prinsip
ini di lepas pantai Kuba. Claudes menggunakan air laut langsung
sebagai cairan "kerja", yang menyebabkan ia terbentur bermacam
problem teknologis, sehingga eksperimennya tidak diteruskan.
Mempergunakan teknologi lebih maju di tahun 50-an, sebuah
perusahaan Perancis sekali lagi mengulang percobaan Claudes.
Kali ini di lepas pantai barat Afrika, tapi juga proyek ini
menemui kegagalan.
Kini prototip di perairan Hawaii tampak berhasil. Proyek ini
dilaksanakan bersama oleh Lockheed Corporation (dengan
Alfa-Laval dari Swedia). Dillingham Corporation dan pemerintah
negara-bagian Hawaii. TEMPO memperoleh keterangan tentang
Mini-OTEC ini dari manajer proyek Hank White.
Metode ini menghasilkan energi dengan memanfaatkan perbedaan
kecil (20ø C antara suhu air laut di permukaan yang hangat dan
suhu lapisan air di bawah yang dingin. Menurut sejumlah
peneliti, potensi yang terkandung dalam panas air laut ini akan
mampu menyediakan terus-menerus 200 kali kebutuhan energi dunia
pada tahun 2000.
Di wilayah tropis suhu permukaan air laut tidak pernah berkurang
dari Z5ø C, biarpun malam hari. Karena itu pembangkit listrik
panas laut bisa beroperasi terus-menerus selama 24 jam sepanjang
tahun. Lokasi terbaik untuk ini terdapat dalam jalur selebar
2.700 km, sepanjang khatulistiwa. Antara lain wilayah perairan
Indonesia termasuk ideal untuk proyek semacam ini.
Pada hakekatnya pembangkit listrik semacam ini tidak jauh
berbeda dengan prinsip mesin uap yang menggunakan air sebagai
cairan "kerja". Air ini oleh sumher panas seperti pembakaran
minyak, gas, batubara atau kayu diubah menjadi uap yang kemudian
dapat memutarkan turbin dan generator listrik. Uap air yang
terpakai kemudian dicairkan kembali dalam unsur pendingin mesin
itu untuk dipergunakan lagi.
Cairan "kerja" dalam Mini-OTEC adalah amoniak. Karena titik
didihnya rendah (20ø C), amoniak ini dapat diubah menjadi uap
oleh suhu air permukaan laut (25ø - 27ø C). Berbeda dengan uap
air, uap amoniak sangat padat hingga permukaan daun turbin tidak
perlu terlalu luas. Setelah memutarkan turbin dan generator, uap
amoniak ini dicairkan kembali dengan suhu air dari dalam laut
(7øC), dan kemudian dipergunakan lagi.
Amoniak itu dialirkan dalam suatu saluran tertutup. Satu
ujungnya bersentuhan dengan air laut yang hangat, dan satu lagi
dengan yang dingin. Saluran penukar panas ini merupakan problem
teknologis utama, karena ia selalu harus bersentuhan dengan air
laut. Karena itu bahannya harus tahan karat tapi dengan daya
serap panas yang tinggi. Selain itu ia harus tahan pula terhadap
pencemaran oleh tritip dan kerang laut.
Problem teknologis kedua adalah pembuatan pipa penyedot air
laut dingin dari kedalaman 1.000 meter lebih. Volume air yang
dipergunakan sebuah pembangkit berkapasitas 100 mw, misalnya,
bisa mencapai 500 sampai 800 m3 per detik. Untuk menampung ini
pipa sepanjang 1 km harus berdiameter minimal 15 meter.
Suatu penelitian -- yang dilakukan 2 perusahaan Amerika Serikat
mulai tahun 1974 atas prakarsa dan biaya suatu badan resmi AS
untuk penelitian dan pengembangan energi (ERDA) -- menunjukkan
bahwa per kilowatt listrik yang dibangkitkan dengan tenaga
nuklir atau batubara masih lebih murah dibanding dengan tenaga
panas laut. Tapi seorang profesor dari Carnegie-Melton
University, Clarence Zener, berpendapat bahwa selisih harga itu
masih akan dapat diturunkan dengan perbaikan teknik pembuatan
unsur penukar panas, unsur yang paling mahal. Kebanyakan
peneliti sependapat dengan Zener, tapi karena teknologi
pembuatan unsur penukar panas bersuhu rendah masih relatif baru,
ia merupakan tantangan utama dalam monanggulangi teknologi
pembangkitan listrik dengan panas air laut.
Rp 15 Milyar
Semua gagasan liemudian terwujud dalam prototip di llawaii itu
yang semata-mata bertujuan memantapkan penelitian di bidang
teknologinya, daya tahannya dan ongkos operasinya. Di atas
tongkang yang berukuran 40 x 10 meter, Mini-OTEC ini menggunakan
unsur penukar panas buatan Alfa-Laval dengan turbogenerator
buatan Rotoflow. Untuk menghasilkan 50 kw, Mini-OTEC membutuhkan
170 air laut hangat per detik (26ø - 27ø C) dan menyedot
sebanyak itu pula air dingin (7ø C). Air dingin itu disedot ke
atas melalui pipa sepanjang 660 meter yang berdiameter 60 cm dan
terbuat dari polyethylene berkepadatan tinggi. Pipa ini
sekaligus dimanfaatkan sebagai unsur pengukuh sistem
penjangkaran.
Dengan skala ini efisiensinya tentu sangat rendah. Dari 50 kw
yang dihasilkannya, 40 kw dipergunakan oleh peralatan Mini-OTEC
sendiri. Hanya 10 kw sisanya yang bisa "dijual". Tapi jelas
ratio ini berubah dengan skala lebih besar, misalnya, pembangkit
yang menghasilkan 100 mw.
Berbeda dengan kesimpulan studi kelayakan oleh peneliti di AS,
para ahli Perancis berpendapat bahwa harga listrik per kilowatt
lewat sistem pengolah panas laut akan dapat bersaing dengan yang
dihasilkan tenaga nuklir atau batubara. Berdasarkan ini Perancis
kini sedang membangun sebuah pembangkit tenaga panas laut dengan
kapasitas 3 mw di laut kepulauan Tahiti. Proyek ini diharapkan
selesai menjelang tahun 1984 dan direncanakan menelan biaya
sebesar 100 juta Franc (Rp 15 milyar).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini