Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN lalu Yogyakarta berselubung kabut duka. Seorang dalang tenar, Ki Timbul Hadiprayitno, wafat pada usia 79 tahun. Dia orang besar dengan penampilan prasaja, sederhana, lugas, tidak sombong, grapyak sumanak, dan sangat santun. Setiap kali berdialog dengan siapa saja, Ki Timbul selalu menjalin keakraban dan menyenangkan.
Sewaktu sejumlah dosen Institut Seni Indonesia Surakarta menjenguk ke rumahnya beberapa tahun silam, ketika terjadi musibah gempa bumi, Ki Timbul tetap tabah. Kendati bernaung di bawah tenda darurat, dia masih tetap tersenyum dan berucap: ”Sebelum ini saya tergolong miskin, jadi kondisi ini sudah jauh lebih baik.” Konon, sumbangan beras, gula, teh, dan mi kering kiriman koleganya tidak dinikmati sendiri, tapi dibagikan kepada masyarakat yang lebih menderita.
Zaman keemasan pewayangan adalah di masa Orde Baru. Berkat kepiawaiannya, sebagai salah satu dalang khas gagrag Yogyakarta, Ki Timbul Hadiprayitno turut menikmati. Segmen pasarnya meluas di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Ki Timbul bahkan mondar-mandir ke Jakarta untuk menghibur penggemarnya. Dia selalu mendapat kepercayaan untuk menggelar lakon pesanan Presiden Soeharto, Semar Mbabar Jati Diri.
Sosok dalang seperti Ki Timbul Hadiprayitno sulit dicari sekarang. Pada umumnya dalang mudah silau oleh bentuk wayang yang menghibur secara instan. Beberapa pihak mengatakan Ki Timbul sangat ketat menyajikan pakelirannya dengan mengacu pada pakem Yogyakarta. Apakah benar begitu? Ternyata tidak 100 persen benar. Beberapa repertoar lakon yang disajikan Ki Timbul merupakan modifikasi cerdas. Dia mengadopsi beberapa lakon Ki Nartosabdo dan memberi bumbu gaya Yogyakarta: suluk, gending, dan antawacana.
Ki Timbul Hadiprayitno menganggap bentuk fisik wayang gaya Yogyakarta kurang mendukung keahliannya di bidang sabet. Lalu apa kiatnya? Dia memesan wayang putihan, yang belum diwarnai, kepada perajin wayang gaya Solo dan disungging gaya Yogyakarta. Hal ini tidak terpikirkan oleh para dalang Yogyakarta sebelumnya. Cara ini kemudian diikuti oleh sejumlah dalang muda yang bermazhab Yogyakarta.
Sekitar tahun 2000, seorang jenderal di Jakarta meminta saya mengundang Ki Timbul Hadiprayitno mendalang di Magelang, Jawa Tengah. Siang hari meruwat dan malam harinya menggelar wayang. Ada sejumlah anggota panitia khawatir Ki Timbul tidak dapat mengundang tawa penonton. Panitia akhirnya menyepakati bahwa Ki Timbul akan ditemani seorang pelawak, agar suasana lebih gayeng.
Keputusan itu saya sampaikan kepadanya lewat telepon. Apa jawabnya? ”Sekarang juga kamu ke Patalan (rumahnya), ambil semua uang muka yang sudah kamu berikan!” Saya terperangah, kenapa begitu, Ki? Setengah marah Ki Timbul Hadiprayitno menjawab: ”Dagelan masuk ke jagat kelir wayang ibarat cawet, celana dalam, yang dipakai untuk ikat kepala.” Itulah gambaran betapa kukuh pendirian Ki Timbul dalam masalah prinsip. Padahal, di masa itu, sudah sangat lazim kelir dalang dibikin gayeng dengan hadirnya dagelan.
Banyak dalang muda Yogyakarta menggerutu lantaran tarif pentas Ki Timbul yang relatif murah. Sewaktu diklarifikasi, dengan sigap Ki Timbul menjawab: ”Apakah mutu dalang ditentukan oleh mahalnya ongkos?” Tak semua penggemar Ki Timbul memang orang kaya. Banyak penggemarnya hidup dalam kemiskinan. Kehadiran Ki Timbul dalam perhelatan keluarga dianggap membawa angsar bagus atau berkah bagi keluarga pengundang beserta masyarakat sekitarnya.
Menginjak usia lanjut, gaya humor masa mudanya masih sering terekspresi: ”Tolong, kalau Anda ke mancanegara, saya diberi oleh-oleh obat perangsang, agar dapat membangkitkan kembali keperkasaan saya.” Seorang dalang muda nyeletuk: ”Apa Bapak masih membutuhkan?” Jawabnya mengejutkan dan mengundang tawa yang mendengarkan: ”Semua wayang akan saya jamoni, agar kelihatan lebih hidup dan bergairah.”
Pada akhirnya Ki Timbul Hadiprayitno selalu mengajak kita mendalami kearifan yang bersifat falsafi. Almarhum tetap timbul, tidak pernah tenggelam dari kenangan, meski sudah tidak bersama kita. Selamat jalan, Ki Timbul. Semoga Anda memperoleh semua yang jauh lebih baik dari dunia fana ini.
Bambang Murtiyoso (Dosen Institut Seni Indonesia Surakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo