SAMPAI dengan ulang tahunnya yang ke-4, 28 Pebruari, Pasar Seni
memang telah menjadi acara tetap bagi warga Ibukota yang datang
ke Taman Impian Jaya Ancol. Tulis Ismid Hadad, Direktur Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
mnyambut HUT itu: "Saya kira, metropolitan Jakatra dan
orang-orang macam saya ini, memang butuh sekali tempat seperti
Pasar Seni Ancol tu. Ia bukan sekedar tempat belanja
barang-barang kesenian. Juga bukan cuma tempar cari hiburan."
Data pengunjung Taman Ancol memang meningkat. 1976 tercatat 87
juta orang 1977, 8,9 juta dan 1978, 9,1 juta. Dari jumlah itu
yang mengunjungi Pasar Seninya -- dicatat dari jumlah kendaraan
yang parkir di pelatarannya -- rata-rata 25%.
Elektronik
Toh, ada juga suara sumbang. Banyak orang suka membandingkan
Pasar Seni Ancol ini dengan Taman Ismail Marzuki. Kenapa Pasar
Seni tidak seperti TIM? Atau sebaliknya, TIM tidak seperti Pasar
Seni? Sebagian orang menuding karyakarya yang katanya kurang
bermutu yang dijajakan di Pasar Seni. Sebagian menyayangkan
kenapa TIM tidak sesantai Pasar Seni.
Tentang mutu, Amrus Natalsya (45 tahun), pematung yang kini
bercokol di situ, malah menjawab bahwa di Pasar Seni ia lebih
banyak dapat input dari berbagai pandangan orang. Di samping itu
kritik di sini bisa terjadi secara langsung antar seniman tanpa
ketegangan. Memang, seperti kata Budi Sr., pelukis dan bekas
anggota Srimulat (yang kini juga punya grup sandiwara di situ)
adakalanya pengunjung bilang, "sejak dua bulan saya ke mari
lukisannya kok begitu-begitu juga."
Tapi yang penting hubungan lebih akrab antara seniman dan
pengunjung itu -- satu hal yang sulit dicapai dalam pameran
misalnya di TIM. Seniman yang menyewa kios untuk menawarkan
karyanya juga diharuskan berkarya di kiosnya. Ini memungkinkan
pengunjung dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana ia
bekerja. Dan cara begini, ahli merupakan satu bentuk apresiasi
kesenian juga, tanpa harus ada seminar atau ceramah -- yang
sering justru membingungkan .
Dari segi kreativitas, memang Pasar Seni selama empat tahun
belum menelorkan karya yang bisa dibilang "baru". Belum pernah
misalnya dijadikan arena promosi bagi seniman yang menemukan
satu gaya sendiri yang berbobot. Ini tidak bisa dipaksakan, dan
mungkin memang tidak perlu.
Yang perlu dijaga, seperti tulis Ismid Hadad, ialah
menghindarkan rusaknya suasana santai dan akrab itu -- misalnya,
mencegah masuknya permainan elektronik. Dan, seperti tulis Ajip
Rosidi, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, "harga barang kesenian
yang layak dan terjangkau kebanyakan orang patut dipertahankan.
Sebab jika harga itu sama dengan harga di pameran-pameran tempat
lain, usaha ini akan kehilangan salah satu fungsinya."
Dulu Pasar Seni hanya berlangsung tiga hari tiga malam, setiap
akhir bulan -- dimulai sejak akhir Pebruari 1975.
Pencetus ide ini Suluh Darmadji -- waktu itu Kepala Humas dan
Promosi Taman Impian tersebut. Melihat perkembangan, terpenting
bahwa Pasar Seni tak hanya diikuti seniman Jakarta, tapi juga
Bandung, Cirebon dan Yogya, waktu diperpanjang -- setiap bulan
sepuluh hari. Kemudian diputuskan untuk membuat tempat permanen
saja. Bermula dengan gubug-gubug bambu beratap rumbia, meski
berlampu neon, di belakang Teater Mobil.
Lalu 17 Desember 1977 pindah ke lapangan sebelah barat.
Mengambil tanah seluas 4 Ha, dengan biaya Rp 370 juta, sekitar
100 lebih kios permanen dibangun. Separuh di antaranya memang
khusus disewakan bagi seniman dengan hanya Rp 12 ribu sebulan.
Yang lain untuk rumah makan -- dan yang ini bisa lebih Rp 200
ribu sebulannya.
Dan sekarang Pasar Seni adalah pasar yang buka setiap hari
selama 24 jam. Kara Mustika, pelukis yang mengurus Ruang Pameran
TIM "Pasar Seni memang perlu ada. Lebih banyak tempat untuk
memamerkan karya seni, lebih baik." Memang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini