INSAN KAMIL: KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM Penyunting: M. Dawam Rahardjo Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1985, 259 halaman TIGA puluh tiga tahun lalu Haji Agus Salim, tokoh pembaru dan pemimpin Islam Indonesia yang sangat berpengaruh, menulis: "Maka nyatalah bahwa dalam tiap-tiap perkara lahir dan batin bukanlah kehendak kita yang menentukan hasil yang akan tumbuh atau terjadi. Melainkan mulai dari asal yang di dalam diri kita, sampai kepada segala hal-ihwal atau 'faktor' yang menguasai atau mempengaruhi perkara itu, nyata pada hakikatnya semata-mata bergantung kepada takdir belaka". Kutipan itu dapat dibaca dalam buku, Djedjak Langkah Hadji Agus Salim (halaman 349). Kutipan itu sengaja saya tampilkan pada awal pembahasan buku Insan Kamil, yang disunting oleh M. Dawam Rahardjo, untuk menunjukkan betapa alam pemikiran Iqbal, Morteza Mutahhari, Ali Shari'ati - Dawam sendiri dalam buku ini menurunkan artikel berjudul, Bumi Manusia dalam Alquran - masih menghadapi karang yang tangguh untuk dapat berkembang di Indonesia. Perhatian besar para pemikir Muslim modern itu terhadap masalah kesadaran manusia, yang seolah memberi kesan bahwa mereka telah melupakan persoalan kontroversi takdir-ikhtiar, ternyata tidak betul. Kontroversi itu sering kali sulit dilihat, karena konsepsi mereka tentang insan kamil diformulasikan dalam kalimat yang sama, yaitu seimbangnya dimensi esoteris dan eksoteris pada manusia ideal. Menurut Iqbal, misalnya, "Manusia adalah citra Tuhan. Ia adalah cermin yang merefleksi-kan nama-nama dan sifat-sifat-Nya". Namun, "Manusia adalah tujuan utama yang ada di balik penciptaan alam, . . . Sang Mukmin menjadi tuan nasibnya sendiri dan secara tahap-tahap mencapai kesempurnaan" (halaman 24-25). Pandangan Iqbal itu lebih cenderung antroposentris. Bandingkan pandangan itu dengan pandangan Hossein Nasr, yang menulis: "Langkah pertama dalam perjalanannya menuju titik pusat, seorang sufi harus menempuh tahap zuhud, yaitu keadaan jiwa yang telah terbebaskan dari jeratan nafsu dunia. Ia telah terbebaskan dari mempertuhankan selain Allah berupa kenikmatan duniawi. Bahkan ia sudah sampai pada kesadaran, dunia ini tidak ada gunanya kecuali sekadar yang diperlukan untuk kelangsungan ibadat" (halaman 196-197). Pandangan Nasr cenderung lebih teosentris. Demikianlah, sebagaimana dapat kita baca dalam buku ini, dunia pemikiran Islam telah ditandai oleh adanya percaturan berbagai aliran teologi dan perbedaan pandangan tentang hakikat manusia, walau semuanya bersumber pada ajaran yang sama. Nilai buku ini memang terletak pada kemauannya melukiskan adanya perbedaan-perbedaan pandangan itu meski masalah tersebut oleh penyuntingnya kurang diangkat ke permukaan. Tentu saja, kemauan para penulis itu, untuk melukiskan kekayaan alam pikiran Islam dalam wujud perbedaan-perbedaan pandangan, belum cukup dapat dipenuhi. Periode antara abad ketujuh dan kesepuluh misalnya, sama sekali tak terwakili. Padahal, periode itu merupakan masa yang sangat penting dalam perkembangan alam pemikiran Islam, yang oleh Hamilton Gibb dan Montgomery Watt disebut "The Formative Period of Islamic Thought". Bagaimanapun sumber tradisi pemikiran Islam lebih banyak berada pada periode formatif tersebut. Untuk lebih dapat mengundang minat pembaca, seharusnya buku ini menyinggung juga konsepsi Prof. Mukti Ali tentang "manusia Indonesia seutuhnya", yang kemudian membaku dalam GBHN. Konsep Mukti Ali itu, sampai saat ini, belum ada yang membahas dan mengembangkannya, padahal, dan ini harus kita akui, telah mampu membentuk imajinasi dalam alam pikiran orang-orang Indonesia. Konsep Mukti Ali tersebut, menurut saya, lebih relevan untuk dibicarakan daripada konsep Ar-Raniry. Atau, kalau bukan konsep Mukti Ali, konsep Haji Agus Salim mengenai keterangan filsafat tentang tauhid, takdir, dan tawakal, jauh lebih relevan untuk dibicarakan. Bagaimanapun, tulisan Haji Agus Salim itu sangat membekas dalam alam pikiran para pemimpin Islam di Indonesia, dan, sepanjang yang saya pahami, karya tersebut telah menutup keberanian para pemikir Muslim Indonesia generasi sesudahnya untuk mengembangkan konsepsi-konsepsinya tentang manusia Indonesia menurut Islam. Karena itu, terbitnya buku ini merupakan kejutan besar, yang mudah-mudahan mampu mendobrak stagnasi pemikiran tentang manusia di Indonesia. Upaya mengikis fatalisme yang menghinggapi masyarakat Muslim di Indonesia harus dimulai dengan memperkuat dan menyegarkan gagasan. Saya setuju sekali dengan rumusan yang sangat indah, yang tertera di halaman 8, bahwa para pemikir Muslim tersebut percaya pada kekuatan gagasan yang mampu mengatasi kenyataan empiris, proses dialektika antara materi dan alam pikiran dalam proses perubahan pikiran maupun masyarakat. Zamakhsyari Dhofir
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini