Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang perlu dipertahankan

Dari segi kreativitas pasar seni ancol dalam hut-nya yang ke-4 ini belum menampilkan karya yang baru. yang perlu dipertahankan harga layak & terjangkau masyarakat. masih dipertanyakan mutu karya seninya. (sr)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI dengan ulang tahunnya yang ke-4, 28 Pebruari, Pasar Seni memang telah menjadi acara tetap bagi warga Ibukota yang datang ke Taman Impian Jaya Ancol. Tulis Ismid Hadad, Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mnyambut HUT itu: "Saya kira, metropolitan Jakatra dan orang-orang macam saya ini, memang butuh sekali tempat seperti Pasar Seni Ancol tu. Ia bukan sekedar tempat belanja barang-barang kesenian. Juga bukan cuma tempar cari hiburan." Data pengunjung Taman Ancol memang meningkat. 1976 tercatat 87 juta orang 1977, 8,9 juta dan 1978, 9,1 juta. Dari jumlah itu yang mengunjungi Pasar Seninya -- dicatat dari jumlah kendaraan yang parkir di pelatarannya -- rata-rata 25%. Elektronik Toh, ada juga suara sumbang. Banyak orang suka membandingkan Pasar Seni Ancol ini dengan Taman Ismail Marzuki. Kenapa Pasar Seni tidak seperti TIM? Atau sebaliknya, TIM tidak seperti Pasar Seni? Sebagian orang menuding karyakarya yang katanya kurang bermutu yang dijajakan di Pasar Seni. Sebagian menyayangkan kenapa TIM tidak sesantai Pasar Seni. Tentang mutu, Amrus Natalsya (45 tahun), pematung yang kini bercokol di situ, malah menjawab bahwa di Pasar Seni ia lebih banyak dapat input dari berbagai pandangan orang. Di samping itu kritik di sini bisa terjadi secara langsung antar seniman tanpa ketegangan. Memang, seperti kata Budi Sr., pelukis dan bekas anggota Srimulat (yang kini juga punya grup sandiwara di situ) adakalanya pengunjung bilang, "sejak dua bulan saya ke mari lukisannya kok begitu-begitu juga." Tapi yang penting hubungan lebih akrab antara seniman dan pengunjung itu -- satu hal yang sulit dicapai dalam pameran misalnya di TIM. Seniman yang menyewa kios untuk menawarkan karyanya juga diharuskan berkarya di kiosnya. Ini memungkinkan pengunjung dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana ia bekerja. Dan cara begini, ahli merupakan satu bentuk apresiasi kesenian juga, tanpa harus ada seminar atau ceramah -- yang sering justru membingungkan . Dari segi kreativitas, memang Pasar Seni selama empat tahun belum menelorkan karya yang bisa dibilang "baru". Belum pernah misalnya dijadikan arena promosi bagi seniman yang menemukan satu gaya sendiri yang berbobot. Ini tidak bisa dipaksakan, dan mungkin memang tidak perlu. Yang perlu dijaga, seperti tulis Ismid Hadad, ialah menghindarkan rusaknya suasana santai dan akrab itu -- misalnya, mencegah masuknya permainan elektronik. Dan, seperti tulis Ajip Rosidi, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, "harga barang kesenian yang layak dan terjangkau kebanyakan orang patut dipertahankan. Sebab jika harga itu sama dengan harga di pameran-pameran tempat lain, usaha ini akan kehilangan salah satu fungsinya." Dulu Pasar Seni hanya berlangsung tiga hari tiga malam, setiap akhir bulan -- dimulai sejak akhir Pebruari 1975. Pencetus ide ini Suluh Darmadji -- waktu itu Kepala Humas dan Promosi Taman Impian tersebut. Melihat perkembangan, terpenting bahwa Pasar Seni tak hanya diikuti seniman Jakarta, tapi juga Bandung, Cirebon dan Yogya, waktu diperpanjang -- setiap bulan sepuluh hari. Kemudian diputuskan untuk membuat tempat permanen saja. Bermula dengan gubug-gubug bambu beratap rumbia, meski berlampu neon, di belakang Teater Mobil. Lalu 17 Desember 1977 pindah ke lapangan sebelah barat. Mengambil tanah seluas 4 Ha, dengan biaya Rp 370 juta, sekitar 100 lebih kios permanen dibangun. Separuh di antaranya memang khusus disewakan bagi seniman dengan hanya Rp 12 ribu sebulan. Yang lain untuk rumah makan -- dan yang ini bisa lebih Rp 200 ribu sebulannya. Dan sekarang Pasar Seni adalah pasar yang buka setiap hari selama 24 jam. Kara Mustika, pelukis yang mengurus Ruang Pameran TIM "Pasar Seni memang perlu ada. Lebih banyak tempat untuk memamerkan karya seni, lebih baik." Memang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus