SALAH satu pidato Presiden Carter yang paling didengarkan orang
sedunia sejak ia di Gedung Putih telah diucapkannya pekan lalu.
Ia menjelaskan strateginya untuk mengatasi masalah energi di AS,
yang akan berakibat besar bagi negara penghasil minyak dan gas.
Reaksi di AS sendiri cukup sengit, khususnya atas rencana
kenaikan pajak bensin.
Sasaran Carter memang menahan konsumsi minyak bumi. Bagi
Indonesia mungkin yang menarik adalah sikap Carter terhadap
pembatasan impor LNG. "Pemhatasan Import LNG yang diletakkan
oleh pemerintahan yang terdahulu akan diganti oleh suatu beleid
yang lebih fleksibel", begitu kata Carter. Bagaimana efeknya ini
bagi Indonesia, tentu saja belum jelas. Indonesia dalam soal LNG
berhubungan dengan Jepang - dan ekspor LNG pertama itupun masih
menunggu.
Menurut kesepakatan yang baru-baru ini dicapai antara Pertamina
dengan kelima konsumen Jepangnya, akhir Juli 1977 ini - atau
selambat-lambatnya awal Agustus mendatang ekspor pertama LNG ke
Jepang akan terlaksana. Kesepakatan baru itu dicapai, setelah
Dirut Pertamina Piet Haryono sendiri berkunjung ke Tokyo medio
Maret lalu, ketika melantik pejabat-pejabat perwakilan Pertamina
dan Far East Oil Trading Co. yang baru di sana.
Dengan demikian untuk sementara legalah para calon konsumen LNG
Indonesia di sana - pabrik listrik Chubu, Kansai dan Kyushu,
pabrik gas Osaka dan pabrik baja Nippon Steel. Soalnya? beberapa
bulan terakhir jadwal selesainya proyek LNG Bontang - dan juga
Blang Lancang di Aceh - ditanyakan melalui surat dan misi
peninjau Jepang ke Indonesia.
Memang, sudah beberapa kali ada pergeseran tanggal perkiraan
rampungnya proyek LNG Bontang. Menurut jadwal Bechtel
Incorporated, kontraktor Pertamina yang dipasrahi kepercayaan
membangun kedua proyek LNG itu, pengapalan pertama dari Bontang
mestinya sudah dapat dilakukan bulan Maret 1977. Jadi masih
sebelum Pemilu. Setelah kedua proyek itu tertunda pembangunannya
karena pelampauan taksiran biaya di awal 1976, ada perkiraan
dari orang dalam Bechtel sendiri bahwa Bontalg akan "tertunda 6
bulan" (TEMPO 8 Mei 1976).
Ketika bulan lalu belum tampak tanda-tanda Bontang segera dapat
mulai mengekspor LNG-nya, fihak Jepang mulai bertanya-tanya. Dan
Piet Haryono di Tokyo menjelaskan latar-belakang penundaan itu
pada pers dan kalangan bisnis di sana.
"Sebenarnya, dalam kontrak tidak ada disebutkan tanggal atau
bulan apa persisnya pengapalan pertama LNG itu akan siap
dilakukan", tutur sang dirut Pertamina hepada wartawan TEMPO GY
Adicondro beberapa waktu lalu. Piet juga menjelaskan, bahwa
kontrak antara Pertamina dengan kelima konsumen Jepang itu di
akhir 1973 hanya menyebutkan ancar-ancar waktu "musim semi
(spring) 1977". Berarti "kira-kira antara Maret s/d Juni 1977".
Maka setelah jelas batas waktu 'musim semi 1977' itu sudah sukar
teruber lagi, kedua fihak sepakat untuk menunda batas waktu
pengapalan itu sebulan dua bulan lagi.
Seperti diketahui, pabrik pencairan gas alam di Bontang itu akan
terdiri dari dua 'rantai produksi' alias train yang sama dan
sejajar. Train pcrtama itulah yang diharapkan akan rampung untuk
mengekspor muatan LNG pertama ke Jepang, Juli/Agustus yang akan
datang. Sedang 5 bulan berikutnya, train kedua yang tadinya
diperkirakan selesai bulan Juli 1977, akan menyusul. Setelah
kedua train itu selesai, tanker-tanker LNG yang dicarter Burmah
Oil untuk Pertamina @ 125 juta liter akan hilir mudik
mengalirkan 3,3 juta ton gas alam cair setahun menuju lima
terminal penampung di Jepang.
Bocor
Dapatkah kali ini ancar-ancar waktu yang baru - Juli atau
Agustus 1977 itu - ditaati oleh Pertamina dan kontraktornya?
"Belum begitu pasti", kata sebuah sumber TEMPO yang mengikuti
pembangunan proyek Bontang dan dekat. Katanya lagi: "bulan Mei
trial run train pertama akan dimulai. Sesudah seluruh instalasi
dites dan sambungan-sambungan yang bocor diperbaiki, mungkin
baru bulan September pengapalan pertama betul-betul dapat
dilakukan dengan aman". Tapi diakuinya, bahwa Pertamina telah
mendesak Bechtel untuk mempersingkat jadwal kerjanya sedapat
mungkin. Sehingga bisa saja akhir Juli pengapalan pertama
dilakukan. Tapi bukan pengapalan pertama saja yang perlu
diamankan. Seperti kata Piet Haryono di Tokyo: "kami harus
menjamin supaya pengiriman seterusnya berjalan tanpa
ditunda-tunda".
Dalam percakapannya dengan TEMPO, Piet kelihatan ingin sekali
proyek Bontang cepat selesai. "Mana mungkin kita tak ingin
Bontang cepat selesai? Kan bagi Indonesia sendiri itu berarti
devisa segera masuk", katanya bersemangat. Dia benar. Sebab
begitu setiap pengapalan diterima dengan selamat di Jepang, para
pemesan langsung harus membayar nilai muatan tanker LNG itu
berdasarkan harga LNG yang dikaitkan denBan harga minyak bumi
dan laju inflasi.
Menurut kalkulasi konsultan BI dari New York - Kuhn, Loeb, Lazar
Freres dan S.G. Warburg - hasil penjualan kotor LNG itu dari
tahun 1977 sampai 1999 seluruhnya bakal berjumlah $AS 18,7
milyar. Dari jumlah itu, $AS 5,7 milyar dicadangkan untuk
membayar hutang pembangunan proyek, ongkos angkut dan biaya
operasi proyek. Sedang $AS 5,1 milyar merupakan jatah kontraktor
Pertamina yang menemukan sumur Badak (Huffco) dan Arun (Mobil
Oil). Di sektor gas alam ini belum berlaku rumus bagi-hasil yang
baru seperti di sektor minyak bumi. Jadi penghasilan bersih
pemerintah Indonesia menurut konsultan itu "tak kurang dari $AS
7,8 milyar", menjelang tahun 2000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini