Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Warisan budaya buku rindu

Penyunting dan introduksi : victor t.king singapore : oxford university press, 1989 resensi oleh : bernhard sellato.

4 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebudayaan dan kehidupan masyarakat Dayak 60 tahun lalu disajikan dalam buku karya Hendrik F. Tillema. Seni Dayak ternyata tak kalah dengan karya orang Jawa saat itu. A JOURNEY AMONG THE PEOPLES OF CENTRAL BORNEO IN WORD AND PICTURE Penulis: Hendrik F. Tillema Penyunting dan introduksi: Victor T. King Penerbit: Oxford University Press, Singapore, 1989, 251 halaman BEBERAPA waktu yang lalu, seorang teman sedang membeli koran di kios sebuah hotel. Tiba-tiba, perhatiannya tertarik pada sebuah buku baru yang memuat foto-foto hitam-putih dari masyarakat Dayak di Kalimantan Timur. Beliau kebetulan memang orang Dayak Kal-Tim. Nama Dayaknya sebut saja Taman Lisa. Betapa terkejutnya ketika dalam buku itu (hlm. 108) ia menemukan sebuah potret ayahnya sekeluarga yang diambil tiga tahun sebelum ia dilahirkan. Tanpa pikir panjang, buku itu langsung dibelinya meski harganya agak mahal. Bagaimana tidak, foto-foto dalam buku itu adalah warisan budayanya, malah juga warisan pribadinya. Memang, A Journey among the Peoples of Central Borneo in Word and Picture berupa warisan budaya milik semua warga Dayak. Pewarisnya ialah Hendrik Tillema, lahir tahun 1870 di Belanda. Ia pernah menjadi apoteker di Semarang selama 18 tahun (1896-1914). Tillema sangat mengabdikan diri kepada usaha penyebaran higiene di Jawa. Tahun 1924-1925 ia kembali dari Belanda untuk mengelilingi Nusantara, dari Sumatera sampai ke Irian. Ia pertama kali mengunjungi Kalimantan pada tahun 1927-1928. Pada usia yang sudah lanjut, Tillema memutuskan untuk menjelajahi pelosok Zuid-Oost Borneo, tepatnya daerah Apo Kayan, sebuah dataran tinggi yang sangat terpencil (1931-1933). Dalam perjalanan panjang itu -- menempuh jeram-jeram sungai yang mengerikan dan menelusuri rimba belantara -- Tillema dapat membuat film yang bermutu, berjudul Naar Apo Kaja, dan ribuan foto. Sebagian kecil foto tersebut dimuat dalam bukunya Apo Kajan, Een filmreis naar en door Central-Borneo yang diterbitkannya tahun 1938. Buku A Journey disusun berdasarkan bukunya yang terbit 1938 itu. Buku ini sangat menarik. Tillema mempunyai perhatian eklektis pada berbagai aspek material dan spiritual kebudayaan tradisional suku Dayak Kenyah yang mendiami Apo Kayan. Kakek awet muda yang suka mengisap pipa itu ternyata jatuh hati pada masyarakat setempat, dan berhasil memberi gambaran yang hangat dari kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial mereka sehingga bukunya betul-betul "hidup". Seorang kepala suku, seorang gadis, yang sudah lama meninggal dunia, seakan-akan masih menyerukan agar kita mengunjungi Apo Kayan. Maka, buku ini bukan saja berupa sebuah sumber dokumentasi etnografis yang bernilai tinggi tentang suku Kenyah, tetapi juga sebuah kesaksian kemanusiaan yang mengharukan. Sebagai penyunting dan penulis pengantar, Victor King, seorang Inggris yang terkenal ahli Dayakologi, patut dipuji. Berkat risetnya yang menuntut banyak waktu dan tenaga, Dr. King berhasil mengumpulkan dokumen-dokumen asli dan unik -- foto dan tulisan -- yang sudah setengah abad terlupa dalam laci-laci arsip Belanda. Edisi baru ini dilengkapi dengan biografi Tillema yang teliti dan menarik serta banyak foto yang untuk pertama kali disajikan pada umum. Walau terdapat beberapa kekeliruan kecil -- nanga memang bukan nangka melainkan pohon sagu (hlm. 125). Pengantar, catatan kaki, peta-peta, daftar pustaka Tillema, sampai ke daftar istilah dan indeks, semuanya sumbangan dari Dr. King, jelas melipatgandakan daya tarik buku ini baik untuk pembaca awam maupun ahli, apalagi warga Dayak. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak buku mewah yang menyerupai album foto diterbitkan, yang mempromosikan dan menjual Indonesia sebagai obyek pariwisata. Semakin trendy dan memang laris. Bagi mereka yang berselera lebih canggih, muncul lagi trend buku bernostalgia yang memamerkan Indonesia hitam-putih tempo doeloe misalnya Bali 1912 dan buku karya Jean Demmeni. Setelah diserang polusi, kemacetan lalu lintas, stres dan berbagai tekanan kehidupan modern, kita mulai merindukan zaman bon sauvage (orang primitif yang masih alamiah) ala Jean-Jacques Rousseau. Gejala kecenderungan ini semakin tampak dengan berkembangnya minat terhadap tradisi kebudayaan daerah -- - misalnya tenun ikal NTT, ukuran kayu Irian, dan anyaman rotan Kalimantan. Para interior designer atau perancang mode kini gila-gilaan go ethnic. Hal ini bukan tanpa efek sampingan: misalnya, baju batik yang berupa kostum tradisional di kalangan tertentu tergeser oleh tekstil cetak bermotif etnis. Di manamana -- -termasuk di TV -- pertunjukan-pertunjukan tarian dan musik daerah diselenggarakan. Namun, kebudayaan bukan saja tarian dan kerajinan tangan. Bagaimana nasib kebudayaan tradisional seperti kebudayaan masyarakat Dayak, yang tak habis dipukul angin topan kebudayaan dunia mutakhir? Belakangan ini banyak disinggung soal masyarakat terasing dalam pers. Walau di Indonesia tak ada lagi orang yang hidup seperti yang diperlihatkan dalam buku Tillema, suku-suku yang tergolong terasing masih tercatat sekitar 1,5 juta. Semua memiliki kebudayaan khas warisan leluhurnya dan semua ingin melestarikannya. Sebelum punah, kebudayaan tradisional suku terasing -- betapapun kecilnya -- merupakan bagian kekayaan warisan budaya Indonesia. Jika dibiarkan lenyap, kebudayaan nasionallah yang dirugikan. Lihat saja buku Tillema, lihatlah betapa canggih kebudayaan Dayak pada tahun 1933. Secanggih kebudayaan Jawa. Sudah banyak unsur budaya Dayak yang hilang dikikis dunia modern: metalurgi (besi Dayak dahulu terkenal lebih kuat dari besi buatan orang Jawa), tenunan (pakai metode khas), seni bangunan rumah panjang (juga khas), ukiran bambu dan tanduk rusa, tembikar, dll. Cacahan dan kuping panjang pun, yang dijadikan ciri khas Dayak, semakin langka. Semoga "buku-buku rindu" seperti buku Tillema dapat membuka mata kita dan menyadarkan kita akan kekayaan budaya negara ini. Daripada bernostalgia, lebih baik kita berusaha menyelamatkannya. Mumpung kesempatan belum hilang sama sekali. Bernard Sellato

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus