Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang Salah Yang Mahal

Pameran koleksi benda pos di tim, 22-25 september 1983, bagian yang menarik adalah yang aneh dan yang salah cetak, harganya pun makin mahal. (sr)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH cetak adalah sahabat para philatelis. Prangko yang tercetak dengan warna yang lebih muda atau lebih tua, atau yang hurufnya tercetak terbalik, misalnya, di dunia para pengumpul prangko punya harga khusus. Hukumnya gampang saja: makin aneh salah cetaknya, atau makin jarang prangko salah ditemukan, makin tinggi harganya. Maka, dari Panfila 1983 - pameran koleksi benda pos oleh Perkumpulan Philateli Indonesia dan Perum Pos dan Giro - di Taman Ismail Maruki, 22-25 September, bagian paling menarik adalah yang menyajikan koleksi prangko seperti itu. Memang, bagi awam ketidaksempurnaan itu tak selalu gampang dilihat. Misalnya, bila perforasi (gerigi pada pinggir prangko) tak sama besar antara satu sisi dan sisi lain. Atau bila huruf-huruf pada prangko ada yang tak tercetak sempurna. Ini pernah terjadi dengan prangko Irian Jaya 1962 (tentu, kala itu namanya masih Nederlands Nieuwguinea) di 2aman administrasi pemerintahan UNTEA. Huruf 'A' dari UNTEA itu ada yang kehilangan garis tengahnya. Dan pasaran prangko itu tiga tahun lalu sekitar Rp 200 ribu per buah. Hal lain yang bisa mengatrol harga prangko berlipat-lipat ialah usia barang cetakan itu. Dalam pameran ini Philatelis Untung Raharjo antara lain memamerkan prangko Indonesia pertama, berukuran sekitar 2 x 1« cm, bergambar Raja William III, berwarna cokelat tua. Prangko itu dicetak pada 1864, 24 tahun setelah prangko pertama. Prangko ini pulalah yang pertama menghias sampul surat antarkota di Hindia Belanda, atau surat yang dikirimkan dari sini ke luar negeri. Nilai nominalnya cuma 10 sen - tapi kini pasarannya sekitar Rp 125 ribu per prangko. Dan jangan dikira dalam dunia philateli tak ada unsur subversi. Misalnya yang terjadi dengan prangko seri buah, peringatan Hari Sosial 1961. Waktu itu terbit prangko bergambar nanas, manggis, dan rambutan. Satu lagi, yang bergambar salak, kemudian dinyatakan tak berlaku. Pasalnya, konon, prangko salak itu hilang dalam jumlah besar. Maka, tak saja prangko salak termasuk jenis langka, tapi juga mengandung unsur cerita yang seram. Dan di antara para philatehs bukannya tak ada yang punya koleksi 'si salak', kalau dia tak muncul di Panfila 1983. "Prangko itu dinyatakan tidak sah jadi siapa berani memamerkannya?" tutur seorang peserta pameran. Prangko tentu saja tak luput dari pengaruh perkem angan percetakan. Dipakainya sistem cetak offset di Indonesia sekitar awal 1970-an mengakibatkan prangko-prangko kita sejak masa itu kaya dan cemerlang warna-warnanya - dibandingkan, misalnya, dengan prangko kita tahun 1950-an. Tapi tak berarti perancangan prangko kita sejak 1970-an lebih baik. Dilihat dari segi grafis, malahan beberapa prangko 1940-an dan 1950-an mencapai mutu yang belum tertandingi. Prangko peringatan Hari Proklamasi 1955, misalnya. Dengan memasukkan naskah asli proklamasi tulisan Bung Karno, prangko ini menjadi begitu artistik. Perancangnya, Amat bin Djupri, dengan berani mengisi semua bidang dengan gambar. Lalu prangko lain, yang juga dikeluarkan sehubungan dengan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Ini bergambar seekor banteng dengan latar belakang bendera merah-putih. Paduan gambar banteng yang realistis dan komposisi tulisan (ada tulisan Indonesia Merdeka, 17 Agoestoes 1948) yang cenderung dekoratif itu termasuk rancangan grafis yang indah dan ekspresif. Satu lagi, prangko 1946. Ini bergambar kepala banteng mendongak, memutuskan rantai yang membelenggu. Kualitas gambarnya jarang didapat. Tahun 1967 muncul rancangan prangkoyang sedikit unik. Dari segi gambar menarik, karena merupakan reproduksi lukisan Raden Saleh: pertarungan banteng dengan harimau. Dan bagaimana si perancang meletakkan gambar, termasuk jaran. Gambar itu tak di tengah, tapi digeser kekiri atas. Jadinya, ruang di sisi kanan dan bawah lebih lebar. Kebanyakan rancangan grafis prangko Indonesia begitu sederhana. Asal gambar jelas, kemudian di ruang kosong ditulis nama Indonesia, dicantumkan pula untuk apa prangko diterbitkan, lalu harga nominalnya, selesai. Seperti tak ada usaha mengatur komposisi. Mungkin karena ini, menurut seorang philatelis, nilai tukar prangko kita rendah, dibanding prangko luar negeri. Tentu ada kecualinya - yang tadi, prangko yang menyimpang atau salah cetak. Tapi ada kecualinya pula, ialah salah cetak yang sengaja dilakukan oleh pihak pos. Yang seperti ini tentu saja justru menjatuhkan harga. Ini pernah terjadi di Amerika Serikat, prangko peringatan PBB dengan gambar Sekjen PBB kala itu, Dag Hammarskjold, ternyata sekitar 200 prangko salah cetak warna, dan lolos dari seleksi pihak pos AS. Tahu begitu, dengan maksud cari untung tentu, pos AS diam-diam malah memperbanyak yang salah cetak itu sebanyak 10 juta prangko. Bisa dibayangkan, untuk sejenak para philatelis senang: kok, begitu gampang menemukan yang salah cetak itu. Diketahuilah kemudian, ini memang disengaja oleh pos AS. Maka perkumpulan philatelis disana pun protes. Sebab, ada aturan yang seharusnya ditaati: prangko-prangko yang oleh petugas pos diketahui salah cetak, harus diseleksi dan kemudian dibakar. Tak pantas bila pos dengan sengaja menjual barang yang menyimpang. Salah cetak yang dihargai adalah salah cetak yang lolos dari seleksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus