Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gerilya di Pinggiran Tapal Kuda

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MERCEDES-Benz hitam bernomor DK 162 JL berhenti di depan aula Dinas Sosial Kabupaten Pasuruan di Bangil, Jawa Timur, Sabtu pekan silam. Puluhan orang bergegas mengerumuni dan berebut menyalami tamu istimewa: Amien Rais.

Kehadiran bekas "bintang" reformasi 1998 itu menjadi istimewa bukan karena ia Ketua MPR, tapi terutama oleh sebab kedatangan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu berlangsung lancar, bahkan disambut hangat sebagian masyarakat dan pejabat Pemerintah Daerah Pasuruan. Padahal, begitu K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lengser sebagai presiden, yang ikut dikomporinya, Amien langsung "dicekal" datang ke sana.

Berkemeja batik cokelat muda, Amien menebar senyum. Ia membalas uluran tangan penyambutnya, termasuk Bupati Pasuruan, Jusbakir Aljufri. ''Waktu terus berputar. Saya dulu tidak diterima di kawasan Tapal Kuda. Sekarang sudah disambut dengan hangat. Saya bersyukur,'' katanya di hadapan simpatisan PAN.

Malam harinya, Amien bertandang ke Pesantren Syekh Abdul Qodir Jailani di Probolinggo. Di sini pun ia disambut hangat sekitar lima ribu jemaah yang menggelar Manakiban (puji-pujian kepada Rasulullah). Begitu tiba, Amien langsung disambut K.H. Hafid Aminuddin, sang pengasuh Pondok. Sehelai sorban lalu dibalutkan Hafid ke leher Amien.

Kemarinnya, Amien juga sowan ke Pesantren Lirboyo asuhan kiai khos Idris Marzuki, dan ke Pesantren Al-Falah Ploso milik K.H. Zainuddin Djazuli. Dari Kediri, dia menyambangi kiai tarekat Djalil Mustaqim di Pesantren PETA, Tulungagung. Beberapa hari sebelum ke Tapal Kuda, Amien juga melongoki tiga pesantren NU di Jawa Barat. Al-Jauhariyah di Balerante, Palimanan, Pesantren Buntet di Cirebon asuhan K.H. Abdullah Abbas, serta Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, milik K.H. Ilyas Ruchiyat.

Namun sambutan terhadap Amien di Lirboyo cenderung dingin. Dia hanya ditemui satu pengasuh Lirboyo, K.H. Imam Yahya Machrus, dan sekitar 10 santrinya. Padahal, saat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea berkunjung ke sana, 28 September lalu, ribuan santri memadati aula. Idris, yang termasuk kiai khos NU, pun berkenan menyambut langsung dan merestui tokoh PDIP itu (tapi tak terpilih) menjadi Ketua Umum PSSI.

Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, K.H. Ali Maschan Moesa, dengan jujur mengakui, sambutan atas Amien sebuah kemajuan. Tapi itu sebetulnya baru sebatas pinggiran. Indikasinya? "Ya, sambutan sewaktu di Lirboyo itu," kata Ali.

Ali pun menasihati Amien dan tim suksesnya agar tak terlampau ge-er. Apalagi sikap terbuka sebagian masyarakat di Tapal Kuda pada gerilya Amien tak lepas dari masalah yang tengah melanda massa NU dengan PKB di hampir di semua level.

Kultur masyarakat NU, menurut kakak kandung politikus Ali Masykur Musa itu, bersifat struktural: hanya akan mengikuti instruksi kiainya. Jadi, selama belum ada sinyal dari "atas", sulit berharap umat di bawah mau melirik. "Silakan Pak Amien Rais atau siapa pun datang membantu pesantren, tapi soal sikap politik, ya nanti dulu," kata Ali. Pokoknya, tidak mudah dan sederhana.

Kiai khos dari Pasuruan, Achmad Mas Subadar, pun segendang seirama. Selama hanya kunjungan silaturahmi, itu tiada soal. Tapi dalam hal politik? Kiai yang dikenal temperamental ini tegas menggeleng. Baginya, Ketua MPR itu masih dianggap aktor di balik lengser-nya Gus Dur dari kursi kepresidenan, dulu.

"Saya yakin, politiknya Pak Amien enggak akan bisa masuk. Artinya, yang dulu itu masih mengganjal," katanya kepada TEMPO. Bagi kedua tokoh itu, selain Amien, Hamzah—yang notabene "berdarah" NU—mustahil merebut suara PKB di Jawa Timur.

Poerwanto Soewadji, agen tim sukses pelawatan Amien ke Tapal Kuda, memang tak memasang target ambisius. Karena itu ia mengaku senang dengan sambutan masyarakat di sana. Sebab, serangkaian kunjungan itu lebih dimaksudkan sebagai pembuka pintu bagi rencana "Tur Ramadan" Amien ke Pulau Jawa. Dari respons positif lawatan pekan lalu, dia optimistis lawatan berikutnya tak akan menghadapi hambatan berarti. "Kita tahu diri, tidak ambisius pasang target. Kalau makan bubur panas, kan jangan langsung, tapi pelan-pelan dari pinggiran dulu," katanya.

Sudrajat, Bibin Bintariadi (Pasuruan), Dwijo U. Maksum (Kediri), Ivansyah (Cirebon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus