Ada sesuatu yang gamblang mengenai resital piano Ananda Sukarlan di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta, Selasa pekan lalu. Ini bukan soal Ananda seorang pianis yang cemerlang, atau ia salah satu penafsir musik kontemporer paling ”laku” di Eropa, melainkan soal musik kontemporer yang bisa dilihat dari kacamata sastra kontemporer.
Tak semua akan setuju, tentu. Dalam sastra, kata tak pernah bebas dari arti, sementara musik lebih dari sekadar ”bahasa nada”. Tapi mungkin saya berbicara lebih seputar prosa, bukan hermeneutika.
Pertama, ada prosa yang bagus, ada prosa yang buruk. Ada yang kreatif, ada yang klise. Dan ada kriteria ini: ”bagus”-tidaknya sebuah karya, apa pun temanya—cinta, patah hati, hidup, mati—tetap ditentukan oleh bagaimana si pencipta dapat mengolah yang sama menjadi tak sama, yang lama menjadi baru. Sesuatu yang, dalam partikularitasnya, menyentuh emosi.
Kedua, adanya anteseden. Dalam sastra, misalnya, kita bisa merasakan roh Vladimir Nabokov dalam prosa novelis Jeffrey Eugenides atau Martin Amis. Dalam musik, ada komponis Austria Alban Berg, yang—meski sering diidentikkan dengan Schoenberg—sensibilitasnya, menurut saya, lebih dekat dengan Mahler.
Ketiga, sama-sama menjunjung tinggi ”pluralisme” dan ”eklektisisme”. Dalam sastra baru, spektrum luas eksperimen telah melahirkan segala yang bagus dan buruk, termasuk apa yang disebut novelis Rick Moody sebagai ”postmodernism tanpa luka.” Agaknya, inilah semangat yang sedang melanda musik kontemporer di Eropa, salah satu faktor yang memungkinkan banjir subsidi pemerintah, yang membuat kita di Indonesia layak cemburu.
Keempat, sama-sama rentan pasar. Kalau kita merujuk pada sebuah daftar buku terlaris—The New York Times, misalnya—persentase tertinggi adalah untuk kategori ringan-populer-komersial. Segelintir masuk kategori yang tak masuk akal, sisanya satu-dua permata. Dalam musik, kata Pierre Boulez, ”Ada musik yang menghasilkan uang, ada musik yang tak ada sangkut-pautnya dengan keuntungan komersial. Dan tidak ada liberalisme yang bisa menghapus distingsi itu.”
Dalam resital Ananda kali ini, perbandingan yang terakhir tampak tidak hanya pada pilihan bahan, tapi juga urutannya. Ia masuk dengan Gareth Farr, komponis asal Selandia Baru. Tiga lagu pertama, love song, meski ”komunikatif” ala musik Michael Nyman untuk film The Piano, terasa dangkal, mentah, mudah ditebak. ”Saya akan mulai dengan yang mendayu-dayu.” kata Ananda pada awal acara. Bagi saya, bukan mendayu-dayu, melainkan tak jujur: pop berpretensi serius, mediokritas yang sok relevan. Tapi besok mungkin dicomot untuk jadi tema sebuah film.
Dua karya berikutnya, ode untuk gamelan Bali, yang digubah khusus untuk memperingati tragedi 12 Oktober (masing-masing oleh Gareth Farr dan komponis Austria Nancy van de Vate), adalah gejala lain dari penyakit yang sama. Gejala itu, penerjemahan harfiah dan bukan penafsiran ulang, memang bisa menjadi sesuatu yang mencemaskan ketika yang menjadi inspirasi adalah tradisi. Padahal penerjemahan bunyi Bali ke dalam musik untuk piano bukanlah barang baru, dari yang semi-literal (Trisutji Kamal, Jaya Suprana) sampai yang esensial (Dieter Mack). Tapi, di tangan seorang komponis yang malas, yang tak bersedia bergulat dengan warna dan kompleksitas, seni ini pada akhirnya bukanlah mengenai musikalitas, resonansi, ataupun teknik komposisi. Ia diseret ke tataran yang paling banal dan amusikal: teknik menulis not.
Tapi, sesuai dengan logika pasar tadi, habis gelap terbitlah terang. Karya minimalis Elena Kats-Chernin, Tremors, Dreams, Memories, adalah sebuah karya yang cerdas dan percaya diri. Ia seakan tak terbebani oleh pengaruh sejumlah karya, betapapun terkenal: Etude Chopin Opus 25 No. 12 atau Prelude No. 1 dari Well Tempered Clavier karya Bach. Ia juga menunjukkan bagaimana minimalisme yang ”kaya” bisa efektif, sekaligus menjadi rem bagi ambisi-ambisi besar modernisme yang tak jarang menjerat musik kontemporer dalam carut-marutnya sendiri.
Dua karya David del Puerto, Rayo del Sol en La Ventana (”Sinar Matahari Menembus Jendela”) dan Humores, adalah sepasang sajak yang indah untuk Alicia, putri Ananda semata wayang. Di dalamnya ada rasa, renungan, dan sihir. Terutama di Rayo del Sol, gamelan Bali menjadi sesuatu yang subliminal, yang membayang di sela interval kwint prima yang menjahit karya tersebut. Alio Modo, sebuah masterpiece kontrapuntal, adalah tujuh menit yang intens dan memukau, dengan gamelan Bali menyelip ”masuk” dan ”keluar”, seperti Debussy dan Bartok yang dilebur dalam sebuah teks.
David del Puerto dan dua rekannya, Jesus Rueda dan Santiago Lanchares, adalah motor sebuah aliran baru di Spanyol yang kini sangat berpengaruh di Eropa. Namanya Musica Presente. Berbeda dengan banyak aliran lain, ia pluralistis dan tak antitradisi. Ia mendulang bunyi dari sana-sini—Jepang, India, Indonesia—dan berutang inspirasi pada komponis Prancis Olivier Messiaen. Ia mengupayakan sesuatu yang lebih langgeng, yang tak ”musiman”. Ia membawa musik ke ruang-ruang ”bukan pusat”: kafe, galeri, kantong budaya alternatif. Fleksibilitas ini jelas pada beberapa fragmen karya Rueda, Interludes, yang romantik sekaligus radikal. Meski tak menolak tonalitas (Lullaby adalah lagu ninabobo yang sungguh cantik), eksperimen dengan ritme, bunyi, dan harmoni tetap dominan.
Pada akhirnya, apa pun ”kekinian” musik kontemporer, apa pun nilai dan daya tahannya, mungkin Stravinsky benar: yang berharga adalah inspirasi yang ”dicuri”, bukan sekadar ”dipinjam”.
Laksmi Pamuntjak, pengamat seni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini