PAMERAN besar lukisan Zaini yang sedang berlangsung di Taman
Ismail Marzuki, 13 - 31 Oktober, tidak melulu berarti sebuah
pameran karya - melainkan juga kenangan pribadi. Beberapa
tulisan telah dibuat sehubungan dengan karya dan pribadi pelukis
yang meninggal ini (dan Sinar Harapan bahkan telah menerbitkan
tulisan-tulisan itu berujud sebuah brosur yang disebarkan
sehubungan dengan Pameran). Hanya sebagai kelengkapan potret,
berikut ini sebuat lagi tulisan dari Ajip Rosidi, salah-seorang
ketua Dewan Kesenian Jakarta dan rekan sekerjanya di Taman
Ismail Marzuki, khusus segi yang ringan-ringan saja:
ZAINI (1924-1977) tidak pernah mengeluh. Prinsip hidupnya adalah
menerima apa adanya dengan hati yang tabah. Pabila ia melihat
hidangan makan siang (kami makan siang bersama-sama di kantor
Dewan Kesenian Jakarta) yang amat sangat sederhana, maka ia
berkata: "Wah, istimewa hari ini!" Tetapi karena menu makanan
selalu sederhana setiap hari, maka Zaini selalu berkata: "Wah,
istimewa hari ini!"
Dengan ucapan itu maka ia mendapat tambahan lauk pauk dan dapat
menikmati makanan apa adanya dengan enak. Zaini sendiri makan
tidak banyak. Hanya pada acara-acara tertentu saja dia makan
banyak.
Dalam bulan puasa H. 1397 yang lalu, beberapa orang seniman
mengadu argumentasi karena perbedaan faham, Zaini datang
menengahi, "Kenapa sih?" Maka masing-masing pihak mengemukakan
pendapatnya sendiri-sendiri. Lalu Zaini pun memberi fatwa: "Itu
namanya iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Kepala sama berbulu,
pendapat berlain-lain."
Anggota Dewan Pekerja Harian DKJ yang lain, Alam Surawijaya,
sebaliknya dari Zaini. Alam selalu sakitan dan selalu mengeluh.
Segala apa pun menyebabkannya mengeluh. Bahkan berita yang
menyenangkan hatinya pun misalnya tentang menerima honorarium
dari film disampaikannya dengan mengeluh.
Alam mengusulkan agar rapat pleno DKJ bulan September diadakan
sambil berbuka puasa. Dan ia pula yang mengusulkan berbagai
macam makanan yang enak-enak. Tapi ketika tiba waktunya, Alam
sendiri makan hanya sedikit sekali. Saya tanya mengapa dia makan
sedikit. Dan dia menjawab, "Saya memang makan hanya sedikit,
bung. Bukan hanya sekarang, sahur pun saya makan sedikit."
"Lalu mengapa bung minta berbagai macam makanan yang enak-enak?"
tanya saya.
"Itulah. Saya suka kepingin makan makanan yang enak. Tapi saya
takut kalau makan terlalu banyak. Saya darah tinggi, bung. Tapi
kalau makan sedikit sebetulnya saya takut juga, karena saya
maag."
Lalu Zaini menengahi: "Kalau begitu bung Alam ini namanya hayya
'alassholah hayya 'alal-falah. Begitu salah begini salah. Hidup
salah mati pun salah."
Apabila ia sedang merasa kesal kepada seseorang, maka Zaini
tidak mau menyebut nama orang itu. Apabila hendak membicarakan
orang itu, maka dia hanya menyebut "Si Upik itu" (kalau orangnya
wanita), atau "Si Buyung itu" (kalau orangnya laki-laki).
Tapi kalau kesalnya kepada orang itu sudah tidak ketulungan,
maka Zaini menyebutnya "Si Buyung ngengngong."
Tak seorang pun di antara kami ternyata yang tahu apa arti
"buyung ngeng ngong" itu, tapi tak seorang pun di antara kami
pernah menanyakan artinya kepada Zaini.
Biasanya kami segera tahu siapa orang yang dimaksudnya.
Apabila sedang rapat atau sedang sidang, Zaini jarang sekali
angkat bicara. Biasanya dia mendengarkan sambil tak
henti-hentinya membuat sketsa dengan potlot atau bollpoin yang
ada di tangannya. Kadang-kadang membuat sketsa orang yang sedan
bicara, atau yang duduk berhadapan dengan dia. Tapi apabila ada
pembicara yang nawur, atau pembicaraan menyimpang dari garis
yang benar, maka dia segera mengangkat kepala dan memberi
komentar: "Bagus itu. Bagus itu," dengan nada yang khas.
Kami sudah tahu, apabila Zaini berbicara seperti itu, artinya
dia mengejek pembicara itu. Maka meledaklah tawa kami. Tapi
apabila orang yang berbicara itu seorang tamu dari luar, maka
kami harus bisa menahan tawa kami, supaya orang yang
bersangkutan tidak tersinggung.
Zaini senantiasa bersikap ambil gampang dan dia hidup dengan
mudah. Tak ada yang dapat membikin hatinya susah. Dia hidup
tidak rewel. Dan ternyata ia pun mati tidak dengan susah.
Orang Islam mengenal sebuah do'a, yang meminta kepada Allah swt.
agar apabila dijemput Ajal, tidak usah lamalama mengalami
sakratul Maut. Saya tidak tahu apakah Zaini mengenal do'a itu.
Tetapi ia barangkali sama sekali tidak mengalami sakratul Maut,
ketika terjatuh selagi lari-lari pagi pada hari Minggu tanggal
25 September 1977.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini