SALAH cetak adalah sahabat para philatelis. Prangko yang
tercetak dengan warna yang lebih muda atau lebih tua, atau yang
hurufnya tercetak terbalik, misalnya, di dunia para pengumpul
prangko punya harga khusus. Hukumnya gampang saja: makin aneh
salah cetaknya, atau makin jarang prangko salah ditemukan, makin
tinggi harganya.
Maka, dari Panfila 1983 - pameran koleksi benda pos oleh
Perkumpulan Philateli Indonesia dan Perum Pos dan Giro - di
Taman Ismail Maruki, 22-25 September, bagian paling menarik
adalah yang menyajikan koleksi prangko seperti itu. Memang, bagi
awam ketidaksempurnaan itu tak selalu gampang dilihat. Misalnya,
bila perforasi (gerigi pada pinggir prangko) tak sama besar
antara satu sisi dan sisi lain. Atau bila huruf-huruf pada
prangko ada yang tak tercetak sempurna.
Ini pernah terjadi dengan prangko Irian Jaya 1962 (tentu, kala
itu namanya masih Nederlands Nieuwguinea) di 2aman administrasi
pemerintahan UNTEA. Huruf 'A' dari UNTEA itu ada yang kehilangan
garis tengahnya. Dan pasaran prangko itu tiga tahun lalu sekitar
Rp 200 ribu per buah.
Hal lain yang bisa mengatrol harga prangko berlipat-lipat ialah
usia barang cetakan itu. Dalam pameran ini Philatelis Untung
Raharjo antara lain memamerkan prangko Indonesia pertama,
berukuran sekitar 2 x 1« cm, bergambar Raja William III, berwarna
cokelat tua. Prangko itu dicetak pada 1864, 24 tahun setelah
prangko pertama. Prangko ini pulalah yang pertama menghias
sampul surat antarkota di Hindia Belanda, atau surat yang
dikirimkan dari sini ke luar negeri. Nilai nominalnya cuma 10
sen - tapi kini pasarannya sekitar Rp 125 ribu per prangko.
Dan jangan dikira dalam dunia philateli tak ada unsur subversi.
Misalnya yang terjadi dengan prangko seri buah, peringatan Hari
Sosial 1961. Waktu itu terbit prangko bergambar nanas, manggis,
dan rambutan. Satu lagi, yang bergambar salak, kemudian
dinyatakan tak berlaku. Pasalnya, konon, prangko salak itu
hilang dalam jumlah besar. Maka, tak saja prangko salak termasuk
jenis langka, tapi juga mengandung unsur cerita yang seram. Dan
di antara para philatehs bukannya tak ada yang punya koleksi 'si
salak', kalau dia tak muncul di Panfila 1983. "Prangko itu
dinyatakan tidak sah jadi siapa berani memamerkannya?" tutur
seorang peserta pameran.
Prangko tentu saja tak luput dari pengaruh perkem angan
percetakan. Dipakainya sistem cetak offset di Indonesia sekitar
awal 1970-an mengakibatkan prangko-prangko kita sejak masa itu
kaya dan cemerlang warna-warnanya - dibandingkan, misalnya,
dengan prangko kita tahun 1950-an. Tapi tak berarti perancangan
prangko kita sejak 1970-an lebih baik. Dilihat dari segi grafis,
malahan beberapa prangko 1940-an dan 1950-an mencapai mutu yang
belum tertandingi.
Prangko peringatan Hari Proklamasi 1955, misalnya. Dengan
memasukkan naskah asli proklamasi tulisan Bung Karno, prangko
ini menjadi begitu artistik. Perancangnya, Amat bin Djupri,
dengan berani mengisi semua bidang dengan gambar. Lalu prangko
lain, yang juga dikeluarkan sehubungan dengan kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945. Ini bergambar seekor banteng dengan
latar belakang bendera merah-putih. Paduan gambar banteng yang
realistis dan komposisi tulisan (ada tulisan Indonesia Merdeka,
17 Agoestoes 1948) yang cenderung dekoratif itu termasuk
rancangan grafis yang indah dan ekspresif. Satu lagi, prangko
1946. Ini bergambar kepala banteng mendongak, memutuskan rantai
yang membelenggu. Kualitas gambarnya jarang didapat.
Tahun 1967 muncul rancangan prangkoyang sedikit unik. Dari segi
gambar menarik, karena merupakan reproduksi lukisan Raden Saleh:
pertarungan banteng dengan harimau. Dan bagaimana si perancang
meletakkan gambar, termasuk jaran. Gambar itu tak di tengah,
tapi digeser kekiri atas. Jadinya, ruang di sisi kanan dan
bawah lebih lebar.
Kebanyakan rancangan grafis prangko Indonesia begitu sederhana.
Asal gambar jelas, kemudian di ruang kosong ditulis nama
Indonesia, dicantumkan pula untuk apa prangko diterbitkan, lalu
harga nominalnya, selesai. Seperti tak ada usaha mengatur
komposisi. Mungkin karena ini, menurut seorang philatelis, nilai
tukar prangko kita rendah, dibanding prangko luar negeri. Tentu
ada kecualinya - yang tadi, prangko yang menyimpang atau salah
cetak.
Tapi ada kecualinya pula, ialah salah cetak yang sengaja
dilakukan oleh pihak pos. Yang seperti ini tentu saja justru
menjatuhkan harga. Ini pernah terjadi di Amerika Serikat,
prangko peringatan PBB dengan gambar Sekjen PBB kala itu, Dag
Hammarskjold, ternyata sekitar 200 prangko salah cetak warna,
dan lolos dari seleksi pihak pos AS. Tahu begitu, dengan maksud
cari untung tentu, pos AS diam-diam malah memperbanyak yang
salah cetak itu sebanyak 10 juta prangko. Bisa dibayangkan,
untuk sejenak para philatelis senang: kok, begitu gampang
menemukan yang salah cetak itu.
Diketahuilah kemudian, ini memang disengaja oleh pos AS. Maka
perkumpulan philatelis disana pun protes. Sebab, ada aturan
yang seharusnya ditaati: prangko-prangko yang oleh petugas pos
diketahui salah cetak, harus diseleksi dan kemudian dibakar. Tak
pantas bila pos dengan sengaja menjual barang yang menyimpang.
Salah cetak yang dihargai adalah salah cetak yang lolos dari
seleksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini