Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jalan Berbeda Louise dan Dzikra

Henryette Louise dan Dzikra Afifah menemukan nilai artistik melalui kerja studio walaupun bekerja melalui material berbeda.

19 Mei 2024 | 00.00 WIB

Pengunjung melihat karya-karya pameran Troublemaker Doppelganger di Orbital, Bandung, Jawa Barat, 26 April 2024.  TEMPO/Prima Mulia
Perbesar
Pengunjung melihat karya-karya pameran Troublemaker Doppelganger di Orbital, Bandung, Jawa Barat, 26 April 2024. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Henryette Louise berduet dengan Dzikra Afifah di Galeri Orbital Dago, Bandung.

  • Kedua seniman itu saling terpengaruh dalam proses pembuatan karyanya meskipun materialnya berbeda.

  • Tema “Troublemaker Doppelgänger” adalah pencarian masalah oleh kedua seniman itu untuk dipecahkan. 

ANEKA patung keramik bersosok tubuh manusia dipajang menyebar. Selain polos tanpa warna mengkilat, bentukannya terkesan ganjil. Pada karya berjudul Umwelt 1 misalnya, beberapa kepala dengan wajah yang agak samar berdempetan tanpa lengan. Tubuhnya kasar seperti bermandi lumpur. Begitu pula pada sesosok perempuan setengah badan dalam karya Umwelt 2 yang kedua lengannya terpotong kasar. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Adapun pada seri karya I Like to Dress Up 1 dan 2, sebentuk tubuh perempuan berwarna hitam terbagi dua. Bagian pertama dari kepala dengan wajah menengadah hingga perut. Sedangkan bagian kedua adalah sepasang kaki dari paha sampai ujung jari. Tusukan dan gantungan peniti memenuhi sekujur permukaan patung. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Di ruangan yang sama, patung-patung keramik itu bersanding dengan karya seni grafis bernuansa hitam-putih. Gambar-gambarnya, yang memadukan figur manusia dan hewan serta sosok ganjil lainnya dalam suatu peristiwa, menampilkan narasi tanpa teks yang bisa diketahui sedikit atau ditebak-tebak dari judulnya. Misalnya Practical Magic, Mokhsa, Domba Aduan, Beras Wutah, ataupun Perebutan Parit

Tanpa kurator, pameran kekaryaan terbaru seniman Henryette Louise yang berduet dengan Dzikra Afifah itu digelar di Galeri Orbital Dago, Bandung, Jawa Barat. Bertajuk Troublemaker Doppelgänger, pameran itu berlangsung pada 24 April-26 Mei 2024. “Karyanya berupa patung keramik dan cetak grafis di atas plaster,” kata pengelola dan pemilik galeri, Rifky Effendy.   

Dzikra Afifah dan Henryette Louise. orbitaldago.com

Menggarap karya di studio yang dipakai bersama, kedua seniman lulusan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung itu mengaku saling terpengaruh dalam prosesnya. Namun, dengan jalannya masing-masing, Lousie, 43 tahun, menjajal material dan teknik baru dalam pembuatan seni grafisnya. Sedangkan Dzikra, 26 tahun, menikmati proses pembuatan keramik dari tanah liat yang digelutinya sejak berkiprah sebagai seniman pada 2018.

Dalam pembuatan keramik, seniman biasanya harus melalui proses panjang. Setelah membuat model, kemudian dicetak. Model tanah liat, menurut Dzikra, biasanya hancur setelah hasil cetakannya menjadi karya. Bagi dia, dari proses itu, tahapan yang menarik adalah ketika bahan yang digunakan bersentuhan langsung dengan tangannya. “Jadi, model itu yang saya jadikan karya, bukan hasil cetakannya,” ujar seniman bertitel master setamat S-2 dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 2023 itu.

Cara itu sebenarnya bukan praktik baru. Di dunia seni rupa, khususnya pada konvensi seni patung, kata Dzikra, metode itu lazim digunakan untuk mengawetkan model patung. Misalnya ketika seniman membuat model yang kecil untuk membangun karya patung monumen. “Selama ini pendekatan aku praktik patung dengan medium keramik,” ujarnya, Sabtu, 4 Mei lalu. 

Dalam karya Dzikra, tanah liat yang semula plastis dengan potensi merespons segala tempaan yang diterimanya terkesan tidak seluruhnya pasif. Material itu seakan-akan memiliki daya hidup ketika dibentuk dan menghasilkan deformasi yang bersifat destruktif akibat karakteristik tanah liat. 

Misalnya, kata dia, ukuran yang menyusut ketika kadar air dalam tanah liat menguap dan retakan-retakan ketika setiap bagian dalam tubuh karya tidak kering secara bersamaan. Dalam proses pengerjaannya itu, muncul dua kekuatan yang bekerja. “Saya yang membentuk dan medium (tanah liat) yang mendestruksi.” 

Karya Dzikra Afifah berjudul Leather Weather 1 pada pameran Troublemaker Doppelganger di Orbital, Bandung, Jawa Barat, 26 April 2024. TEMPO/Prima Mulia

Tubuh-tubuh dalam karya Dzikra memposisikan dirinya sebagai sesuatu yang rentan dan ringkih. Wujud patungnya yang proporsional lebih menonjolkan gerak tubuh dari mediumnya, yaitu keramik, ketimbang gestur manusia. Kekaryaan patungnya itu pun menjadi gestur simbolis dalam menyikapi realitas kehidupan manusia sekarang. Secara bertahap pula Dzikra mengurangi wujud manusia yang sebelumnya muncul dengan sosok perempuan atau anak-anak.

Adapun Louise menjadikan medium karyanya untuk mengungkapkan perasaan dan menyampaikan sesuatu yang tidak hanya bisa dilihat. Selama enam tahun belakangan ini, ia menggeluti kembali seni grafis. “Khususnya etsa dan drypoint,” kata dia. 

Cintanya terhadap seni grafis makin kuat setelah mendapat kesempatan mengikuti residensi seniman dari Lawangwangi Creative Space, Bandung, pada 2023. Louise berguru di Devfto Printmaking Institute Ubud, Bali, yang didirikan seniman asal Bandung, Devy Ferdianto. Di sana, Louise mengasah kemampuannya berkarya grafis dengan bahan kertas.

Pada karya terbarunya yang dipamerkan sekarang ini, Louise menggunakan bahan baru, yaitu plaster sebagai pengganti kertas. Dia membuat sendiri lembaran plaster yang dibentuk dari adonan bubuk gipsum dengan takaran yang pas. Jika kekurangan atau kelebihan air, plaster menjadi gagal menyerap gambar yang telah disiapkan Louise dengan teknik drypoint untuk dicetak. “Kecepatan atau terlalu lama diangkat, gambar juga bisa gagal dicetak pada plaster,” ujarnya.

Karya Henryette Louise berjudul Hongwilaheng pada pameran Troublemaker Doppelganger di Orbital, Bandung, Jawa Barat, 26 April 2024. TEMPO/Prima Mulia

Karena itu, bagi Louise, pemilihan material dan penguasaan teknik menjadi faktor penting. Pilihan pada bahan plaster terkait dengan waktu lampau, termasuk soal kebudayaan yang berubah. Lewat kekaryaannya itu juga ia mengangkat mitos-mitos yang diserapnya sejak kecil. “Karya itu menjadi ledakan dari kenangan masa lalu yang tidak disadari.”  

Kedua seniman itu memamerkan karya masing-masing dengan karakter serupa, yaitu menemukan nilai artistik melalui kerja studio. Walaupun bekerja melalui material yang berbeda, keduanya mengembangkan bentuk-bentuk dari ingatan dan pengalaman tanpa bingkai konsepsi yang telah dicanangkan lebih dulu. 

Keterbukaan terhadap ketidakpastian selama proses berkarya menjadi faktor yang menentukan perilaku serta keputusan artistik seniman sehingga berdampak pada bentuk, struktur, konsep, hingga konteks yang terbangun. Judul Troublemaker Doppelgänger pada pameran ini menggambarkan pencarian masalah yang dilakukan kedua seniman itu untuk dipecahkan. 

Adapun arti istilah doppelgänger menurut beberapa sumber adalah pantulan diri seseorang dengan melihat dirinya sendiri secara langsung tanpa melalui pantulan cermin atau bayangan. Kekaryaan yang dibuat menjadi pantulan fisik dan pikiran Dzikra serta Louise selama berkutat di studio tempat mereka bekerja.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Anwar Siswadi (Kontributor)

Anwar Siswadi (Kontributor)

Kontributor Tempo di Bandung

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus