Akrobat Wuhan dari Cina mengawinkan ketegangan dan keterampilan dengan musik dan tari yang manis. Khas tapi terasa akrab. DI atas meja bundar yang kecil, Li Liping meliukkan tubuhnya. Kaki kiri berpusing ke atas. Lantas kaki kanan yang telapaknya menyangga setumpuk mangkuk, berputar. Lalu, plek, tumpukan itu sudah mendarat di atas kepalanya. Gerak Li Liping memang serba lembut, diiringi musik tradisional Cina yang lirih. Kadang satu tangannya menumpu ke penyangga. Bahkan, di adegan lain, mulutnya yang menumpu di penyangga. Sedangkan kakinya melenting lurus ke atas. Dan setumpuk mangkuk itu berpindah dari kepala ke kakinya. Ajaib! Tak satu mangkuk pun yang jatuh, seolah seluruh tubuh "gadis plastik" dari Wuhan ini dipolesi lem. Ini nomor manis yang sekaligus menegangkan, yang disuguhkan Akrobat Wuhan dari RRC. Hampir sebulan -- dimulai tanggal 21 April lalu -- grup dari daratan Cina Selatan ini ditanggap Palang Merah Indonesia (PMI). Pergelaran awal selama sepuluh hari di Jakarta: seminggu di Istora Senayan, dan tiga hari di Restoran Dynasty, Glodok Plaza. Selanjutnya, melawat ke Surabaya dan Medan, masing-masing sepuluh hari. Inilah rombongan kesenian pertama dari Cina, yang datang setelah pulihnya hubungan diplomatik RI-RRC. Kedubes RRC di Jakarta sangat berperan kali ini. Juga Pengusaha Tong Djoe, 66 tahun, yang banyak membantu sebagai perantara. "Ini bukan sekadar tontonan. Kita bisa belajar dari sini," kata Tong Djoe. Memang, banyak hal yang bisa dipelajari dari Akrobat Wuhan ini. Bagaimana menyuguhkan ketangkasan, keterampilan, kelenturan tubuh, bahkan kemustahilan dengan iringan musik yang manis dan gerak tari yang lembut -- dan itu yang membedakannya dengan akrobat-akrobat yang lain. Bagi penonton Indonesia, nomor yang ditampilkan pun rasanya tak asing. Lihatlah permainan galah, keseimbangan kursi, bahkan Tari Singa, yang mengingatkan kesenian tradisional di Jawa Barat atau Bali. Dengan keterampilan akrobatik -- walaupun dengan gerakan lembut -- - Singa itu menjadi begitu lincah. Dan ini bisa dipelajari. Di Cina sendiri akrobat adalah kesenian tradisional. Di setiap provinsi, ada tiga atau empat grup akrobat yang menonjol. Akrobat Wuhan tahun dan meluluskan empat angkatan. "Saya mulai bersekolah di Akrobat Wuhan ketika berusia sepuluh tahun," Li Liping menuturkan kepada TEMPO. Ayah dan ibunya juga lulusan Wuhan. Jadwal sekolah itu ketat sekali. Pagi sampai magrib, latihan kelenturan leher pinggang, lengan sampai ke ujung-ujung telapak tangan dan kaki. Malamnya, siswa belajar seperti di sekolah umum. Enam tahun dibutuhkan untuk lulus dari sekolah itu. Begitu lulus, pemerintah Cina akan memberikan lapangan pekerjaan. Ya, jadi pemain akrobat. Li Liping, misalnya sudah bermain di Amerika Serikat, Prancis, Korea, Singapura, Belanda, Belgia, dan Muangthai. Ia peraih hadiah utama Badut Emas pada lomba Akrobatik Internasional Monako ke-9, 1983. Putar Piring adalah nomor yang hampir dimiliki setiap grup akrobat atau grup sirkus. Tetapi Putar Piring versi Wuhan tidak sekadar permainan akrobatik, tetapi tari. Tarian ini melibatkan sejumlah artis wanita yang lemah gemulai. Pergelangan tangan penari bergetar terus memegang bilah-bilah, yang di ujungnya ditaruh piring. Piring berputar terus, penari berliuk-liuk. Dari kejauhan, piring-piring itu tampak seperti kipas atau kembang kertas. Dan, prang... salah satu penari melakukan "kelalaian", sebuah piring jatuh. Justru adegan itu menyentakkan penonton bahwa yang berputar itu ternyata piring betulan. Nomor Keseimbangan Kursi juga menegangkan. Dengan kaki kursi terbawah bertumpu pada empat botol, sepuluh kursi disusun miring satu per satu ke atas. Lantas, tujuh pemain melakukan gerak jungkir balik -- kepala di bawah, kaki lurus ke atas -- pada setiap kursi tadi. Memang tak seluruh adegan yang disuguhkan Wuhan menegangkan. Ada selingan penghibur, seperti lawak dan sulap. Tentu saja Tari Singa itu juga termasuk yang bisa dilihat dengan santai. Pemain singa melakukan gerak-gerik kocak. Ada dua singa besar dan empat singa kecil. Singa besar dimainkan dua artis. Singa kecil satu artis. Mereka bermain berguling, meloncat, berkejaran. Bayangkanlah bagaimana koordinasi dua pemain untuk satu singa itu. Akrobat Wuhan ini kelasnya lebih tinggi dari akrobat Shenyang juga datang ke Jakarta pada 1988, atas undangan Perkumpulan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia. Akrobat Wuhan juga lebih akrab, mereka memainkan lagu pembuka Bengawan Solo dan lagu penutup Ayo Mama. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini