Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila Tuhan demikian kuasa, kenapa Ia tak bunuh Iblis, supaya tak berbuat jahat?
ITU pertanyaan Si Jum'at, orang 'biadab' yang sedang belajar menerima ajaran Kristen dalam Robinson Crusoe. Dialog tentang Tuhan tentu bukan bagian paling seru bagi umumnya pembaca buku termashur ini. Daniel Defoe lazim diingat sebagai orang yang menuliskan petualangan seorang Inggris di pulau terpencil tempat ia terdampar selama 28 tahun.
Tapi Defoe tak cuma bicara tentang seorang lelaki perkasa yang mengalahkan alam dan menjinakkan orang kanibal di 'Pulau Putus Harapan', nun di wilayah tropis dekat Trinidad. Ia juga bicara tentang Tuhan dan manusia begitu rupa hingga hampir satu setengah abad setelah buku itu terbit, Dublin University Magazine (1856) menyebut Robinson Crusoe sebagai 'puisi religius yang dahsyat, yang menunjukkan, Tuhan ditemukan di mana manusia tak hadir'.
Tak mengherankan bila ada yang mengira Defoe terpengaruh kitab Hayy ibnu Yaqzan, karya Ibnu Tufail. Dalam karya ini filosof Spanyol zaman Islam itu juga membahas Tuhan, iman, dan akalbudi dalam kehidupan seorang yang tumbuh sendiri di sebuah pulau. Hayy ibnu Yaqzan yang terbit di abad ke-12 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1713; Robinson Crusoe terbit setahun kemudian. Mungkin Defoe membacanya. Tapi ada perbedaan besar antara kedua karya itu.
Hayy seorang yang memilih kesunyian dalam mengenal Tuhan. Crusoe sebaliknya. Ia selalu ingin kembali ke negeri asalnya. Ia juga ingin ada orang lain - sebagai budak. Akhirnya niatnya sampai, dalam bentuk lain: pada suatu hari, tampak olehnya beberapa orang kanibal membawa tawanan ke pulau itu untuk disantap. Crusoe membunuh mereka. Dengan demikian seorang tawanan diselamatkannya: seorang pemuda yang berterima kasih tak terhingga, yang sejak itu hidup bersama Crusoe. Ia beri nama 'Si Jum'at', sesuai dengan hari ia ditemukan.
Crusoe ingin Si Jum'at jadi pemeluk Kristen. Tapi pelaut Inggris ini bukan penginjil yang siap. Ia menemukan Tuhan-nya dengan belajar tanpa pemandu, tanpa sekolah. Maka ia tak bisa menjawab pertanyaan yang rumit seperti tadi: bila Tuhan demikian kuasa, kenapa Iblis tak ditiadakannya?
Crusoe: Bukankah Tuhan tak membunuh aku dan engkau, ketika kita berbuat keji? Kita dibiarkan agar kita bertobat dan mendapatkan ampun kelak.Jum'at: Oh, jadi kita, Iblis dan semua, dibiarkan agar bertobat dan dapat ampunan kelak…
Bagaimana ia harus melanjutkan percakapan itu, bila baginya Iblis tak termasuk dalam daftar yang diharapkan bertobat? Penjelasan Crusoe macet. Ia pun cari alasan untuk menghentikan pembicaraan - dan diam-diam berdoa agar ia mampu menyelamatkan 'orang buas yang malang' itu.
Tapi tak mudah. Ia datang dari tradisi Protestan yang militan, di sebuah zaman ketika di Eropa konflik keyakinan bertaut dengan perang antar bangsa. Ia anti Katolik ('papists') yang yakin Tuhan tak bisa diwakili lembaga dan pendeta. Dari pengalamannya - sejak ia meninggalkan rumah menentang nasihat ayahnya untuk tak berpetualang - iman dan penebusan dosa ditempuhnya sendiri. Di pulau yang terpencil itu ia membaca dan menafsir Injil tanpa orang lain.
Dengan kata lain, tak mungkin ia jadi penyambung sabda Tuhan ke dalam sukma Si Jum'at. Pemuda ini harus mendapatkan pencerahan langsung: 'Hanya wahyu Ilahi dapat membentuk Pengetahuan tentang Jesus Kristus' - itulah keyakinannya.
Tapi di pulau itu ia tahu, wahyu tak datang ke semua orang. Ia menyaksikan kebuasan orang-orang kanibal. Berdosakah mereka, bila mereka tak pernah bersua dengan Kitab Suci? Mengapa 'Tuhan senang menyembunyikan Pengetahuan yang menyelamatkan itu dari berjuta-juta Jiwa?'
Ia merasa tak bisa memberi kata akhir. Bahkan ketika ia berkuasa atas tiga orang lain di pulau sunyi itu: Si Jum'at, yang baginya sudah jadi Protestan, seorang serdadu Spanyol, orang Katolik yang diselamatkannya dari para kanibal, dan ayah Si Jum'at, seorang kafir yang juga ditolongnya dari pembantaian - tiga orang warga yang tunduk penuh karena berutang budi kepadanya. Garis politik Crusoe: 'Aku mengijinkan kebebasan Hati Nurani di wilayah kekuasaanku'.
Mungkin Robinson Crusoe sebuah kisah pemerintahan sekuler pertama dalam sejarah, ketika agama-agama membenarkan diri secara absolut untuk memandu peperangan. Untunglah: pulau itu jauh dari Eropa yang terbakar. Di situ Crusoe melihat, ada percakapan yang mungkin, juga kebaikan, yang bisa dilakukannya bersama orang-orang itu, meskipun iman mereka sesat atau doktrin mereka tak meyakinkan.
Apalagi ia sendiri tak bisa merasa suci. Bahkan baginya, Si Jum'at orang Kristen yang lebih baik ketimbang dirinya. Seorang yang dekat dengan tradisi Puritanisme, Defoe menampilkan Crusoe sebagai orang yang yakin akan kekuatan Iblis di mana-mana. Keyakinan ini memang tak bisa menjawab bagaimana Tuhan, yang digambarkan sebagai Maha Pengasih, tega menghadirkan kekejian dalam hidup manusia -- seperti tersirat dalam pertanyaan Si Jum'at. Tapi dengan sejenis paranoia seorang Puritan, Crusoe bisa melihat betapa dekatnya manusia, yakni dirinya sendiri, dengan kejatuhan.
Kejatuhan itu datang sedikit-sedikit. Ia suka memanfaatkan nama Tuhan untuk kepentingan yang tak ada hubungannya dengan yang suci -- misalnya dengan menyatakan bahwa Tuhan-lah yang menggerakkan jarinya menarik pelatuk bedil, seakan-akan tak ada kehendaknya sendiri untuk membunuh. Ia pernah berencana pura-pura jadi seorang Katolik dan pergi ke Brazil, untuk mendapatkan kembali hartanya.
Dengan demikian ia seorang gagah berani dalam arti lain. Robinson Crusoe, kisah petualangan itu, juga sebuah statemen bahwa keberanian manusia adalah untuk mengakui: aku, yang berada di bawah Tuhan dan di dekat Setan, tak bisa dengan mudah menghakimi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo