Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Satu monotipe, dua pastel

Zaini & mandra adalah orang-orang yang ketitipan kepekaan & keterampilan memperkenalkan keindahan melalui lukisan. lukisan satu monotipe kepala kuda & dua pastel kuda-kuda santa fe, keindahan yang tersembunyi.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI rumah kami memiliki tiga lukisan Zaini. Satu monotipe Kepala Kuda tergantung di ruang duduk kami, sedang dua pastel Kuda-Kuda Santa Fe dan Dua Perahu Di California berjejer berdampingan di atas tempat tidur kami. Sejak bertahun lukisan-lukisan itu tergantung begitu dan bersama perabotan rumah kami merupakan bagian yang tak terpisahkan dari 'jagad" kami. Hari demi hari Kepala Kuda yang berwarna teracota kepucatan itu termangu di situ ikut mendengarkan berbagai percakapan tetek-bengek yang terjadi dalam ruang-duduk itu, ditatap entah untuk berapa ratus atau ribu kali -- dengan "serius" atau tidak -- oleh manusia-manusia yang pernah duduk atau lewat ruangan itu. Saya tidak tahu, ada berapa dari mereka yang benar-benar menyenangi lukisan itu, berapa lagi yang membencinya, berapa pula yang acuh saja. Seorang menantu jenderal pernah menanyakan dengan terus-terang apa bagusnya kepala kuda yang dilukis secara aneh begitu. ("Kepalanya kekurusan, lehernya kebesaran, dipenggal lagi"). Akan pembantu rumah kami yang berasal dari Wonogiri yang hari demi hari mesti juga mengelap kaca dan bingkai monotipe itu saya tidak pernah menanyakannya. Hanya sekali pernah saya melihatnya dia berhenti sejenak menatap lukisan itu, mulutnya komat-kamit kemudian meneruskan pekerjaannya mengelap kaca dan bingkai monotipe itu. Pastel-pastel itu - karena digantungkan di kamar tidur mungkin lebih kami miliki secara "pribadi". Hanya saya, isteri saya, anak-anak kami dan tentu saja pembantu rumah kami yang mesti mengepel kamar-tidur itu, yang menjadi pengamat Kuda-Kuda Santa Fe dan Dua Perahu Di California itu. Cuma, berapa kali benarkah kami mengamati dengan benar nuansa warna teracota-hitam jambon yang aneh dari beberapa kuda dengan latar belakang bukit serta nuansa warna hijau-biru yang kelam dari dua perahu putih yang kesepian di tengall samudra itu? Berapa benarkan kita kenal dan merasa dekat dengan segala apa yang kita kira kita miliki? Sesungguhnya, kapan saya merasa memiliki lukisan-lukisan itu? Goresan pensil dan himpitan berbagai warna yang kemudian menjadikan monotipe Kepala Kuda dan goresan warna-warni pastel yang kemudian menjadi Kuda-Kuda Santa Fe dan Dua Perahu Di California itu dalam pameran dikatakan sebagai lukisan Zaini. Hingga pada satu saat ketika saya mengatakan lukisan-lukisan itu cakep, bagus, indah dan memutuskan untuk membelinya. Pada waktu lukisan-lukisan itu mulai tergantung di rumah saya orang mengatakan bahwa saya punya tiga lukisan Zaini. Wah, apa yang telah saya miliki? Lukisan. Tapi apakah itu ? Yang dibingkai dan diberi kaca yang terdiri dari goresan pastel dan campuran warna yang kemudian diberi nama Kepala Kuda dan sebagainya itu? Yang kemudian saya katakan bagus dan indah? Lantas mereka yang ikut menyenanginya sesudah melihatnya di rumah saya dan membawa pulang itu perasaan senang dan terus bergumam "alangkah cakep kuda itu . . . ". Apakah mereka paling sedikit telah tidak ikut memiliki sekeping dari lukisan itu? Bahkan menantu sang jenderal yang pulang dengan membawa terus pertanyaan (atau malah mungkin gerutu) "kepala kuda kayak begitu kok bagus. . . ". Juga pembantu rumah yang pernah komat-kamit di depan lukisan itu. Bukankah mereka juga telah ikut membawa "pulang" lukisan itu? Dan Zaini? Apakah keindahan kuda dan perahu itu miliknya? Apakah keindahan kuda dan perahu itu yang dijualnya kepada saya. Mandra dari desa Kamasan, pelukis gaya Klungkung yang cemerlang itu, selalu dengan sabar dan senang hati mem eberkan lukisannya kepada tetangga-tetangganya setiap kali mereka memintanya. Lukisannya akan dikeluarkannya dari lemarinya, kemudian dibuka gulungannya, dibeberkan di atas balebale untuk dikerumuni tetangga-tetanganya, sanak-saudaranya. Tua-muda, anak-anak, pada berjubel berdesak-desak mengamati lukisan Mandra yang terbaru. Pengamat-pengamat lukisan itu tidak akan berbicara banyak. Hanya akan mengamati dan menggumam "beh, beh, beh" kemudian seorang demi seorang akan pergi lagi dengan santainya. Yang tua mungkin akan kembali bekerja di sawah, mengasuh anak, mengelus ayam-aduan, anak-anak mungkin kembali bermain. Dan Mandra akan menggulung kembali lukisannya, menyimpan kembali ke dalam lemarinya. "Beh, beh, beh" tetangga Mandra itu adalah konfirmasi terhadap dunia yang sudah kelewat mereka kenal yang diceritakan kembali oleh sang pelukis pada kanvasnya. Lakonlakon Ramayana, Mahabarata, cerita Suthasoma dan berbagai dongeng lainnya. Keindahan lukisan Mandra adalah rasa cocok dengan keindahan dunia dongeng yang tanpa hentinya dijalin terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari dunia Kamasan. Milik siapakah keindahan lukisan Mandra itu .... Keindahan, agaknya, tidak pernah mau di"monopoli". Ia selalu bersembunyi-di balik sesuatu dan minta dijemput untuk diperkenalkan, dijelaskan untuk kemudian dibagi dengan orang banyak. Pelukis seperti Zaini dan Mandra adalah orang-orang yang ketitipan kepekaan dan ketrampilan untuk mengenal tempat persembunyian keinda'nan itu. Bagaikan detektif-detektif yang tajam penciumannya mereka segera tahu di balik kuda-kuda di Jawa dan di Santa Fe, di balik raksasa yang menyeringaikan gigi taringnya, keindahan itu menyembunyikan dirinya. Begitu mereka menemukan tempat persembunyian itu, adalah menjadi kewajiban mereka untuk mencoba memperkenalkan dan menjelaskan riwayat keindahan itu. Lewat bahasa yang kebetulan disebut lukisan. Maka pelukis, juga penulis, bukan pemilik keindahan. Mereka adalah penafsir keindahan. Mereka juga tidak menjual keindahan. Bayaran yang mereka terima adalah untuk jerih-payah mereka bercerita tentang keindahan. Pembeli lukisan juga bukan pemilik keindahan. Dia ketitipan keindahan yang dibingkai dalam lukisan. Akan keindahan itu sendiri dengan kenesnya akan tenls menghimbau siapa saja yang lewat di depannya. Kali ini di depan pigura sebuah lukisan. Tetapi kalau kita terus saja berbicara tentang "ketitipan" (Zaini ketitipan kepekaan, saya ketitipan lukisan) mestinya kita bisa terus juga bertanya "siapa sih yang menitipkan keindahan itu . . . " Buat mereka yang percaya tentulah jelas: Tuhan, Hyang Widi. Buat yang agnostik, yang atheis, mungkin: Sang Kekuatan. Apapun, keindahan itu agaknya datang dari jagad yang jauh lebih besar dari sang seniman dan si penikmat seni. (Ah, ya, mungkun dalam konteks begini jenderal Nasution tempo hari, di tengah kedukaan yang amat sangat, dalam melepaskan Ade Irma Suryani masih sempat mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena sudah "ketitipan" anak beberapa tahun .....) Kuda-kuda berjalan merunduk di bawah bayangan senja bukit-bukit Santa Fe yang terasa senyap dalarn warna yang teracoba-hitam jambon itu. Dua perahu putih terkapar di pelukan samudra hijau biru kelam. Wah, sepinya dua perahu yang terasa makin mengecil saja itu. Setiap kali dua pastel itu saya tatap selalu saja saya kepingin bertanya kepada Zaini apa benar yang terjadi di "sono" itu. Zaini, terima kasih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus