Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Makin banyak kursi kosong

Kini, nasib perkumpulan-perkumpulan wayang orang mengalami masa pahit. ada yang menduga, jenis wayang ini kalah bersaing dengan bioskop. di yogya orang senang kalau pertunjukan dilakukan di kampung-kampung & tidak membayar.(hb)

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMLAH penonton masih bisa dihitung dengan jari tangan, walau jam pertunjukan sudah harus dimulai. Penjual karcis duduk mengantuk menanti pembeli yang tetap sepi. Penyobek karcis berwajah suram tanpa tenaga. Sambil mengintip lewat layar, satu dua orang anak wayang mencoba mengintip ke tempat penonton: kursi-kursi masih kosong melompong. Gending Kodok Ngorek yang mencoba memberi warna pada suasana suram itu tidak sepenuhnya berhasil. Itu adalah pemandangan pada pertunjukan Wayang Orang Taman Hiburan Rakyat Sasana Suka Yogya. Sehingga tidak jarang, FX Kusnadi (44 tahun) yang memegang peran tetap sebagai Gatotkaca harus "berkelahi" dengan perut keroncongan. "Bayangkan," sahut isterinya, "satu kali main, dapat uang makan Rp 50 saja." Itu kalau main. Empat tahun terakhir ini mereka hanya bisa main tiga kali seminggu. Bahkan tidak jarang, cuma dua kali seminggu. Harga karcis untuk turis asing Rp 750 dan untuk penonton lokal cukup bayar Rp 300 di barisan depan dan Rp 100 kelas belakang. "Penghasilan tiap malam kami bagi rata," kata Kusnadi lagi. Seluruh personal ada 60 orang, termasuk tukang sapu, yang jadi Arjuna atau yang jadi Kreshna, niyaga dan pesindennya. Jadi kalau penghasilan dari jual karcis cuma Rp 3.000, dibagi 60, tentu saja terus menjawab teka-teki Rp 50 seperti dikatakan Kusnadi tersebut. Grup wayang orang di Taman Hiburan Rakyat (THR) ini pecahan dari grup Cipto Kawedar di Sala. Grup yang tadinya keliling kota ini pada 1972 menetap di Yogya, setelah Walikota Yogya (waktu itu Sujono AY ) menjanjikan perumahan, ditambah subsidi keuangan dan bangku sekolah untuk anak-anak grup yang jumlahnya saat itu ada 70 orang. Penonton 40% Memang mereka mendapatkan hak-hak tersebut. Rumah cukup menempel di sekitar dinding gedung pertunjukan. Grup yang masih bujangan boleh tidur di mana saja: di panggung, di bangku penonton, sejadi-jadinya. Memang ada sumbangan dari Pemda, tetapi jumlahnya hanya Rp 62.500/bulan - kalau dibagi rata masing-masing mendapat Rp 1.000. Tidak jelas bagaimana cara mengatasi sewa gedung Rp 3.000/bulan, pemeliharaan gedung, kostum dan urusan lainnya. Masa pahit juga dialami oleh grup Ngesti Pandawa dari Semarang. Masa puncaknya (1952 - sekitar 1970) telah hilang. Kursi diisi penonton paling banter sekitar 40% saja, kecuali malam Minggu atau kalau ada pengunjung dari luar kota yang melancong ke Semarang. "Walaupun begitu, kami tidak melihat adanya tanda-tanda bakal tutup," kata Kasido Gitosewoyo yang paham betul akan manis pahitnya grup wayang orang ini. Gitosewoyo -- yang pernah jadi dalang kesayangan Bung Karno -- tidak melihat ketidak-setiaan anggota grup. Dia memberi alasan keterikatan yang berupa fasilitas perumahan dan pembiayaan uang sekolah untuk anak-anak dari anggota grup. Biaya sekolah ini hanya sampai tingkat menengah pertama saja, biarpun "Ngesti Pandawa seperti kebo kabotan sungu," kata Gitosewoyo. Beban yang berat dengan pemasukan yang tidak seimbang itu mengakibatkan telah dijualnya sebidang tanah milik Ngesti Pandawa kepada sebuah toko batik. Gratisan Selain itu," sambung Gitosewovo "anggota grup merasa lebih terpangil oleh jiwa seni mereka." Tapi diakui juga jika uang masuk lebih banyak para pemain lebih bersemangat, lebih kreatif dan mutu terus nomor wahid. "Tetapi dengan teknik yang bagaimanapun" kata Hardjosuman, sesepuh wayang orang Sri Wanita yang kini jadi lurah di salah satu desa di Kabupaten Semarang, "wayang orang sulit bersaing dengan bioskop." Tahun 1950, Kota Semarang hanya mempunyai 9 buah bioskop. Jumlah ini sudah lipat dua sekarang. "Jadi faktor laku tidaknya, menentukan juga hidup matinya kami," ujar Gitosewoyo. Nama Ngesti Pandawa resmi didirikan pada 1937 oleh Almarhum Sastrosabdo. Semula hanya grup keliling. Tahun 1948, mendapat tawaran main di Pekan Raya Semarang. Empat tahun berikutnya, berhasil menetap di gedung GRIS, Jalan Pemuda, hingga sekarang. Namanya melambung ketika wayang orang ini adalah satu-satunya tontonan yang dianggap mempunyai teknik tinggi waktu itu. Sastrosabdo misalnya menemukan "alat malihan" raksasa untuk merubah wujudnya menjadi kesatria dalam sekejap. Alat ini berupa permainan lampu sorot yang cepat dan rapi. Juga untuk adegan rampogan, yaitu iring-iringan suatu perjalanan, Ngesti Pandawa berhasil menyajikan kereta kencana untuk sang raja, gajah-gajahan, kuda-kudaan yang cukup mengesankan. Dengan iringan gending disertai suara seruling, genderang, tentara yang bersenjatakan tombak, pedang dan tameng, suasana panggung cukup semarak. "Kekhasan tersebut kemudian ditiru oleh banyak grup wayang orang lainnya," ungkap Gitosewoyo. Setelah tahun 1970-an, pengunjung banyak sekali berkurang. "Karena itu, biar bagaimanapun, kami tak bisa bersaing dengan bioskop," sambung Gitosewoyo lagi. Di Semarang kini hanya tinggal 3 grup wayang. Ngesti Pandawa, Sri Wanita dan Wahyu Budaya. Dua yang terakhir agaknya lebih parah dibanding Ngesti Pandawa, walaupun Wahyu Budaya telah disubsidi oleh THR Tegalwareng. Yang sedang bernasib baik ialah grup wayang orang Sriwedari di Sala. Bulan lalu telah diumumkan bahwa dengan SK Presiden 9 Mei 1979, telah keluar sumbangan Presiden Soeharto sebanyak Rp 50 juta. Uang ini untuk pemugaran gedung wayang orang tersebut setelah beberapa waktu lalu mengirim surat meminta sumbangan kepada Kepala Negara. Sementara itu ketoprak di THR yang sama (Sriwedari) lama sudahamblas. Tahun lalu, Teguh dari Yayasan Sri Mulat telah mendirikan ketoprak di Bale Kambang, bagian lain dari Kota Sala. Menurut pengakuan Teguh, ia telah melemparkan modal sebanyak Rp 50 juta untuk mengganti wajah Bale Kambang jadi tempat remang-remang sarang tuna-susila kelas ratusan rupiah seperti sekarang. Ketoprak Teguh yang memakai nama Tjokrodjijo ini di bulan-bulan pertama memang cukup padat penonton. Kini paling banter mereka cuma bisa mengumpulkan pendapatan sekitar Rp 10.000 tiap pertunjukan. Ketoprak Teguh memang tidak memakai sistim primadona. Padahal Sriwedari masih mempunyai bintang kesayangan penonton yang bernama Rusman, Surono dan Darsi. Yogya, mempunyai beberapa grun wayang orang dan ketoprak. Ada ketoprak Bagong Kussudiardjo. Di Gedongkiwo ada wayang orang siang hari. Di Keben, dekat Tamansari selalu terpampang dalam bahasa Inggeris Ramayana ballet, now showing. Tapi pertunjukan itu semuanya untuk suguhan turis asing. Kabarnya kini melorot jumlahnya. Biarpun Pemda Yogyakarta lebih memfokuskan perhatiannya pada Ramayana, dan karcis dijual Rp 1.000 untuk pertunjukan sekitar 2 jam saja, toh nasib pemainnya masih menakjubkan. Yaitu hanya Rp 2 00 untuk tiap kali main -- karena sumbangan Pemda dan hasil penjualan karcis, harus dipotong untuk promosi dan komisi. Perkumpulan Kampung Atau penduduk Yogya sudah tidak senang wayang? Alasan ini tidak benar. Wayang kulit maupun wayang orang, tetap digemari. Bahkan masih menjadi falsafah hidup mereka. Tetapi rupanya mereka tidak biasa nonton wayang dengan membayar, dengan tempat duduk yang rapi dan interior yang terlalu mewah. Dan kenyamanan penonton menyebabkan pula harga karcis yang lebih mahal. Yang lebih mengasyikkan mereka adalah pertunjukan wayang di kampung-kampung, di tempat orang punya haat. Tentu gratis. "Membantu atau memberi subsidi agak susah, karena itu wewenang Pemda," tukas Kasim Achmad (44 tahun), Kepala Sub Dit Seni Teater Film dan Sastra, Direktorat Pembinaan Kesenian, Departemen P&K. Tambahnya: "Paling banter bantuan secara insidentil." Sydney Jones dari Ford Foundation memberikan beberapa saran untuk menggalakkan kembali seni tradisional semacam wayang orang. Bukan hanya dari beberapa badan swasta (dan Ford telah membantu AS$ 100.000 untuk hal ini lewat ayasan Seni Tradisional), tetapi juga dari pribadi-pribadi dermawan. "Yang kaya cukup banyak di Indonesia," kata Jones, "tetapi yang dermawan dan berminat dalam bidang ini yang jarang." Ucapan Jones ini mengingatkan akan riwayat wayang orang Sri Wanita di Semarang Grup ini pada mulanya hanya berwujud perkumpulan kampung saja. Tahun 1935 seorang bernama Tan Liong Kwie menang lotre. Uang ini oleh Liong Kwie digunakan untuk mendirikan gedung. Pertunjukan dikomersialkan. Mengalami nasib duka sepeninggalnya Liong Kwie, grup ini telah berpindah gedung berkali-kali. Kini dikelola oleh para purnawirawan dengan nama PT Seni Sanggar Budaya "Sri Wanita". Karena tidak juga menemukan dermawan lain, napas Sri Wanita tentu saja seperti para pensiunan itu juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus