AGAKNYA cukup menyedihkan kalau diingat, banyak pelukis seperti
baru lahir dengan sah setelah meninggal. Tetapi syukurlah,
Zaini, salah seorang senior, sempat menerima Anugerah Seni pada
tahun 1972 sebelum dijemput oleh paginya yang penghabisan, akhir
bulan lalu. Sebuah pameran besar yang lebih melejitkan rasa
dukacita, kini sedang dilangsungkan pula di Galeri Baru TIM, 13
s/d 31 Oktober.
Pameran ini berisi 150 buah karya Almarhum -- meliputi 66 buah
lukisan cat minyak, 35 buah monotype dan lukisan pastel serta 48
buah karya-karya cat air, pensil, tinta spidol, tinta hitam.
Bila anda masuk ruang tersebut, yang diperlengkapi juga dengan
sebuah meja di mana terbeber buku-buku dengan sampul depan hasil
tangan Zaini, mungkin anda akan teringat pada kalimat pertama
dalam novel Pasternak, Dr. Zivago. Yakni: sementara suara
Almarhum tertelan oleh kesunyian, sementara dari tangannya tak
menetes lagi puisi-puisi gambar, karya-karyanya yang lalu
seperti melanjutkan kehidupan pribadinya pada kita.
Misteri
Memang agak sulit mengamat-amati karya seseorang, sementara kita
terlibat secara emosionil. Tetapi puisi yang sempat disuarakan
oleh suasana-suasana yang muncul dalam lukisan Zaini, tak perlu
diragukam Lukisan Zaini sejak tahun-tahun 40-an sudah
memperlihatkan kecendrungan menangkap suasana tersebut. Ia tidak
merekam bentuk -- hanya sekedar menampilkan sosoknya, kemudian
memberinya jiwa dengan warna.
Warna pada Zaini lebih merupakan rekaman emosi, rekaman watak
dari apa yang sedang ia hadapi. Karenanya ia sangat bebas
memulaskan, melumuri atau menyapukannya ke bidang yang
dihadapinya. Hampir semua lukisannya tidak dibangun oleh
warna-warna yang kontras. Warna itu berlepitan, jalin-menjalin,
meluruh dalam batasan-batasan yang tak jelas, sebagaimana juga
dunia emosinya yang kelihatan begitu tersembunyi di balik
jiwanya yang santai.
Lukisan-lukisan cat minyak Burung Satu dan Burung Dua adalah
contoh bagaimana usahanya mengoper watak yang diketemukannya
lewat pastel, masih menemukan batu kerikil lewat cat minyak.
Misteri yang hendak dilontarkannya lewat pengaburan bentuk,
terjegal oleh munculnya tekstur yang membuat tersendat-sendatnya
puisi sunyi yang mau dia sabet. Ini kemudian berubah sama sekali
dalam lukisan-lukisannya yang terakhir: perahu, burung dan
sebagainya, muncul menerawang di kanvas seperti kata-kata yang
lepas tetapi dramatik. Pada beberapa buah lukisan cat air dari
periode paling akhir, Zaini sampai pula pada lukisan rasa. Sejuk
gunung, damai danau, terkecap oleh sentuhan-sentuhan bidang cat
air yang disapukan dengan ahli.
Dalam pameran tunggalnya yang terakhir, di TIM, banyak pengamat
menyetujui bahwa Zaini memang telah sampai pada tonggak yang
dicarinya itu. Yakni mengoper teknik pastel, menempelkan misteri
lukisan pastelnya pada kanvas yang menggunakan cat minyak.
Sehingga kalau saja umurnya masih panjang, ia tidak saja akan
bergelar raja pastel, tapi juga mungkin raja cat minyak -- dalam
hal kemahiran mempergunakan material. Dan dalam pameran besar
ini kita lebih jelas melihat kebenaran penemuan itu.
Greco
Tak bisa dilewatkan adalah tarikan garis-garisnya yang amat
sugestif. Dalam lukisan-lukisan perahu, garis-garis Zaini sempat
menyimpulkan tidak hanya sosok, tetapi juga gerak dan suasana.
Padahal ia ditorehkan sangat efisien. Keistimewaan garisnya
adalah munculnya arsiran-arsiran silang yang dimaksud untuk
memberikan penekanan, pengarahan, kadangkala pula hanya sekedar
komposisi untuk memperoleh keseimbangan bidang. Caranya
menempelkan arsiran ini hampir sama dengan yang dikerjakan
Emilio Greco (Italia) yang saat ini kebetulan masih memamerkan
lithograf dan etching-nya di Ruang Pameran LPKJ.
Zaini memang telah menerima pengaruh banyak orang. Pada beberapa
lukisannya yang lalu kita juga sempat teringat pada van Gogh dan
Gauguin. Tetapi pengaruh-pengaruh ini bukan tujuan. Mungkin
telah dilakukan dalam rangka penguasaan material. Sebagaimana
terucapkan dalam lukisan Topeng yang hampir menyuruh kita
berfikir barangkali inilah potret yang paling baik dari pribadi
Almarhum.
Di dalam topeng terlihat dua wajah yang sama dengan ekspresi
yang lain sama sekali. Yang satu seperti tersenyum dan membuka
diri, sedang yang satu terhenyak dalam kesuraman serta
ketidakjelasan. Barangkali Almarhum adalah seorang yang sama
gelisahnya dengan Affandi atau Nashar, tetapi semuanya hanya ia
benamkan dalam ruang pribadinya - karena ia harus santai buat
orang lain.
Banyak lukisan yang terbaik tak bisa dijumpai dalam pameran ini.
Kalau karya-karya ini pun nantinya terpaksa bercerai-berai ke
tangan beberapa orang yang pasti berniat membelinya untuk
kenang-kenangan pribadi, arti Zaini sebagai penyedot alam yang
damai, sunyi, penuh misteri, tidak akan tergambar jelas.
Beberapa orang yang sempat menyimpan lukisannya buru-buru bilang
syukur, karena haru. Tapi tak dapat menyentuh gambaran yang
persis apa sebenarnya sumbangan Zaini. Ia telah bekerja dengan
setia sebagai buruh yang getol untuk kanvas. Tetapi ia juga
seorang penyair yang memuja kekaburan -- yang tak pernah ia
tangkap dengan pasti. Mungkin karena ia sendiri tak suka
menangkapnya. Mungkin karena ia merasa diri terlalu sederhana.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini