DI rumah kami memiliki tiga lukisan Zaini. Satu monotipe Kepala
Kuda tergantung di ruang duduk kami, sedang dua pastel Kuda-Kuda
Santa Fe dan Dua Perahu Di California berjejer berdampingan di
atas tempat tidur kami. Sejak bertahun lukisan-lukisan itu
tergantung begitu dan bersama perabotan rumah kami merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari 'jagad" kami. Hari demi hari
Kepala Kuda yang berwarna teracota kepucatan itu termangu di
situ ikut mendengarkan berbagai percakapan tetek-bengek yang
terjadi dalam ruang-duduk itu, ditatap entah untuk berapa ratus
atau ribu kali -- dengan "serius" atau tidak -- oleh
manusia-manusia yang pernah duduk atau lewat ruangan itu.
Saya tidak tahu, ada berapa dari mereka yang benar-benar
menyenangi lukisan itu, berapa lagi yang membencinya, berapa
pula yang acuh saja. Seorang menantu jenderal pernah menanyakan
dengan terus-terang apa bagusnya kepala kuda yang dilukis secara
aneh begitu. ("Kepalanya kekurusan, lehernya kebesaran,
dipenggal lagi"). Akan pembantu rumah kami yang berasal dari
Wonogiri yang hari demi hari mesti juga mengelap kaca dan
bingkai monotipe itu saya tidak pernah menanyakannya. Hanya
sekali pernah saya melihatnya dia berhenti sejenak menatap
lukisan itu, mulutnya komat-kamit kemudian meneruskan
pekerjaannya mengelap kaca dan bingkai monotipe itu.
Pastel-pastel itu - karena digantungkan di kamar tidur mungkin
lebih kami miliki secara "pribadi". Hanya saya, isteri saya,
anak-anak kami dan tentu saja pembantu rumah kami yang mesti
mengepel kamar-tidur itu, yang menjadi pengamat Kuda-Kuda Santa
Fe dan Dua Perahu Di California itu. Cuma, berapa kali benarkah
kami mengamati dengan benar nuansa warna teracota-hitam jambon
yang aneh dari beberapa kuda dengan latar belakang bukit serta
nuansa warna hijau-biru yang kelam dari dua perahu putih yang
kesepian di tengall samudra itu?
Berapa benarkan kita kenal dan merasa dekat dengan segala apa
yang kita kira kita miliki?
Sesungguhnya, kapan saya merasa memiliki lukisan-lukisan itu?
Goresan pensil dan himpitan berbagai warna yang kemudian
menjadikan monotipe Kepala Kuda dan goresan warna-warni pastel
yang kemudian menjadi Kuda-Kuda Santa Fe dan Dua Perahu Di
California itu dalam pameran dikatakan sebagai lukisan Zaini.
Hingga pada satu saat ketika saya mengatakan lukisan-lukisan itu
cakep, bagus, indah dan memutuskan untuk membelinya. Pada waktu
lukisan-lukisan itu mulai tergantung di rumah saya orang
mengatakan bahwa saya punya tiga lukisan Zaini.
Wah, apa yang telah saya miliki? Lukisan. Tapi apakah itu ?
Yang dibingkai dan diberi kaca yang terdiri dari goresan pastel
dan campuran warna yang kemudian diberi nama Kepala Kuda dan
sebagainya itu? Yang kemudian saya katakan bagus dan indah?
Lantas mereka yang ikut menyenanginya sesudah melihatnya di
rumah saya dan membawa pulang itu perasaan senang dan terus
bergumam "alangkah cakep kuda itu . . . ". Apakah mereka paling
sedikit telah tidak ikut memiliki sekeping dari lukisan itu?
Bahkan menantu sang jenderal yang pulang dengan membawa terus
pertanyaan (atau malah mungkin gerutu) "kepala kuda kayak begitu
kok bagus. . . ". Juga pembantu rumah yang pernah komat-kamit di
depan lukisan itu. Bukankah mereka juga telah ikut membawa
"pulang" lukisan itu? Dan Zaini? Apakah keindahan kuda dan
perahu itu miliknya? Apakah keindahan kuda dan perahu itu yang
dijualnya kepada saya.
Mandra dari desa Kamasan, pelukis gaya Klungkung yang cemerlang
itu, selalu dengan sabar dan senang hati mem eberkan lukisannya
kepada tetangga-tetangganya setiap kali mereka memintanya.
Lukisannya akan dikeluarkannya dari lemarinya, kemudian dibuka
gulungannya, dibeberkan di atas balebale untuk dikerumuni
tetangga-tetanganya, sanak-saudaranya. Tua-muda, anak-anak,
pada berjubel berdesak-desak mengamati lukisan Mandra yang
terbaru.
Pengamat-pengamat lukisan itu tidak akan berbicara banyak. Hanya
akan mengamati dan menggumam "beh, beh, beh" kemudian seorang
demi seorang akan pergi lagi dengan santainya. Yang tua mungkin
akan kembali bekerja di sawah, mengasuh anak, mengelus
ayam-aduan, anak-anak mungkin kembali bermain. Dan Mandra akan
menggulung kembali lukisannya, menyimpan kembali ke dalam
lemarinya.
"Beh, beh, beh" tetangga Mandra itu adalah konfirmasi terhadap
dunia yang sudah kelewat mereka kenal yang diceritakan kembali
oleh sang pelukis pada kanvasnya. Lakonlakon Ramayana,
Mahabarata, cerita Suthasoma dan berbagai dongeng lainnya.
Keindahan lukisan Mandra adalah rasa cocok dengan keindahan
dunia dongeng yang tanpa hentinya dijalin terus-menerus dalam
kehidupan sehari-hari dunia Kamasan.
Milik siapakah keindahan lukisan Mandra itu ....
Keindahan, agaknya, tidak pernah mau di"monopoli". Ia selalu
bersembunyi-di balik sesuatu dan minta dijemput untuk
diperkenalkan, dijelaskan untuk kemudian dibagi dengan orang
banyak. Pelukis seperti Zaini dan Mandra adalah orang-orang yang
ketitipan kepekaan dan ketrampilan untuk mengenal tempat
persembunyian keinda'nan itu. Bagaikan detektif-detektif yang
tajam penciumannya mereka segera tahu di balik kuda-kuda di Jawa
dan di Santa Fe, di balik raksasa yang menyeringaikan gigi
taringnya, keindahan itu menyembunyikan dirinya.
Begitu mereka menemukan tempat persembunyian itu, adalah menjadi
kewajiban mereka untuk mencoba memperkenalkan dan menjelaskan
riwayat keindahan itu. Lewat bahasa yang kebetulan disebut
lukisan. Maka pelukis, juga penulis, bukan pemilik keindahan.
Mereka adalah penafsir keindahan. Mereka juga tidak menjual
keindahan. Bayaran yang mereka terima adalah untuk jerih-payah
mereka bercerita tentang keindahan.
Pembeli lukisan juga bukan pemilik keindahan. Dia ketitipan
keindahan yang dibingkai dalam lukisan. Akan keindahan itu
sendiri dengan kenesnya akan tenls menghimbau siapa saja yang
lewat di depannya. Kali ini di depan pigura sebuah lukisan.
Tetapi kalau kita terus saja berbicara tentang "ketitipan"
(Zaini ketitipan kepekaan, saya ketitipan lukisan) mestinya kita
bisa terus juga bertanya "siapa sih yang menitipkan keindahan
itu . . . " Buat mereka yang percaya tentulah jelas: Tuhan,
Hyang Widi. Buat yang agnostik, yang atheis, mungkin: Sang
Kekuatan. Apapun, keindahan itu agaknya datang dari jagad yang
jauh lebih besar dari sang seniman dan si penikmat seni.
(Ah, ya, mungkun dalam konteks begini jenderal Nasution tempo
hari, di tengah kedukaan yang amat sangat, dalam melepaskan Ade
Irma Suryani masih sempat mengucapkan terima kasih kepada Tuhan
karena sudah "ketitipan" anak beberapa tahun .....)
Kuda-kuda berjalan merunduk di bawah bayangan senja bukit-bukit
Santa Fe yang terasa senyap dalarn warna yang teracoba-hitam
jambon itu.
Dua perahu putih terkapar di pelukan samudra hijau biru kelam.
Wah, sepinya dua perahu yang terasa makin mengecil saja itu.
Setiap kali dua pastel itu saya tatap selalu saja saya kepingin
bertanya kepada Zaini apa benar yang terjadi di "sono" itu.
Zaini, terima kasih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini