Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang tidak terkucil

Festival penata tari diadakan lagi di tim, awal desember lalu. yang tampil, kebanyakan yang kurang dikenal. ternyata, mereka sanggup memberikan suguhan menarik. (tr)

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUDA bukan dalam tataran usia. Melainkan untuk menyebut yang potensial di daerah tetapi kurang dikenal dalam forum luas. Muda juga tak bersangkut-paut dengan mutu pertunjukan. Sebab beberapa di antara karya peserta benar-benar merupakan suguhan menarik. Itulah yang terkesan dari pergelaran lima karya tari baru, 9 - 10 Desember kemarin di Teater Arena TIM dalam Festival Penata Tari Muda 1978. Masing-masing peserta menggunakan seni tradisi sebagai bahan untuk diolah lebih lanjut. Kadar pengolahannya berbeda-beda. Tidak semua garapan memberi tekanan pada olahan gerak tari. Ada beberapa yang lebih memunculkan unsur seni lain -- musik dan seni rupa misalnya. Ini barangkali sumber keberatan beberapa tokoh tari tertentu. Ada dua karya yang disepakati memberi tekanan pada olahan gerak tari, yakni Wiratha Parwa dan Akkarena. 'Wiratha Parwa' Dengan bantuan mahasiswa ASTI Yogyakarta, Ben Suharto menggarap lelangen beksa, sebuah bentuk drama tari bertolak dari tari Jawa klasik gaya Yogya. Ceritanya diambil dari bagian ke-4 Mahabarata, ketika Pandawa menyamar mengabdikan diri ke Wiratha setelah menjalani pembuangan 12 tahun di tengah hutan. Suasana syahdu bedaya Yogya membuka pertunjukan. Tujuh penari puteri berbusana hijau tua berpola cinden nampak apik, tetapi Utari dan Sarindri yang berdodot hijau tua adakalanya nampak pisah. Suasana anggun ini sayang tak dikembangkan secara wajar --terpenggal oleh kehadiran Patih Kicaka. Demikian sering terjadi olahan gerak murni yang mulus terpotong alur gerak naratif. Potensi penari yang tak rata juga menyulitkan. Para pengrawit hanya sedang-sedang saja, dan tembang pun lirih -- mengurangi berhasilnya komposisi sebagai keseluruhan. Adegan yang digarap berhasil adalah perang Arjuna dan Karna: halus tetapi sigap, penuh daya pikat dan menegangkan. Garapan Ben Suharto sebenarnya tak bisa dibilang jelek, tetapi bagi penonton Jakarta yang terbiasa nonton Maruti, memang sedikit di bawahnya. Wiwiek Sipala (Jakarta), yang termuda, merupakan satu-satunya penata tari wanita dalam festival. Garapannya bertolak dari pakkarena dan paraga, tari tradisi Sulawesi yang sangat dikenal. Tema yang diambil adalah si'ri -- nilai hidup luhur yang tercermin sebagai harga diri. Tema filosofis ini -- satu-satunya tema yang tak naratif dalam festival - justru mempersulit. Dari sudut olahan gerak, Wiwiek cukup berhasil. Pilihan penari yang sebagian besar non-Sulawesi, ada untung dan ruginya. Di satu pihak dibutuhkan lebih banyak latihaA dan penghayatan. Sebaliknya kemampuan para penari "jadi" ini dengan cerdik dimanfaatkan. Misalnya sarung tak hanya sebagai kostum, tetapi juga prop tari. Mereka pulalah yang memungklnhan Wiwiek menghadirkan variasi dalam komposisi. Garapan musik sering masih tersendat. Keserempakan gerak bersama belum sepenuhnya tercapai. Tetapi kemampuan Wiwiek menyusun sebuah komposisi tari tak-naratif sepanjang 45 menit, adalah sebuah prestasi yang menurut Farida Feisol, dosen tari LPKJ, patut dihargai. Sering harus diakui bahwa lingkungan dapat mempengaruhi hasil karya. Ini misalnya dialami oleh I Wayan Dibia dari Bali. Saya lihat gejala menurun pada garapannya. Cupak Grantang yang ditampilkannya, lebih menekankan unsur naratif. Banyak akting dan dialog yang bertujuan merangsang tawa, berbeda dengan karyanya terdahulu. Heran kenapa Dibia tak menggarap gerak tarinya secara tuntas. Salah satu sebab barangkali -- seperti diucapkannya -- di tempat asalnya ia harus berhati-hati. Sebab banyak hal baru, baru bisa dilakukan lewat "anggukan" yang tua-tua. Namun menarik percobaannya untuk menggunakan grobogan sebagai iringan tari. Agak kontroversial karya Endo Suanda dari Bandung. Ia menggarap lakon Klana Tunjungseta berdasar pengamatan tontonan rakyat Jawa Barat. Sejak kecil Endo memang telah menjadi pemusik tradisi di samping pernah belajar membuat topeng pada Pak Kandeg. Pengalaman ini agaknya yang membuat karyanya berbeda dengan peserta yang lain. Garapan Endo tidak tanggung-tanggung menumpahkan penghayatan di pentas. Karuan saja bagi para pengamat ang lebih suka tataan gerak yang rapi, timbul kesan semrawut. Tetapi dalam beberapa hal demikianlah rupanya suasana tontonan rakyat umumnya. Soal yang kemudian timbul adalah apakah karya semacam ini dapat disebut sebuah karya tari? Endo sendiri menyerah -- mau digolongkan ke mana, terserah. Banyak yang menyangsikan, tetapi banyak pula yang mengagumi sebagai tontonan. Seperti kata D. Djajakusuma: "Inilah sebuah contoh tontonan yang berhasil mengolah kekayaan seni tradisi dalam bentuknya yang baru." 'Wayang Budha' Endo telah membuat sendiri 3 buah topeng badawang -- semacam ondel-ondel - yang tak kepalang besarnya untuk transformasi tokoh-tokoh Panji, Sekartaji dan Klana. Sedang penjelajahannya dalam menggauli musik tradisi Jawa Barat melahirkan juga beberapa hal menarik. Terlampau banyak yang diberikannya. Jadi butuh saringan dengan lubang yang lebih kecil, butuh seleksi yang lebih cermat. Yang juga menimbulkan pembahasan hangat adalah Wayang Budha dari Sala. Jika pada karya-karya yang lain penemu ide sekaligus penata tari, Wayang Budha merupakan karya bersama -- semacam arisan. Suprapto Suryodarmo, si penemu ide, orang religius yang tak berbekal tari tradisi, berhasrat besar mengauli gerak. Ingin menanggapi alam sekitar dengan gerak, ingin menyalurkan apa yang bergolak di hatinya dengan gerak. Ini kemudian berkembang ketika tahun 1974 ia mulai mengikuti latihan vipasana Budhis. Baru setelah itu ia merangsang teman-temannya untuk bersama mewujudkan sebuah tontonan. Dengan masuknya Supanggah sebagai pengrawit, Tasman sebagai penata tari, dan Hajar Satoto yang mahasiswa ASRI, motivasi religius jadi menipis -- sehingga lahirlah Wayang Budha seperti yang tersaji. Elemen auditif dan visual yang dicobapadukan dalam tontonan, terdiri dari bentuk wayang kulit, kelir, obor, gerak tubuh serta karawitan. Gerakan tubuh kemudian tidak menjadi bagian utama pertunjukan. Ada permainan bayangan wayang, gerakan layar dan obor, yang menimbulkan deformasi wujud. Dengan iringan olahan karawitan yang mantap semuanya membuahkan tontonan memukau. Cakapan dalang, dengan vokal yang utuh, serta aliran gamelan yang lancar, serasi dengan perubahan-perubahan wujud yang terjadi di pentas. Iringan karawitan ini sedemikian kuatnya sehingga menjadi kerangka seluruh pertunjukan. Keuntungan tersebut tak sulit ditebak. Hajar Satoto pernah mengikuti lawatan Sardono ke Eropa (1974) dalam Dongeng dari Dirah -- yang sebelum berangkat memang sempat berlatih sebulan di Kota Sala. Sebagai keseluruhan Wayang Budha cukup berbobot. Hanya terkadang penjelajahan wujud dilakukan kelewat kenes, asyik pada pencarian rupa. Demikian pula cakapan dalang yang dilakukan berganti tempat mengelilingi penonton, agak klise. Unsur karawitan yang kuat ternyata kemudian menyisihkan unsur gerak yang tak sempat menonjol. Dalam tontonan ini gerakan Suprapto, penemu ide yang memerankan Sutasoma I, menarik untuk diperhatikan. Jika temannya bergerak menari, ia mengaku melakukan semadi di pentas. Katakanlah meruwat diri "untuk mengendorkan segala yang dirasa tegang dalam batin." Jika ini benar, motivasi Prapto bergerak sesungguhnya lebih untuk kepentingan diri sendiri, bukan untuk penontonnya. Yang beginian lebih dekat sebagai dance therapy -- sebuah perkembangan yang belum jauh dari ekspresi diri atau pelampiasan gerak dalam tari. Wayang Budha itu juga kemudian menimbulkan masalah. Ternyata, penata tari bukan orang yang paling bertanggungjawab untuk tontonan yang dihasilkan. Juga hadirnya unsur seni musik dan seni rupa yang dominan menimbulkan pertanyaan: sampai sejauh mana anasir pembantu boleh mengambil bagian dalam sebuah karya tari. Saya sendiri cenderung tidak "mengucilkan" tari berdasar batasan "akademis"nya. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus