Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi kebanyakan orang Indonesia, Papua mewakili beberapa hal yang sewarna: konflik dan keterbelakangan. Penampilan fisik orang Papua yang berbeda kerap menjadi sumber kecurigaan berbau rasisme. Bagi sebagian besar orang yang tidak tinggal di tanah Papua, berbagai persoalan di sana terasa tidak relevan. Papua seperti terlalu jauh; Singapura malah lebih dekat.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menggandeng Tempo untuk sebuah misi khusus: memetakan dan mendekatkan persoalan mendasar di Papua serta melihat sisi lain dari konflik menahun di ujung timur Nusantara itu. Lahirlah foto-foto ini.
Sepanjang Oktober-November lalu, delapan fotografer Tempo berkeliling ke sepuluh kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat; dari Jayapura, Wamena, Biak, Fakfak, Sorong, Nabire, Yahukimo, Boven Digoel, Timika, hingga Merauke. Mereka mengabadikan toleransi beragama yang kental, interaksi keseharian pendatang dan pribumi, gelak tawa anak-anak, sampai tradisi adat yang menjiwai cara pandang orang Papua mengenai lingkungannya.
Potret yang getir juga terekam: sebuah keluarga yang terancam digusur dari pulau tempat tinggal mereka bergenerasi-generasi, desa adat yang terkepung perkebunan sawit, sampai penambangan emas yang justru menyingkirkan penduduk setempat. Semua berkecamuk dengan latar belakang ketegangan soal identitas nasional bernama Indonesia. Semoga foto-foto ini membuat Papua terasa lebih dekat.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo