WAKTU pelukis Zaini (lahir di Pariaman 1924) tiba-tiba meninggal
tanggal 25 September yang lalu, salah seorang yang menderita
adalah sahabatnya Nashar. Pelukis ini mengatakan ia telah
kehilangan seorang kawan karib dan lebih penting lagi kawan
bertengkar. Di bawah ini wawancara TEMPO dengan Nashar di Balai
Budaya, lakarta, sementara ia sedang menulis sebuah
kenang-kenangan tentang aini yang telah menyita waktunya selama
2 hari.
Kenapa anda merasa dekat dengu Zaini?
Prinsipnya dalam memilih lukisan atau pelukis yang pantas untuk
dipamerkan, sejalan dengan saya. Ia memilih seseorang kalau
orang itu telah sarnpai pada kekuatannya sendiri sebagai
individu. Bila orang itu telah menemukan kepribadiannya sebagai
individu. Misalnya pelukis Popo Iskandar, Srihadi. Bagaimana
pendapat anda tentang karya Zaini sendiri?
Lukisannya termasuk yang paling kuat dan tegas di antara
kawan-kawan.
Sebagaimana umumnya, ia juga banyak menerima pengaruh pelukis
lain, tetapi tetap kelihatan Zaininya. Ia paling menguasai soal
jenis alat yang ia pakai. Memang, setelah bertempur untuk
menguasai alat-alat, kadangkala ada pelukis yang hanya
memamerkan keahlialmya mempergunakan alat-alat tersebut. Tapi
Zaini setelah bisa menguasai alat, energinya dicurahkan pada
ekspresi. Seluruh karya Zaini dari dahulu sampai sekarang tetap
punya kekuatan ekspresi. Memang ada grafik turun-naik, tetap1
turunnya tidak pernah sedemikian rupa sehingga mencapai apa yang
dinamakan macet atau mundur. Ia meninggal pada saat masih banyak
punya kemungkinan. Ia seorang yang kreatif.
Perbedaan apa yang ada antara anda dengan Zaini?
Zaini orang yang paling bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Dia punya sikap, cuma Jarang menyatakan sikap yang
sebenarnya kecuali kalau ditanya. Dalam garis kebijaksanaan
(catatan: Nashar dan Zaini pernah sama-sarna duduk dalam Komite
Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta) saya lebih mendekatkannya pada
adanya gerakan pelukis muda. Sedang Zaini tetap kokoh
mempertahankan, melaksanakan, mengutamakan karya-karya puncak
saja. Dia kurang membuka diri pada kemungkinan baru. Kami memang
bertengkar waktu itu, tapi terus bekerja sama. Di LPKJ (catatan:
mereka berdua juga sama-sama dosen Seni Lukis), Zaini cenderung
pada sistim akademis. Teknik didahulukan, baru isi. Kalau saya,
tergantung pada orangnya. Tergantung kesanggupan individu. Saya
mengikuti dasar-dasar pesantren: membimbing menurut kodrat
mahasiswa masing-masing.
Zaini sering bertindak sendjri menjual lukisannya. Anda
menganggap ia komersiil?
Dalam ekonomi dia memang disiplin dan betul-betul teratur.
Memang ia sering tidak ketat terhadap harga lukisannya, tetapi
saya tidak menganggapnya komersiil. Tahun 1976 harga lukisannya
pernah sampai Rp 350 ribu. Biasanya bergerak di sekitar Rp IS0 -
Rp 250 ribu.
Apakah penghargaan kepada Zaini cukup?
Cukup, terutama dari para kolektor. Hanya saja saya khawatir
nasib lukisan-lukisannya akan sama dengan lukisan Almarhum
Solichin, Trisno Sumardjo dan Kartono Yudokusumo. Artinya tidak
ada pengumpulan dan pemeliharaan secara khusus sehingga dapat
menggambarkan perkembangannya secara jelas. Padahal tokoh-tokoh
tersebut, sebagai bahan dokumentasi, cukup dapat mewakili zaman
mereka dan generasi di mana mereka hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini