Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tatkala seorang juru foto membuat foto-foto telanjang, apa kesan yang hendak dia berikan. Pertanyaan itu hendak kita ajukan kepada Nico Dharmajungen, yang saat ini tengah memamerkan tiga seri karya foto telanjang di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Untuk karyanya yang dipamerkan sepanjang Maret itu, Nico memberi judul "Tubuh dan Bentuk".
Tampak betul bahwa dia tidak ingin foto-foto yang terbagi dalam tiga seri ini menjadi pameran tubuh sempurna perempuan. "Tidak ada satu pun model profesional yang saya pakai," kata Nico kepada Tempo di warung kopi di Komunitas Salihara, dua pekan lalu. "Mereka adalah perempuan biasa yang mau difoto tanpa menuntut imbalan." Soal ada atau tidaknya imbalan, tak penting dalam perbincangan tentang foto-foto tersebut. Tapi, bahwa mereka bukanlah model, itu jadi penting," ujarnya
Nico menampilkan kewajaran. Memang, tidak ada tubuh-tubuh besar atau yang tak proporsional, tapi kita bisa dengan jelas melihat ketaksempurnaan. Ada selulit, perut yang ditahan (karena mungkin agak buncit), dan bulu ketiak yang tak dicukur. Firman Ichsan, salah seorang kurator pameran ini, menjelaskan bahwa Nico berupaya mengajak pemirsa masuk ke alam pikiran sang juru foto tentang tubuh, dan ke dalam dirinya sendiri. Yakni, tubuh (perempuan) yang, walau tak selalu ideal, tetap unik dan penuh misteri, dan dapat menghadirkan ribuan pertanyaan, dari pemilik karya ataupun pemirsa.
Untungnya, semua difoto dalam hitam-putih, sehingga banyak hal (seperti bekas luka dan gelombang selulit) tak terlalu mengganggu, meski kita bisa melihatnya jika diperhatikan betul-betul. Selain itu, menurut Firman, pemakaian warna hitam-putih memudahkan orang menikmati karya ini. "Ini membantu orang menikmatinya dalam perspektif lebih sederhana," katanya. "Karya ini menjadi wajar, jika tak ingin dikatakan indah," Firman menambahkan.
Tiga seri karya yang dipamerkan ini tak menampilkan wajah utuh. Alasan utamanya, keamanan para peraga. Dengan tak menampilkan wajah, tanggung jawab pemotretan seluruhnya ada pada juru foto. Tapi Nico—seperti halnya sejumlah fotografer di negeri bebas—punya alasan lain untuk cara yang ditempuhnya ini. "Dengan tak menampakkan wajah, fokus tetap ada pada tubuh," kata Nico. "Wajah adalah bagian dari manusia yang paling menyedot perhatian."
Ada tiga cara yang dia pakai untuk menyembunyikan muka. Pada seri pertama, Nico menggunakan benda yang cenderung kasar dan keras untuk menutupi wajah para model. Daun, rangkaian bunga, kayu berpaku, besi, dan kertas hadir begitu saja menutupi wajah dan area sekitarnya, tanpa bermaksud menjadi topeng. Meski beragam, semua obyek tambahan mendukung keinginan dia menampilkan kemuraman (juga keberingasan) pada seri ini. Tubuh yang sepenuhnya telanjang dipotret dengan otot mengejan (tidak rileks) di depan background gelap, bayangan keras.
Perupa Dolorosa Sinaga—dalam diskusi tentang foto tersebut—mengatakan kehadiran obyek-obyek itu membuat foto pada seri pertama terlihat seperti pameran seni instalasi. Mungkin ada benarnya, tapi itu tak ada salahnya, karena yang menjadi obyek utama tetaplah tubuh manusia.
Pada seri kedua, ketika misteri menjadi kata kunci, wajah disembunyikan lewat gerakan atau kain yang agak menerawang. Model bergerak yang dipotret dengan kecepatan rendah menghasilkan citra yang samar. Sedang dalam seri ketiga, Nico membuang wajah dengan mengeluarkannya dari frame. Bisa jadi sejak awal dia memotret foto tanpa wajah, tapi juga bisa ini hasil pemotongan (crop). Foto yang aslinya 4x5 inci kemudian dicetak dalam format bujur sangkar.
Berbeda dengan dua seri sebelumnya yang menampilkan tubuh secara polos, dalam seri ketiga—dengan model, yang tampaknya hanya seorang—memakai kemeja putih. Bidang fotonya bibir hingga dada. Dua kancing kemeja yang terbuka membuat kita bisa melihat belahan buah dada, tapi hanya itu. Dalam seri ini Nico benar-benar lembut. Warna yang dominan putih, bukan lagi hitam. Tak ada bayangan keras yang jatuh.
Foto-foto dalam pameran itu dapat kita kelompokkan dalam tiga seri dengan benang merah yang menyatukan setiap seri. Tapi ada juga foto yang keluar dari pengelompokan tersebut, yakni foto dua perempuan. Secara komposisi saja sudah berbeda. Tidak seperti foto lain yang hanya menampilkan satu model, foto ini menampilkan dua peraga.
Masuk ke seri pertama, kita tak menemukan obyek sebagai penutup wajah. Wajah kedua model itu—dan sejumlah anggota tubuhnya—dipotong, keluar dari bingkai. Para model tidak pula menegangkan otot atau diminta berpose tertentu hingga tubuhnya tampak menegang—seperti layaknya model dalam seri pertama. Tapi untuk digolongkan dalam seri kedua pun tak bisa karena tak ada gerakan atau kain transparan yang menutupi keduanya. Untuk masuk serial ketiga, lebih tak mungkin lagi.
Foto itu memang berbeda, sekaligus unik.
Walau tiap seri memiliki benang merah sendiri (kecuali foto dua perempuan itu), kita agak susah melihat kesatuan tema dari ketiga serial. Apa hubungan antara obyek penutup wajah dan kain transparan atau kemeja putih? Ini dapat dimaklumi, karena foto-foto ini dibuat dalam rentang waktu belasan tahun. Ada perubahan dalam diri juru foto, hingga fotonya pun berkembang.
Ini bukan kekurangan, bahkan merupakan kekayaan eksplorasi Nico tetang tubuh. Orang bisa mendapat kesan tentang kebrutalan pada foto-foto pertama, misteri pada serial kedua, dan keromantisan pada foto ketiga. Tapi orang mungkin tak menemukan kesan pengumbaran gairah seksual pada ketiga serial yang dibuat sejak 1990-an itu.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo