Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Untuk Bunda, Sahabat, dan Kekasih

Surat-surat adik R.A. Kartini mengungkap berbagai hal. Dari soal keluarga sampai cita-cita.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Untuk Bunda, Sahabat, dan Kekasih
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Surat-surat Adik R.A. Kartini Penyusun: Frits G.P. Jaquet Penerjemah: Mia Bustam Penerbit: PT Djambatan, Jakarta, 2005 Tebal: 307 halaman

Tak hanya Kartini yang seabad silam rajin berkirim surat kepada Nyonya Rosa Manuela Mandri Abendanon dan suami, tapi juga adik-adik pejuang emansipasi wanita Indonesia itu. Keluarga Abendanon telah menjadi sahabat, bunda, sekaligus "kekasih" tercinta keluarga besar Kartini. Roekmini, misalnya, banyak berkirim kabar tentang pelbagai hal, mulai dari hari-hari terakhir kakaknya hingga cita-cita mendirikan sekolah khusus perempuan.

"....Dan sekarang kekasih, bunda kesayangan kami yang begitu baik hati, ah siapa bisa mengobati luka yang Ibu derita dalam kasih sayangnya terhadap anak-anak Jawa ini _ daun semanggi yang pernah begitu indah…." Surat Roekmini itu ditulis pada Oktober 1904. Roekmini ingin menumpahkan dukanya. Duka seorang adik yang kehilangan kakak terkasihnya.

Buku Surat-surat Adik R.A. Kartini memuat 86 surat untuk keluarga Abendanon sepeninggal Kartini. Kumpulan surat-surat itu terdiri atas 1 surat dari suami Kartini, Djojo Adhiningrat, 41 surat Roekmini, 14 surat Soemantri, 3 surat adik tiri Kartini, Kartinah, 6 surat dari suami Roekmini, Santoso, 10 surat Kardinah, 6 surat Sosrohadikoesoemo, suami Soemantri, 3 surat Sosro Kartono, dan 2 surat pemberitahuan pernikahan Soemantri dan Roekmini.

Adalah Frederic George Peter Jaquet yang memilah dan menerbitkan surat-surat itu. Sebelumnya, pada 1987, dia telah menerbitkan surat-surat Kartini. Lalu, sebuah jurnal pelajar Asian meresensi buku itu. Jaquet tersentuh membaca tulisan Jean Gelman Taylor, agar Jaquet juga menerbitkan surat-surat Roekmini.

Seluruh surat itu diperoleh Jaquet pada 11 Agustus 1986, yang tersimpan dalam kotak kayu milik Abendanon. Dalam wawancara Tempo 18 tahun silam, Jaquet mengaku membawa peti kayu eik itu dari Den Haag ke Leiden dengan kereta api. Kotak berukuran 40 x 50 sentimeter dengan tinggi 30 sentimeter itu kemudian dibonceng sepeda onthel ke Koninklijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde (KITLV). Isinya, 246 surat, foto, dan dokumen berbahasa Belanda dari keluarga Kartini, termasuk Djojo Adhiningrat, sang suami tadi.

Djojo Adhiningrat, suami Kartini, menulis surat beberapa hari setelah Kartini meninggal. Surat tertanggal 25 September 1904 itu mengabarkan rincian peristiwa itu. Empat hari setelah melahirkan, perut Kartini kejang-kejang. Menurut Dokter Van Ravesteyn, itu merupakan hal yang biasa akibat luka setelah melahirkan. ".......Dokter ahli itu memberi obat. Setengah jam setelah minum, tegang-tegang justru bertambah dan berakhir dengan kematian....," demikian ia menulis dalam salah satu surat itu.

Dibandingkan dengan surat saudara-saudaranya yang lain, surat-surat Roekmini lebih terasa akrab, mesra, dan manja, dengan bahasa yang sedikit rumit. Suatu kali ia menyebut penerima surat sebagai ibunda. Di surat yang lain, ia memanggil kekasih atau sahabat-sahabat yang manis. Saudara-saudaranya lebih formal dalam cara penyampaiannya. Misalnya dengan menyebut tuan dan nyonya terhadap keluarga Abendanon.

Tiga serangkai Roekmini, Kartinah, dan Soemantri sempat melampirkan seruannya untuk memajukan Jawa dan membentuk organisasi. "Mengapa suara orang-orang seperti `Djawa' dalam `De Locomotief', atau `Inlander' dalam `Weekblad voor Indie' tetap merupakan suara `orang yang berseru-seru dari padang gersang'?"

Dari surat-surat itu diketahui, Kardinah dan Soemantri berhasil mewujudkan cita-cita Kartini. Sebuah sekolah perempuan berdiri, namanya Wismo Pranowo atau rumah untuk memperluas pandangan. Nasib Roekmini agaknya berbeda dengan kedua saudaranya itu. Roekmini ibaratnya tak putus dirundung malang, kehilangan anak dan hidup berkesusahan hingga sempat mendapat bantuan keuangan dari Abendanon.

Lain lagi dengan Sosro Kartono. Kakak kandung Kartini ini cukup lama tinggal di Belanda. Selain menimba ilmu, ia juga menjadi jurnalis. Tiga kali ia mengirim surat kepada Abendanon, hanya beberapa hari menjelang kepulangannya ke Hindia. Dengan bahasa yang lebih tertata, Sosro Kartono menceritakan masalah yang sedang dihadapinya. Dari kesewenang-wenangan Sonneveld, Direktur Departemen Kehakiman di Belanda, hingga cita-citanya membuat perpustakaan di Bandung. "Dar-es Salam" atau rumah kedamaian.

Kehadiran buku ini memberi gambaran yang lebih luas atas perasaan, gagasan, dan kiprah yang hidup pada keluarga besar Kartini.

L.N. Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus