Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Yang mencurigai kata

Jakarta: sinar harapan, 1981 resensi oleh: subagio sastrowardoyo. (bk)

13 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

O AMUK KAPAK Sutardji Calzoum Bachri Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981, 131 halaman DI dalam colonnes sans fin, Sutardji Calzoum Bachri mempergunakan tiang tanpa akhir sebagai motif sajaknya. Motif itu tentunya diambil dari patung pemahat Constantin Brancusi, yang telah mendirikan sebuah tiang berbuku-buku yang lurus menjulang ke langit. Gerak ke atas seperti yang dikesankan oleh patung itu berulang-ulang kita jumpai dalam sajak-sajak Sutardji. Apakah gerak itu pada "burung/sungai/kelepak/mau sampai ke langit" (daun), pada para peminum yang mabuk mendaki gunung "memetik bulan/di puncak" (para peminum) atau pada diri penyair yang dibawa "ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung/ke bintang bintang" (perjalanan kubur). Gerak ke atas itu bisa menyaran kepada pencapaian penyair dalam kerja sastranya, seperti pada sajak nuh: "tanah-tanah-tanah/beri aku puncak/untuk mulai lagi berpijak!" Kepuasan akan keberhasilan itu ditunjukkan juga dengan motif tiang tak berujung Brancusi itu "Tiang tanpa akhir ah betapa kecilnya kau jauh di bawah kakiku," katanya dengan sombong. Dalam sajak-sajak lain gerak ke atas itu punya sangkutan dengan salah satu tema pokok Sutardji, yakni gapaian dan pencariannya kepada Tuhan. Lingkup perhatian dalam sajak-sajak Sutardji tidaklah luas dan beserba. Pemikirannya melingkar-lingkar pada tiga masalah hidup yang asasi, yakni Tuhan yang menjadi teka-teki, maut yang merundung manusia sejak semula, dan cinta. Cinta ini ditanggapnya dalam gejalanya yang primitif, sebagai gairah seks dalam bentuknya yang paling bugil. Misalnya seperti yang dinyatakannya dalam sajak apakah manusia? yang dimulai dengan unsur hasrat. Atau dalam bentuk gerak-gerik mekanis, seperti dalam sajak mesin kawin. Tanggapan yang lahir dari kejiwaan yang sengaja hendak menanggalkan pakaian peradaban itu tercermin juga dalam penonjolan judul ketiga kumpulan sajak yang diterbitkan dalam satu buku ini O Amuk Kapak. Sudah cukup memperbincangkan orang mengenai Kredo Puisi atau semacam 'surat kepercayaan' Sutardji mengenai sajak-sajaknya. "Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea." Pernyataan ini biasanya keliru ditafsirkan seakan-akan Sutardji dalam menulis sajaknya membebaskan kata dari pengertian. Sebenarnya pengertian itu masih lekat dengan tebalnya pada kata-kata Sutardji, bahkan pengertian itu identik dengan kata. "Kata adalah pengertian itu sendiri," kata penyair itu dalam Kredo-nya. Justru karena kata-kata Sutardji masih dihinggai pengertian, bisa kita tangkap kedalaman pikiran dan kesungguhan pengalamannya yang tertuang dalam kata-kata penuh asosiasi seperti ini: "rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala nyata." Bahkan pada kebanyakan baris sajak, kata-katanya masih tetap merupakan "alat mengantarkan pengertian" yang justru hendak dihindarkan penyairnya. Pengertian jelas terungkap oleh kata-kata ini: "aku telah nemukan jejak/aku telah mencapai jalan/tapi belum sampai tuhan." Rupanya di antara dalil-dalil Kredonya, yang betul-betul terlaksana adalah pembebasan kata dari "tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata." Memang terdapat sejenis keberanian pada Sutardji, yang mempergunakan kata-kata yang biasa dianggap jorok dalam pergaulan sopan--seperti menyebut langsung alat kelamin dan lontaran caci maki. Paling menyolok adalah tak pedulinya terhadap aturan-aturan umum tata bahasa. Berbagai fungsi kata telah diputarbalikkan kata sifat menjadi kata benda ("seribu sibuk"), kata benda menjadi kata sifat ("yang paling mawar/yang paling duri"), kata keterangan menjadi kata kerja ("kusangat ingin-Nya"), kata benda menjadi kata kerja ("kapan kau sayap diamnya batu"). Bentuk jamak tidak lagi diulang sekali melainkan banyak kali, seperti "dari datuk-datuk-datuk-datukku". Kata ingkar "tak " dieksploatasi sehabis-habisnya, sehingga lebih ekspresif dengan meletakkannya pada hubungan kalimat yang tidak biasa: "segala buntung segala tak tangan", atau "guruh tak ada/kilat tak", juga "tapi mungkin kalian tak hau masih tak tak". Mengejutkan adalah kombinasi kata-kata yang tidak pernah terdengar sebelumnya, seperti "ribubelas babi nyeruduk", "resah-risau resah-balau". Penyelewengan dari aris umum pemakaian bahasa itu merupakan unsur kejutan pada estetika sajak Sutardji. Demikian juga gejala paradoks atau pertentangan pengertian seperti "sepisau nyanyi" (nyanyi yang setajam pisau?) atau "sebatas allah ' (kekuasaan Tuhan punya batas?) adalah cara-cara berbahasa Sutardji yang memukau. Tetapi bukanlah bentuk-bentuk ucapan itu yang mengangkat sajak-sajaknya di atas perkembangan sastra dewasa ini. Unsur-unsur kejutan yang menarik perhatian kepada pemakaian bahasa sendiri itu hanya menunjukkan adanya suatu gaya yang khas Sutardji. Yakni salah satu di antara berbagai gaya dalam kerja kepenyairan modern Indonesia. Yang sebenarnya menonjolkan Sutardji sebagai penyair penting dewasa ini adalah usahanya untuk mencapai hakikat kata. Dikatakannya dalam Kredonya, bahwa ia "mengembalikan kata pada awalnya". Lebih dari penyair lain, Sutardji sadar akan kekaburan makna kata. Ia pada dasarnya menaruh curiga kepada kata. Makna kata selalu berada antara ada-tiada, dan setiap kali luput dari gapainnya. Tetapi sekali tercapai kata yang benar dan tepat, kita juga akan mencapai makna yang inti, yang paling mula. Selama belum tercapai, penyair Sutardji tetap rindu kepada kata itu. Dan Sutardji bergelut dengan beringasnya untuk merebut hakikat kata itu. Hakikat kata identik dengan hakikat Tuhan. Sutardji mengutip katakata dari Bibel "Pada mulanya malah kata" (Kredo). Rindunya kepada kata dan perasaan sepinya karena tiadanya kata, pada Sutardji telah mencapai tingkat dan suasana religi. "sejak kapan sungai dipanggil sungai", katanya, "sejak kapan tuhan dipanggil tak/sejak kapan tak dipanggil rindu" (sejak). Dalam sajak lain ia berkata: "bagaimana penyair bisa sampai tuhan/kalau kata tak sampai?". Alif lam Mim. Hampir putusasa rupanya hendak menggapai kata benar itu, Sutardji sampai pada bunyi kucing "ngiau" sekedar supaya Tuhan datang kepadanya. Atau ia memanggil Tuhan dengan kata-kata kosong tak berarti: "papaliko arukabazako kodega zuzukalibu..." Kata dan Tuhan tetap merupakan teka-teki. Dan kerahasiaan itu diungkapkan dengan amat misterius dalam sajak Q, yang berisi kata-kata Quran alif lam mim di tengah tanda-tanda petik. Huruf-huruf sampai kini tak bisa diartikan dengan pasti, tetapi dapat ditafsirkan dengan berbagai macam arti. Rindunya hendak mempersatukan diri dengan hakikat kata itu telah menghasilkan pula berbagai sajak tasauf yang mempesona, seperti sajak sudah waktu, tapi dan dapatkau. Kesadaran mistik itu telah berkali-kali terucapkan dalam sebutan hampir senapas "aku" dan "Kau". Juga pada kalimat dalam sebuah sajaknya "aku telah hidup sebelum musa", kutipan dari ucapan Nabi Isa dalam Bibel. Pencarian kepada kata dan Tuhan itu menyelusuri juga kumpulan sajak Kapak, yang menurut kata pengantarnya bertema maut. Tetapi maut adalah sisi balik dari Tuhan atau hidup. Maka kesepian, kerinduan, perasaan sia-sia dan pula sinisme karena putusasa dalam menghadapi hakikat Tuhan, terus meronta-ronta sampai akhir ketiga kumpulan sajak Sutardji ini. Perkembangan sajak modern Indonesia, yang pernah dikuasai oleh sajak naratif sebangsa balada Rendra, oleh Sutardji telah dikembalikan kepada rel Chairil Anwar yang bertolak dari sikap dan pandangan filsafat. Sutardji telah membebaskan sajak dari cerita, dari situasi manusia yang aksidental. Dengan Sutardji sajak kembali mengungkapkan situasi manusia yang mutlak, yakni selalu rindunya kepada persatuan dengan asal kejadiannya lewat penghayatan kata. Bahwa pada dasarnya kerinduan itu terdapat pada kita semua, dinyatakan oleh Sutardji dalam sajaknya berjudul Kalian yang berisi satu kata: "pun". Subagio Sastrowardoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus