MUDA bukan dalam tataran usia. Melainkan untuk menyebut yang
potensial di daerah tetapi kurang dikenal dalam forum luas. Muda
juga tak bersangkut-paut dengan mutu pertunjukan. Sebab beberapa
di antara karya peserta benar-benar merupakan suguhan menarik.
Itulah yang terkesan dari pergelaran lima karya tari baru, 9 -
10 Desember kemarin di Teater Arena TIM dalam Festival Penata
Tari Muda 1978.
Masing-masing peserta menggunakan seni tradisi sebagai bahan
untuk diolah lebih lanjut. Kadar pengolahannya berbeda-beda.
Tidak semua garapan memberi tekanan pada olahan gerak tari. Ada
beberapa yang lebih memunculkan unsur seni lain -- musik dan
seni rupa misalnya. Ini barangkali sumber keberatan beberapa
tokoh tari tertentu. Ada dua karya yang disepakati memberi
tekanan pada olahan gerak tari, yakni Wiratha Parwa dan
Akkarena.
'Wiratha Parwa'
Dengan bantuan mahasiswa ASTI Yogyakarta, Ben Suharto menggarap
lelangen beksa, sebuah bentuk drama tari bertolak dari tari Jawa
klasik gaya Yogya. Ceritanya diambil dari bagian ke-4
Mahabarata, ketika Pandawa menyamar mengabdikan diri ke Wiratha
setelah menjalani pembuangan 12 tahun di tengah hutan.
Suasana syahdu bedaya Yogya membuka pertunjukan. Tujuh penari
puteri berbusana hijau tua berpola cinden nampak apik, tetapi
Utari dan Sarindri yang berdodot hijau tua adakalanya nampak
pisah. Suasana anggun ini sayang tak dikembangkan secara wajar
--terpenggal oleh kehadiran Patih Kicaka. Demikian sering
terjadi olahan gerak murni yang mulus terpotong alur gerak
naratif. Potensi penari yang tak rata juga menyulitkan. Para
pengrawit hanya sedang-sedang saja, dan tembang pun lirih --
mengurangi berhasilnya komposisi sebagai keseluruhan.
Adegan yang digarap berhasil adalah perang Arjuna dan Karna:
halus tetapi sigap, penuh daya pikat dan menegangkan. Garapan
Ben Suharto sebenarnya tak bisa dibilang jelek, tetapi bagi
penonton Jakarta yang terbiasa nonton Maruti, memang sedikit di
bawahnya.
Wiwiek Sipala (Jakarta), yang termuda, merupakan satu-satunya
penata tari wanita dalam festival. Garapannya bertolak dari
pakkarena dan paraga, tari tradisi Sulawesi yang sangat dikenal.
Tema yang diambil adalah si'ri -- nilai hidup luhur yang
tercermin sebagai harga diri. Tema filosofis ini -- satu-satunya
tema yang tak naratif dalam festival - justru mempersulit.
Dari sudut olahan gerak, Wiwiek cukup berhasil. Pilihan penari
yang sebagian besar non-Sulawesi, ada untung dan ruginya. Di
satu pihak dibutuhkan lebih banyak latihaA dan penghayatan.
Sebaliknya kemampuan para penari "jadi" ini dengan cerdik
dimanfaatkan. Misalnya sarung tak hanya sebagai kostum, tetapi
juga prop tari. Mereka pulalah yang memungklnhan Wiwiek
menghadirkan variasi dalam komposisi.
Garapan musik sering masih tersendat. Keserempakan gerak bersama
belum sepenuhnya tercapai. Tetapi kemampuan Wiwiek menyusun
sebuah komposisi tari tak-naratif sepanjang 45 menit, adalah
sebuah prestasi yang menurut Farida Feisol, dosen tari LPKJ,
patut dihargai.
Sering harus diakui bahwa lingkungan dapat mempengaruhi hasil
karya. Ini misalnya dialami oleh I Wayan Dibia dari Bali. Saya
lihat gejala menurun pada garapannya. Cupak Grantang yang
ditampilkannya, lebih menekankan unsur naratif. Banyak akting
dan dialog yang bertujuan merangsang tawa, berbeda dengan
karyanya terdahulu. Heran kenapa Dibia tak menggarap gerak
tarinya secara tuntas.
Salah satu sebab barangkali -- seperti diucapkannya -- di tempat
asalnya ia harus berhati-hati. Sebab banyak hal baru, baru bisa
dilakukan lewat "anggukan" yang tua-tua. Namun menarik
percobaannya untuk menggunakan grobogan sebagai iringan tari.
Agak kontroversial karya Endo Suanda dari Bandung. Ia menggarap
lakon Klana Tunjungseta berdasar pengamatan tontonan rakyat Jawa
Barat. Sejak kecil Endo memang telah menjadi pemusik tradisi di
samping pernah belajar membuat topeng pada Pak Kandeg.
Pengalaman ini agaknya yang membuat karyanya berbeda dengan
peserta yang lain.
Garapan Endo tidak tanggung-tanggung menumpahkan penghayatan di
pentas. Karuan saja bagi para pengamat ang lebih suka tataan
gerak yang rapi, timbul kesan semrawut. Tetapi dalam beberapa
hal demikianlah rupanya suasana tontonan rakyat umumnya.
Soal yang kemudian timbul adalah apakah karya semacam ini dapat
disebut sebuah karya tari? Endo sendiri menyerah -- mau
digolongkan ke mana, terserah. Banyak yang menyangsikan, tetapi
banyak pula yang mengagumi sebagai tontonan. Seperti kata D.
Djajakusuma: "Inilah sebuah contoh tontonan yang berhasil
mengolah kekayaan seni tradisi dalam bentuknya yang baru."
'Wayang Budha'
Endo telah membuat sendiri 3 buah topeng badawang -- semacam
ondel-ondel - yang tak kepalang besarnya untuk transformasi
tokoh-tokoh Panji, Sekartaji dan Klana. Sedang penjelajahannya
dalam menggauli musik tradisi Jawa Barat melahirkan juga
beberapa hal menarik. Terlampau banyak yang diberikannya. Jadi
butuh saringan dengan lubang yang lebih kecil, butuh seleksi
yang lebih cermat.
Yang juga menimbulkan pembahasan hangat adalah Wayang Budha dari
Sala. Jika pada karya-karya yang lain penemu ide sekaligus
penata tari, Wayang Budha merupakan karya bersama -- semacam
arisan.
Suprapto Suryodarmo, si penemu ide, orang religius yang tak
berbekal tari tradisi, berhasrat besar mengauli gerak. Ingin
menanggapi alam sekitar dengan gerak, ingin menyalurkan apa yang
bergolak di hatinya dengan gerak. Ini kemudian berkembang ketika
tahun 1974 ia mulai mengikuti latihan vipasana Budhis. Baru
setelah itu ia merangsang teman-temannya untuk bersama
mewujudkan sebuah tontonan.
Dengan masuknya Supanggah sebagai pengrawit, Tasman sebagai
penata tari, dan Hajar Satoto yang mahasiswa ASRI, motivasi
religius jadi menipis -- sehingga lahirlah Wayang Budha seperti
yang tersaji. Elemen auditif dan visual yang dicobapadukan dalam
tontonan, terdiri dari bentuk wayang kulit, kelir, obor, gerak
tubuh serta karawitan.
Gerakan tubuh kemudian tidak menjadi bagian utama pertunjukan.
Ada permainan bayangan wayang, gerakan layar dan obor, yang
menimbulkan deformasi wujud. Dengan iringan olahan karawitan
yang mantap semuanya membuahkan tontonan memukau. Cakapan
dalang, dengan vokal yang utuh, serta aliran gamelan yang
lancar, serasi dengan perubahan-perubahan wujud yang terjadi di
pentas. Iringan karawitan ini sedemikian kuatnya sehingga
menjadi kerangka seluruh pertunjukan.
Keuntungan tersebut tak sulit ditebak. Hajar Satoto pernah
mengikuti lawatan Sardono ke Eropa (1974) dalam Dongeng dari
Dirah -- yang sebelum berangkat memang sempat berlatih sebulan
di Kota Sala.
Sebagai keseluruhan Wayang Budha cukup berbobot. Hanya terkadang
penjelajahan wujud dilakukan kelewat kenes, asyik pada pencarian
rupa. Demikian pula cakapan dalang yang dilakukan berganti
tempat mengelilingi penonton, agak klise. Unsur karawitan yang
kuat ternyata kemudian menyisihkan unsur gerak yang tak sempat
menonjol.
Dalam tontonan ini gerakan Suprapto, penemu ide yang memerankan
Sutasoma I, menarik untuk diperhatikan. Jika temannya bergerak
menari, ia mengaku melakukan semadi di pentas. Katakanlah
meruwat diri "untuk mengendorkan segala yang dirasa tegang dalam
batin." Jika ini benar, motivasi Prapto bergerak sesungguhnya
lebih untuk kepentingan diri sendiri, bukan untuk penontonnya.
Yang beginian lebih dekat sebagai dance therapy -- sebuah
perkembangan yang belum jauh dari ekspresi diri atau pelampiasan
gerak dalam tari.
Wayang Budha itu juga kemudian menimbulkan masalah. Ternyata,
penata tari bukan orang yang paling bertanggungjawab untuk
tontonan yang dihasilkan. Juga hadirnya unsur seni musik dan
seni rupa yang dominan menimbulkan pertanyaan: sampai sejauh
mana anasir pembantu boleh mengambil bagian dalam sebuah karya
tari.
Saya sendiri cenderung tidak "mengucilkan" tari berdasar batasan
"akademis"nya.
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini