Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga orang berkursi roda bergerak ke tengah panggung yang berada di halaman Gedung Rektorat Institut Seni Indonesia, Solo, Jawa Tengah. Gerakannya pelan dan ringan, mirip adegan slow motion dalam film. Mereka berputar-putar di tengah panggung yang tidak luas itu tanpa pernah bersinggungan.
Sesekali mereka mengentakkan kursi rodanya hingga bergerak lebih cepat. Tangan mereka terkadang melambai bersama seakan-akan menyapa penonton yang memadati halaman gedung rektorat kampus itu. Penari lain bergerak mengelilingi mereka sembari melakukan gerakan serupa balet. Tarian mereka tidak sama tapi terlihat harmonis. Mereka bergerak memutar dan melompat selama sekitar 20 menit di atas panggung itu.
Itulah salah satu penampilan yang menyita perhatian dalam perhelatan Hari Tari Sedunia, yang digelar di Institut Seni Indonesia (ISI), Solo, 29-30 April lalu. Para penari itu berasal dari Komunitas Nalitari, komunitas tari inklusi dari Yogyakarta, yang sebagian besar anggotanya merupakan penyandang disabilitas. Selain tiga penari berkursi roda, para penari yang membawakan tarian bertajuk Amreta itu ada yang menyandang tunarungu, tunawicara, dan Down syndrome.
Untuk tampil dalam perhelatan "ISI Solo Menari 24 Jam" itu, mereka melakukan persiapan berbulan-bulan. Latihan mereka berdasarkan improvisasi dari tiap individu yang memiliki kemampuan berbeda, selanjutnya diselaraskan oleh koreografer.
Bukan hanya Komunitas Nalitari, kelompok tari yang terdiri atas siswa- siswi Sekolah Luar Biasa Karanganyar juga mencuri perhatian penonton. Anak-anak itu membawakan tarian berjudul Tari Topi di panggung yang berada di dalam pendapa. Sekitar 20 anak itu mengenakan pakaian dengan warna dan bentuk yang tidak seragam. Namun semua sama-sama mengenakan topi berbentuk bundar.
Gerakan mereka pun boleh dibilang tidak kompak. Mereka bergerak memainkan topi yang dilepas dari kepala, mengikuti irama gamelan. Namun satu hal yang sama dari mereka: semua wajah penari cilik itu memperlihatkan tawa gembira dan senyum ceria di atas panggung. "Kami mengesampingkan keindahan dalam pementasan," kata Fitriani Kusumawati, pelatih tari mereka yang juga lulusan Institut Seni Indonesia, Solo.
Menurut Fitriani, mereka menggunakan tari sebagai media dalam membangun rasa percaya diri dan menjalin ikatan dalam kelompoknya. "Anak-anak itu menjadikan tari untuk mengekspresikan kebebasan, terlepas dari keterbatasan yang mereka miliki," ujarnya.
Sejak awal, Institut Seni Indonesia memang menjadikan perayaan Hari Tari Sedunia sebagai pesta bagi penari, penikmat tari, hingga pemerhati tari. Mereka membuka pintu bagi individu ataupun kelompok yang ingin terlibat dalam acara itu. Selama 11 tahun, mereka tidak pernah melakukan seleksi untuk penyaji dalam hajat besar tersebut. Pada perayaan tahun ini, sebanyak 182 kelompok tari ikut dalam perayaan tahunan tersebut. Keseluruhan seniman yang terlibat mencapai sekitar 3.760 orang. Beberapa panggung dipersiapkan agar semua tarian bisa selesai tepat 24 jam.
Sebetulnya banyak kota yang menggelar perhelatan untuk merayakan Hari Tani Sedunia, seperti Semarang, Malang, Denpasar, dan Makassar. Namun Solo tetap menjadi magnet saban tahun. Sejumlah sanggar tari dan sekolah seni dari pelbagai kota memilih ikut tampil di Solo. Mereka berdatangan dari Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Bali, hingga Palu. "Mereka datang dengan biaya sendiri," kata Eko Supendi, salah satu panitia acara. Penyelenggara tidak menyediakan fasilitas akomodasi ataupun transportasi bagi penyaji. "Kecuali panggung pentas dan makan satu kali," ujar Eko.
Ahmad Rafiq (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo